Karakter Nusantara dalam Lintasan Sejarah

2185
Karakter Nusantara sebagai Negara Kepulauan

1001indonesia.net – Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang dikelilingi perairan laut (archipelagic state). Berkaitan dengan hubungan antarbangsa, Indonesia mencetuskan Deklarasi Juanda yang menjadi tonggak penting pengakuan Indonesia sebagai Negara Kepulauan. Deklarasi ini juga diakui dunia dalam memahami bangun
alam dan kebangsaan Indonesia sebagai Nusantara. Meskipun diakui tidak mudah mengelola masyarakat Nusantara, klaim Nusantara ini bukan tanpa dasar.

Di kawasan Nusantara yang mencakup “Indo-Malaysia”, satuan masyarakat serta teknologi dasar, organisasi pemukiman, serta penjelajahan sudah muncul sekitar 10.000 tahun yang lalu. Kawasan ini menjadi ranah yang subur terhadap tumbuh-kembangnya suatu peradaban. Satuan masyarakat ini dapat dilacak dari alat-alat berburu dan pertanian mereka, serta sistem kepercayaan mereka.

Untuk kawasan “Indo-Malaysia”, ada upaya melacak bagaimana satuan masyarakat ini sudah melakukan penjelajahan mengingat konteks kepulauan yang amat menonjol.
Adanya pencirian “Proto-Melayu” dan “Deutero-Melayu” perlu dilihat bukan sebagai pemisahan antarkelompok masyarakat saat itu, seolah-olah “Proto-Melayu” lebih tua atau terpisah dengan “Deutero-Melayu”. Pencirian ini lebih dalam konteks gelombang pengetahuan yang menonjol, yang didukung oleh pergerakan masyarakat.

Gelombang pengetahuan ini muncul dalam teknologi penjelajahan dan pemukiman, terutama pada cadik, fleksibilitas pemukiman, model terasering (dan punden berundak), dan rumah panggung. Hal ini amat kuat terutama di bagian barat dan tengah “Indo-Malaysia”.

Baca juga: Ciri Umum Arsitektur Tradisional Indonesia

Bentuk paling nyata dari karakter Nusantara ini adalah peradaban yang berada di sekitar padi. Budi daya padi diperkirakan berasal dari kawasan Tiongkok Selatan dan kawasan Jepang-Korea. Melihat bagaimana budi daya padi menjadi amat ekstensif dan intensif di Asia, maka dapat dilacak bagaimana peradaban Nusantara ini pada awalnya tumbuh.

Sejarah kemudian mencatat bagaimana “peradaban sekitar padi” ini memberikan pendalaman yang luar biasa kuat, bahkan jika hal itu dibandingkan dengan model penjelajahan dan perdagangan yang sudah lebih dulu kuat dan tumbuh.

Denys Lombard, satu di antara para sejarawan penting mengenai Nusantara, memberikan penilaian bahwa peradaban sekitar padi ini memberikan kontribusi integrasi Nusantara yang amat kuat. Dengan segala kekurangannya, termasuk tendensi membuat masyarakat
menjadi bertingkat serta munculnya gentry (lapisan sosial yang mempunyai aset dan kontrol sosial), “peradaban sekitar padi” ini secara progresif memunculkan pusat-pusat peradaban, termasuk ekonomi.

Dalam sejarah, karakter Nusantara—dalam hal intuisi asal muasal, penciptaan pengetahuan dan paradigma—berkembang seiring interaksi berbagai kelompok yang hidup di kawasan Nusantara. Ketika melakukan konsolidasi pengetahuan dan pendalaman sejarah, “peradaban sekitar padi” mempunyai peran besar.

Kemudian tumbuh interaksi antara kelompok-kelompok pendatang dengan masyarakat yang sebelumnya. Dalam hal ini, peradaban Sriwijaya menjadi penanda pertama bagaimana interaksi ini dibangun. Melalui sekolah, armada laut, pergudangan, dan jalur komunikasi yang dibangunnya, Sriwijaya membuka ruang interaksi antarperadaban. Hal ini sekaligus menjadi katalisator bagi perkembangan kebudayaan.

