Mas Mansur, Ulama Pejuang dari Muhammadiyah

1434
Mas Mansur
Foto: pwmu.co

1001indonesia.net – Bersama Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara, KH Mas Mansur merupakan tokoh politik yang diperhitungkan ketika Jepang berkuasa. Dia dikenal sebagai ulama reformis-modernis yang banyak mengilhami gerakan umat Muslim pada era pergerakan kebangsaan. Ia juga memiliki peran besar dalam perjuangan bangsa saat pendudukan Jepang dan masa revolusi kemerdekaan Indonesia. 

Lahir pada 25 Juni 1896 di Surabaya, Mansur berasal dari keluarga pesantren di Surabaya. Ibunya yang bernama Raudhah merupakan seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo di Wonokromo, Surabaya.

Ayahnya bernama Kiai Haji Mas Ahmad Marzuqi, merupakan seorang pionir Islam, ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada masanya. Berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura, Kiai Haji Mas Ahmad Marzuqi dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Ampel, suatu jabatan terhormat pada saat itu.

Mansur kecil mengawali pendidikan dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Dia juga belajar pada Kiai Muhammad Thaha di Pesantren Sidoresmo. Ketika berusia sepuluh tahun, Mansur dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan di Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Qur’an dan mendalami kitab Alfiyah ibnu Malik kepada Kiai Kholil.

Sepulang dari Pondok Pesantren Demangan pada 1908, dia pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar. Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi politik di Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Syarif Hussen, mengeluarkan instruksi bahwa orang asing harus meninggalkan Mekah supaya tidak terlibat sengketa itu.

Sebenarnya saat itu ayahnya meminta Mansur kembali ke Indonesia. Namun, Mansur muda tetap kukuh melanjutkan pelajaran ke Mesir meski tanpa persetujuan ayahnya. Kiai Haji Mas Ahmad Marzuqi melarang anaknya belajar ke Mesir karena reputasi Kairo yang kurang baik saat itu.

Tindakan Mansur yang tanpa persetujuan ayahnya itu berakibat pada kehidupannya yang pahit dan sulit di Kairo. Orangtuanya tidak mengiriminya uang untuk biaya hidup dan membayar uang sekolah. Sebab itu, dia sering berpuasa Senin-Kamis dan mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid.

Keadaan sulit yang dialami Mansur itu berlangsung kurang lebih satu tahun. Setelah mendapat laporan dari familinya yang mengabarkan bahwa Mansur benar-benar belajar dan kehidupannya sangat memprihatinkan, baru ayahnya kembali mengiriminya uang.

Di Mesir, Mansur belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Saat itu, sedang tumbuh semangat nasionalisme dan pembaruan di Mesir. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui tulisan media massa maupun dengan pidato. Mas Mansur tidak melewatkan kesempatan untuk membaca tulisan-tulisan dan mendengarkan pidato-pidato tersebut.

Mas Mansur belajar di Mesir selama kurang lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu dia singgah di Mekah selama satu tahun.

Ia kembali ke tanah air tahun 1915. Mas Mansur kemudian bergabung ke Sarekat Islam (SI) yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto. Mas Mansur dipercaya sebagai penasihat pengurus besar SI dalam usia kurang dari 30 tahun.

Selain aktif di SI, Mas Mansur juga membentuk majelis diskusi Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran) bersama Wahab Hasbullah pada 1916. Taswir al-Afkar merupakan tempat berkumpulnya para ulama Surabaya. Di majelis tersebut, para ulama membahas beragam masalah, mulai dari yang bersifat keagamaan murni sampai persoalan politik perjuangan melawan penjajah.

Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai aktivitas lain di berbagai kota, seperti Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang menitikberatkan pada pendidikan. Sebagai kelanjutan Nahdhah al-Wathan, Mas Mansur dan Wahab Hasbullah kemudian mendirikan madrasah Khitab al-Wathan, madrasah Ahl al-Wathan di Wonokromo, Far’u al-Wathan di Gresik, dan Hidayah al-Wathan di Jombang.

Tak hanya aktif di organisasi, Mas Mansur juga rajin menuliskan pemikirannya di media massa. Tercatat ia pernah menerbitkan majalah Soeara Santri dan Djinem (1920). Melalui kedua majalah tersebut Mas Mansur mendorong para pemuda untuk berlatih mengekspresikan pikiran dalam bentuk tulisan. Ia juga mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan.

Di samping menerbitkan dua majalah, Mas Mansur juga pernah menjadi redaktur Kawan Kita di Surabaya.

Pada 1921, Mas Mansur masuk Muhammadiyah. Di organisasi tersebut, ia meniupkan angin segar pembaruan. Secara berjenjang ia menapaki karier di Muhammdiyah. Dia diangkat menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncaknya, Mas Mansur didapuk menjadi Ketua PP Muhammadiyah untuk periode 1937-1942.

Baca juga: Muhammadiyah, Gerakan Pembaruan Islam di Bidang Pendidikan dan Sosial

Mas Mansur dikenal aktif dalam bidang politik umat Islam. Pengaruhnya yang kuat di kalangan masyarakat diakui oleh pemerintah kolonial. