Orangutan Tapanuli, Spesies Orangutan Baru di Indonesia

2060
Orangutan Tapanuli, Spesies Orangutan Baru di Indonesia
Orangutan Tapanuli (Foto: James Askew—AP)

1001indonesia.net – Penemuan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) sebagai spesies baru menjadi kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Namun, hal ini sekaligus juga menimbulkan kecemasan baru dari aspek kelestarian alam.

Meski baru ditemukan dan ditetapkan sebagai spesies orangutan baru, populasinya sudah berada di ambang kepunahan. Jumlahnya yang hanya tersisa sekitar 800 ekor saja membuat orangutan tapanuli menjadi spesies orangutan terlangka di dunia.

Padahal, penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa orangutan tapanuli adalah spesies tertua dibandingkan dengan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) dan orangutan sumatra (Pongo abelii). Temuan itu sangat menarik karena ada jenis kera besar yang baru ditemukan pada abad ke-21 ini. Penemuan kera besar sebelumnya terjadi hampir satu abad silam.

Orangutan merupakan satu-satunya kera besar kerabat dekat manusia yang habitatnya berada di luar Afrika. Tiga jenis kera besar lain yang tersisa di bumi, yakni gorila, simpanse, dan bonobos, hanya ditemui di Afrika.

Saat ini, primata asli Indonesia ini hanya bisa ditemui di hutan Kalimantan dan Sumatra. Sementara di pulau Jawa hanya ditemukan fosilnya saja. Dengan kata lain, orangutan jawa telah mengalami kepunahan.

Keberadaan orangutan di Ekosistem Batang Toru di daratan tinggi Tapanuli, Sumatra Utara, sebenarnya sudah diketahui sejak akhir 1990-an. Sebelum masa itu, peneliti menganggap populasi orangutan sumatra di alam bebas hanya tersebar di wilayah utara Danau Toba, meliputi kawasan Langkat di Sumatra Utara dan Aceh.

Awalnya, orangutan di Ekosistem Batang Toru ini pun hanya dianggap sebagai bagian dari spesies orangutan Sumatra.

Spesies ini baru ditemukan karena pada dasarnya orangutan merupakan satwa yang terkenal sangat pemalu. Hal ini membuat sangat sulit untuk menemukan mereka di alam bebas. Para peneliti yang datang ke habitatnya bisa saja mendapati banyak sarangnya tanpa melihat satu orangutan pun di sana.

Upaya untuk meneliti orang Utan di Batang Toru ini sudah dimulai sejak 1997. Penelitian ini melibatkan berbagai ilmuwan, baik dari dalam maupun luar negeri, seperti Universitas Nasional, IPB, Universitas Zurich, Universitas John Moores Liverpool, dan Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP). Penelitian juga didukung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.

Proyek ini mengalami terobosan setelah terjadi peristiwa tragis pada November 2013. Saat itu, satu orangutan jantan di hutan Tapanuli diserang dan dibunuh oleh warga kampung. Para peneliti kemudian mengambil tengkoraknya dan membandingkan dengan 33 tengkorak orangutan Sumatera dan Kalimantan.

Tengkorak orangutan yang baru terbunuh diketahui lebih kecil, wajahnya lebih rata, dan taringnya lebih lebar dibandingkan orangutan sumatra dan kalimantan.

Pada 2015, studi genetik mulai menemukan adanya perbedaan antara orangutan dari Batang Toru dan populasi orangutan di wilayah utara Danau Toba. Sejak saat itu, diusulkan adanya subspesies baru untuk spesies orangutan sumatra dengan nama Pongo abelii tapanuliensis.

Penelitian lebih mendalam dalam bidang genomik, morfologi, ekologi, dan perilaku menemukan bukti kuat bahwa orangutan dari Batang Toru secara taksonomi lebih dekat dengan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Sekalipun hanya dipisahkan oleh Danau Toba, orangutan di Batang Toru justru lebih jauh berbeda dengan populasi Pongo abelii.

Secara fisik, orangutan dari Batang Toru memiliki bulu lebih tebal dan keriting ketimbang dua orangutan lainnya. Tengkorak dan tulang rahangnya juga lebih halus. Perbedaan juga terlihat dari panggilan jarak jauh jantan dewasa. Perbedaan terutama dari genetiknya.

Oleh karena itu, kemudian disimpulkan bahwa orangutan di Batang Boru berbeda atau di luar spesies orangutan yang lebih dahulu diindentifikasi, yaitu orangutan sumatra dan orangutan kalimantan. Berdasarkan perbedaan genetik dan morfologi ini, orangutan di Batang Toru kemudian dinyatakan sebagai spesies baru dengan nama latin Pongo Tapanuliensis.

Temuan ini dipublikasikan di jurnal Current Biology pada 2 November 2017 yang menunjukkan bahwa orangutan kalimantan, orangutan sumatra, dan orangutan di Batang Toru memiliki irisan garis keturunan. Menariknya, garis keturunan tertua justru dimiliki oleh orangutan di Batang Toru. Ini berarti orangutan tapanuli ini merupakan moyang dari kedua spesies yang lebih dulu dikenali.

Kajian genetik oleh tim yang dipimpin oleh Alexander Nater dari Universitas Zurich ini menemukan bahwa jutaan tahun lalu orangutan bermigrasi dari daratan Asia Selatan ke bagian selatan dan barat Sumatra yang saat itu masih menjadi bagian dari daratan besar Asia atau dikenal sebagai Paparan Sunda.

Sekitar 3,3 juta tahun yang lalu, sebagian orangutan ini kemudian bergerak ke utara dan menghuni di bagian utara, saat ini Kaldera Toba. Kedua populasi ini tidak saling bercampur sehingga kemudian masing-masing mengembangkan ciri fisik dan genetik yang berbeda.
Lalu, sekitar 600.000 tahun lalu, pemisahan kedua terjadi. Sebagian populasi orangutan di selatan kaldera toba kemudian bermigrasi jauh ke arah utara hingga ke Kalimantan.

Hingga periode itu, Sumatra, Jawa, dan Kalimantan masih menjadi satu daratan sebagai Paparan Sunda. Ini yang menjelaskan kenapa orangutan tapanuli lebih memiliki kedekatan dengan orangutan Kalimantan karena pemisahan kedua populasi lebih belakangan dibandingkan dengan orang utan Sumatra.

Migrasi orangutan di masa lalu diduga dipengaruhi oleh letusan dahsyat Gunung berapi Toba yang kemudian memisahkan secara total populasi orangutan di selatan dan utara danau vulkanik ini. Tak dijelaskan bagaimana orangutan ini bisa bertahan dari letusan supervolkano Toba yang letusannya disebut sebagai yang terkuat di bumi dalam kurun waktu 2 juta tahun terakhir.

Temuan Pongo tapanuliensis sebagai spesies baru menjadi kunci penting untuk menjawab asal-usul, kekerabatan, hingga jalur migrasi orangutan di Nusantara. Bahkan, boleh dikatakan ini adalah salah satu temuan besar abad ini di bidang keragaman hayati.

Tak hanya berguna dalam memahami migrasi kera besar, penemuan ini juga membantu kita memahami migrasi manusia modern. Ternyata jalur migrasi orangutan dan manusia modern hampir sama, yaitu dari jalur asia selatan lalu melalui semenanjung Malaysia sebelum ke Sumatra bagian selatan, baru ke utara.

Meski demikian, euforia penemuan ini segera menghadapi persoalan serius. Saat ini, berdasarkan hasil penelitian tahun 2016, orangutan Tapanuli hanya tersisa 800 ekor di alam dan terisolasi di area seluas 110.000 ha dalam Ekosistem Batang Toru. Selain itu, belum seluruh areal habitat mereka punya status perlindungan. 

Sempitnya area pergerakan mereka menyebabkan orangutan ini banyak mengalami inbreeding atau kawin sedarah sehingga rentan menghadapi berbagai penyakit genetik. Hal ini semakin diperparah dengan angka reproduksi yang rendah. Orangutan Tapanuli hanya melahirkan satu anak setiap sekitar enam tahun.

Belum lagi adanya perburuan liar yang disinyalir turut menyebabkan susutnya populasi orangutan di Batang Toru. Ancaman terbaru adalah adanya rencana pembangunan bendungan raksasa di habitat orangutan ini (Kompas, 04/05/2018). Padahal habitat yang dimiliki spesies tersebut sudah sangat kecil.

Saat ini, orangutan tapanuli menjadi salah satu spesies paling langka di dunia. Melihat situasi ini, para peneliti akan memasukkan orangutan Tapanuli ke dalam daftar spesies “sangat terancam punah” (critically endangered) berdasarkan daftar merah Organisasi Internasional untuk Konservasi Alam dan sumber daya alam (IUCN).

Tanpa ada upaya perlindungan yang segera dan sungguh-sungguh, nenek moyang orangutan ini akan punah sebagaimana kerabat mereka di Pulau Jawa yang saat ini hanya tersisa fosilnya saja.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

two − two =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.