Begitu menonjolnya peradaban Sriwijaya ini sehingga peradaban-peradaban Asia lainnya belajar dan mengambil bentuk-bentuk terbaik dari Sriwijaya. Peradaban Khmer, misalnya, juga membangun sekolah-sekolah dan armada laut sebagai katalisator peradaban mereka.

Dalam landasan sosio-historis Nusantara, situasi sejenis ini juga memberikan kejutan yang menarik. Kita menemukan adanya tokoh yang pada dasarnya mewujudkan kenusantaraan
dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan penting dunia.

Karaeng Patinggaloang, misalnya, yang menguasai know-how sekaligus memahami sejarah masyarakatnya, mempunyai pemahaman mengenai kosmologi (serta intuisi mengenai asal
muasal) dan kemampuan menciptakan pengetahuan beserta paradigmanya. Karaeng Patinggaloang adalah seorang polymath dan poliglot, sekaligus menjadi perdana menteri.

Jika kita melihat peralihan sejarah pra-republik, maka kita menemukan bagaimana sekolah-sekolah menjadi pendukung utama kehidupan sosial ekonomi sebuah peradaban. Sekolah-sekolah di masa Sriwijaya, dan kemudian Majapahit, menghasilkan ragam jenis aparat dan inteligensia yang berperan dalam siklus peradaban keduanya.

Sekolah-sekolah jenis ini juga yang menjalin hubungan dengan sekolah di Asia Selatan, yaitu Nalanda, dan di Tiongkok. I-Tsing/Yi-Jing adalah sarjana yang terhubung erat antara
ketiganya. Perannya sebagai inteligensia mencakup transformasi pengetahuan ke dalam peradaban, dan juga memproyeksikan pandangan topografis terhadap peradaban Hindu-Buddha.

Amartya Sen mencatat dengan amat menarik (Amartya Sen 2005: 85):

…Memang, interaksi itu telah memperkaya dan juga berhasil menyebarkan bahasa Sanskerta melewati batas-batas India selama beberapa abad. Pada abad ke-7, seorang sarjana dari Tiongkok belajar bahasa Sanskerta di Jawa (di sebuah kota Sriwijaya) dalam perjalanannya dari Tiongkok ke India. Pengaruh interaksi itu terefleksi di dalam
bahasa dan kosakata di sepanjang Asia, dari Thailand dan Malaysia hingga Indochina, Indonesia, Filipina, Korea, dan Jepang.

Hal ini juga terjadi di Tiongkok, di mana kesarjanaan dalam bahasa Sanskerta berkembang dengan sangat baik di awal milenium, di samping juga ada pengaruh yang datang dari negara-negara lain di kawasan tersebut. Cukup sering diakui bahwa bahkan kata “Mandarin”, kata yang menjadi konsep sentral dalam kebudayaan Tiongkok itu diderivasi dari kata Sanskerta, yakni Mantri, yang datang dari India ke Tiongkok lewat Malaysia.

Karakter Nusantara adalah kemampuan membangun rekaman sejarah yang menjadi sumber pelajaran mengenai era kontemporer dan masa depan. Mereka mendirikan sejenis
ingatan kelembagaan (institutional memory) sekaligus membangun visi peradaban secara terus-menerus.

Karakter ini mewarnai model interaksi yang sekarang mulai dipelajari lagi dan disemai kembali dalam interaksi sosial-politik Indonesia. Karakter ini dapat dilihat dalam beberapa hal sebagai berikut.

1. Siklus dunia atau siklus sejarah

Dalam lintasan waktu, masyarakat Nusantara telah mengalami beberapa kali guncangan (upheaval) yang mengakibatkan terjadinya perubahan besar, termasuk yang disebabkan oleh bencana alam.

Menanggapi perubahan-perubahan besar tersebut, masyarakat Nusantara melakukan upaya untuk mencermati dampaknya terhadap peradaban yang sudah dibangun, termasuk yang berpengaruh pada kekuasaan, sumber daya, dan pranata sosial-ekonomi. Pencermatan tersebut menghasilkan sebuah pemahaman bahwa “kekuasaan” dituntut untuk mampu mengelola siklus tersebut.

