Daun Sirih, Tanaman Asli Indonesia yang Bernilai Budaya

5612
Daun Sirih
Daun Sirih (Foto: deherba.com)

1001indonesia.net – Budaya makan daun sirih sudah berusia ribuan tahun. Konon, tanaman sirih (Piper betle Linn.) merupakan tanaman merambat asli Indonesia, termasuk dalam jenis Piperaceae

Tanaman ini tumbuh subur di sepanjang Asia tropis hingga Afrika Timur, dan menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia, Malaysia, Thailand, Sri Lanka, India, hingga Madagaskar. Di Indonesia, sirih menjadi identitas flora Provinsi Kepulauan Riau.

Ciri Umum

Sirih merupakan tanaman terna, tumbuh menjalar seperti jenis tanaman lada pada umumnya. Tinggi tanamannya bisa mencapai 15 meter, tergantung pada kesuburan media tanam dan tinggi-rendahnya media untuk merambat. Batang berwarna cokelat kehijauan, berbentuk bulat, berkerut, dan beruas yang menjadi tempat keluarnya akar.

Daun berbentuk hati, berujung runcing, tumbuh berselang-seling, dan bertangkai. Tekstur daun agak kasar jika diraba, dan mengeluarkan bau yang sedap (aromatis) jika diremas. Tanaman ini hidup subur di tanah gembur yang tidak terlalu lembab dalam cuaca tropis dengan pasokan air yang cukup.

Sirih ada beberapa jenis, yaitu sirih jawa (paling sering digunakan untuk menyirih), banda (berdaun besar), cengkih (berdaun kuning dan rasanya tajam seperti rasa cengkih), serta sirih merah dan hitam.

Daun sirih digunakan sebagai ramuan obat sejak zaman dahulu. Daun sirih bisa mengobati berbagai macam penyakit, di antaranya mimisan, sakit mata, sariawan, bau mulut, luka luar, bau badan, dan keputihan. Daun sirih juga memiliki manfaat untuk merawat kecantikan dan organ kewanitaan.

Tradisi Makan Daun Sirih

Di kawasan Asia Tenggara, budaya memakan sirih sudah dimulai sejak 3.000 tahun yang lalu atau sejak zaman neolitikum. Tradisi makan sirih dilakukan oleh siapa saja, baik rakyat jelata maupun bangsawan, baik tua maupun muda, baik laki-laki maupun perempuan.

Salah satu sastra Minangkabau menyebutkan, Cindua Mato memiliki ilmu pusaka Sirih Tanyo-tanyo. Ia memiliki kemampuan untuk berbicara pada tengkorak-tengkorak. Dengan mengunyah daun sirih lalu menyemburkannya ke tengkorak, Cindua dapat memanggil roh tengkorak itu. Dengan cara iru, ia dapat menanyai sebab-sebab kematian mereka.

Cindua Mato juga menggunakan daun sirih untuk melawan musuhnya. Pada suatu kali, ia menyemburkan air daun sirih yang sudah dimantrai kepada musuhnya, Imbang Jayo, yang sedang tidur. Imbang yang semula sakti, begitu terkena semburan menjadi tak berdaya. Dalam masyarakat Minang, ilmu itu dipercaya masih diwariskan sampai sekarang dan menjadi ciri mistik lokal yang diandalkan.

Dalam sastra Bugis La Galigo yang ditulis dalam huruf Lontara disebutkan bahwa I La Galigo menenangkan diri dengan cara mengunyah sirih. Begitu pula, dalam hikayat-hikayat Batak masa silam disebutkan adanya Taman Sirih (Taman Obat) sebagai tanda ketinggian ilmu medis Batak kuno. Dalam Nagarakretagama, dinyatakan bahwa sirih digunakan sebagai sarana perjamuan antara raja-raja.

Juga terdapat catatan dari penjelajah asing mengenai budaya makan sirih di kepulauan Nusantara. Marco Polo, seorang penjelajah dunia pada abad ke-13, mencatat bahwa masyarakat kepulauan Nusantara banyak yang makan sirih. Hal yang senada dinyatakan oleh Ibn Battuta dan Vasco da Gama yang mengungkapkan bahwa ada masyarakat di sebelah timur yang memiliki kegemaran makan daun sirih.

Sampai sekarang, tradisi ini masih ada di beberapa daerah di  Indonesia. Biasanya, sebelum dimakan, sirih diramu dengan tembakau, kapur, gambir, cengkih, dan buah pinang. Ada berbagai istilah dipakai untuk makan sirih, seperti bersugi, bersisik, menyepah, nyusur, dan nginang.

Tradisi makan sirih sendiri tidak diketahui asal-usulnya. Ada yang berpendapat tradisi ini berasal dari India berdasarkan pada cerita-cerita sastra dan sejarah lisan. Pandangan lain menyebutkan bahwa kemungkinan besar tradisi ini berasal dari kepulauan Nusantara.

Salah satu fungsi utama dari bersirih adalah untuk merawat gigi. Diketahui bahwa daun sirih mengandung kandungan minyak atsiri yang berfungsi sebagai zat antibakteri.

Masyarakat Indonesia sudah sejak lama mengenal daun sirih sebagai bahan untuk menginang dengan keyakinan bahwa daun sirih dapat menguatkan gigi, menyembuhkan luka-luka kecil di mulut, menghilangkan bau mulut, menghentikan pendarahan gusi, dan sebagai obat kumur.

Daun sirih juga digunakan sebagai antimikroba terhadap Streptococcus mutans yang merupakan bakteri yang paling sering mengakibatkan kerusakan pada gigi

Kelengkapan Upacara Adat dan Keagamaan

Selain sebagai “makanan”, sirih juga digunakan dalam upacara adat dan keagamaan. Biasanya untuk keperluan ini, sirih digabungkan dengan pinang atau jenis tanaman lainnya.

Di Jawa, sirih memegang peranan yang sangat penting dalam upacara nontoni atau upacara perkenalan dan upacara pernikahan. Pada saat upacara nontoni, seorang gadis menyerahkan sirih kepada sang pemuda sebagai simbol ia siap disunting.

Dalam upacara pernikahan, tepatnya saat berlangsung balangan atau saling melempar, sirih dibuat sebagai sirih gantal. Maksudnya, kedua mempelai sudah tidak lagi berstatus lajang, tapi sudah ada yang memiliki atau terikat satu sama lain sebagai suami istri.

Sirih gantal terdiri atas daun sirih, gambir, pinang, kapur, dan cengkih. Semuanya digulung dan diikat dengan benang. Gulungan gantal ini juga bisa disebut sebagai kinang sebagai ramuan dalam makan sirih.

Tidak hanya di Indonesia, di India pun sirih memegang peranan penting. Sirih menjadi komponen utama dalam semua upacara-upacara keagamaan Hindu di India.

Baca juga: Areca Jokowi, Spesies Pinang Baru dari Tanah Papua

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

nine + 6 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.