Dalam tataran tertentu, hal ini menghasilkan peran orakel—ramalan sekaligus kebijaksanaan untuk menghadapi turbulensi zaman—pada karakter Nusantara, sebagaimana yang muncul dalam “Jangka Jayabaya” dan Ilmu Begja (Ki Ageng Suryomentaraman).

2. Long-term perspective/ perspektif jangka panjang

Kehidupan keseharian sering diwarnai perhitungan biaya-manfaat. Namun, masyarakat Nusantara memiliki karakter untuk lebih mengutamakan perspektif jangka panjang ketimbang perhitungan jangka pendek tersebut.

Dalam lintasan sejarah, karakter Nusantara mewujud dalam bentuk nilai, bahasa, geodesi, tata kelola, dan sebagainya, yang terus-menerus berkembang tanpa henti, apa pun
rezim kekuasaan dan rezim globalisasinya. Kekuasaan yang paling tiran pun biasanya tidak dapat mengatasi superioritas perspektif ini.

3. Interaksi

Karena perhatiannya pada soal siklus dan perspektif jangka panjang, maka menjadi bisa dimengerti bahwa karakter Nusantara muncul dalam penghargaan atas “pertukaran gagasan”. Ada ribuan informasi dan pengetahuan yang muncul namun belum diolah. Dalam hal ini, kesediaan untuk belajar dan selalu mengolah ditumbuhkan.

Misalnya, pengetahuan mengenai kondisi alam Nusantara dibentuk dari pertukaran gagasan dari beragam kebudayaan yang ada di Nusantara, yaitu tradisi lokal, Hindu,
Buddha, Islam, dan kebudayaan Barat.

4. Perdagangan dan lapangan Nusantara

Dalam pertumbuhan peradaban Nusantara, perdagangan membawa barang dan jasa sekaligus ilmu dan sekolah dari penjuru dunia ke tanah Nusantara. Sebaliknya, ilmu Nusantara dan sekolah-sekolah dikembangkan di seluruh sudut dunia.

Dalam konteks Sriwijaya, peradaban Nusantara berinteraksi dengan peradaban India,
Tiongkok, dan Khmer. Sebaliknya, penjelajahan pedagang Bugis amat berkontribusi dengan perkembangan komoditi rempah-rempah di berbagai daerah di dunia, sekaligus peradaban Islam yang dikembangkan dalam kebijaksanaan Nusantara.

Dunia kolonialisme bukan satu-satunya penjelasan mengenai bagaimana Nusantara tumbuh. Lintas sejarah dalam peradaban ini menunjukkan bahwa globalisasi juga menjadi cara hidup masyarakat Nusantara. Cara pandang terbuka dan optimis ini dicerminkan oleh modus penjelajahan kelompok-kelompok dagang Nusantara.

Pramoedya Ananta Toer, misalnya, dalam Arus Balik, mengambil konteks dampak serangan
Demak ke Malaka (1511) terhadap elan peradaban di Nusantara. Cara pandang ini dianggap amat umum di kalangan kerajaan dan pedagang di wilayah pesisir Nusantara, bahkan di masa kolonialisme (dilihat mulai dari masuknya VOC).

Konteks lain, kita melihat jenis pengetahuan Prambanan (abad ke-9) diproyeksikan dalam kompleks candi Angkor Wat (abad ke-11). Konteks ini menarik karena, meski Mataram
Hindu dan Khmer mempunyai sifat “pedalaman” yang kuat, proyeksi pengetahuan (teknik sipil, geodesi, arsitektur, dan lainnya) berkembang bersama perdagangan dalam kurun waktu yang cukup lama. Dalam lintasan waktu 4 abad, perdagangan dipakai sebagai alat, lintasan (trajectory), dan sumber daya bagi peradaban yang ditumbuhkan di pedalaman.

Kesadaran hidup dengan masyarakat global muncul dari rempah-rempah dan perdagangan yang tumbuh darinya. Perdagangan sekitar rempah-rempah terus berkembang tanpa henti
sejak masa Sriwijaya. Namun, perlu dicermati bahwa perdagangan adalah suatu bentuk hubungan internasional yang “non-hegemonik” atau “nonpenaklukan”.

Dalam sejarah wilayah Nusantara, hal ini menjadi lebih nyata. Setiap kekuatan dagang yang mau membangun ragam kekuatan menjadi monolitik akan menemui kegagalan.
VOC sendiri gagal di Nusantara. Begitu pun, kerajaan-kerajaan Nusantara yang monolitik, juga dalam perdagangan, tidak mempunyai siklus hidup (lifecyle) yang panjang.

Berada di antara kekuatan besar dunia, seperti India, Khmer, Thai, Tiongkok, Vietnam, kekuatan-kekuatan dagang (guild) Nusantara selalu melihat perdagangan sebagai trajectory yang operasional.

Perebutan Laut Tiongkok Selatan tidak terjadi karena perdagangan membuat kelompok-kelompok tersebut menghargai kawasan Laut Tiongkok Selatan sebagai platform bagi “kemakmuran pedalaman”. Dalam perjalanan sejarah, ilmu dan sekolah turut berkembang dalam perdagangan ini.

Perlu juga dilihat konteks perdagangan dan nilai yang dibawa. Misalnya, ilmuwan Tiongkok dan India amat menghargai matematika, susastra, dan arsitektur. Perdagangan membawa
ketiganya.

Misal lain, pedagang Gujarat membawa peradaban Islam dari berbagai sekolah di Timur Tengah dan Asia Tengah. Tidaklah mengherankan, lapangan Nusantara menjadi amat
diperkaya. Termasuk dalam hal ini adalah kemampuan peradaban Islam memindahkan perhatian peradaban dari kekuasaan konsentrik menjadi relasi konfederatif.

Bagi Nusantara, sumbangan ini tidak dapat dibilang kecil. Berulang kali monolitisme gagal,
dan kemudian pedagang Gujarat dan peradaban Islam melaluinya mengembangkan ide-ide konfederatif.

5. Perdagangan pembentukan ideal “commonwealth

Commonwealth berarti “makmur bersama” atau persemakmuran. Dalam arti ini, perdagangan memainkan peranan besar seturut kondisi kepulauan Nusantara.

Peradaban yang dihasilkan dari perdagangan ini menumbuhkan sentimen rileks terhadap banyaknya pusat-pusat pertumbuhan, suatu perspektif konfederatif. Dengan pengetahuan yang tersebar luas, justru pertukaran barang-jasa dan pertukaran ide menjadi subur.

Ketika VOC masuk dan mendesakkan kekuatan dominan, bahkan kolonialisme, maka reaksi
kelompok-kelompok Nusantara menjadi keras (harsh) dan berkelanjutan (sustained). Episode Cultuurstelsel semakin memberikan penegasan mengenai akibat adanya dominasi
tunggal. Episode ini sekaligus mematahkan anggapan bahwa “pedalaman dan pesisir” tidaklah berhubungan.

Cultuurstelsel adalah pemaksaan keras pertanian untuk kepentingan sempit perdagangan,
diikuti militerisasi. Perspektif “anti-kolonialisme” memperkuat intuisi “anti-hegemoni”
atau “anti-penaklukan” yang berkembang dalam sifat perdagangan kelompok-kelompok Nusantara.

Sisi-sisi laut Nusantara yang terbuka dan memungkinkan bagi banyaknya jalur perdagangan semakin memperkuat karakter Nusantara yang anti terhadap berbagai bentuk pemaksaan.

*) Tulisan ini merupakan bagian dari buku Indonesia, Zamrud ToleransiDimuatnya kembali tulisan ini dalam situs 1001 Indonesia sebagai upaya untuk menyebarkan ide-ide yang terdapat dalam buku tersebut pada khalayak yang lebih luas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

2 × one =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.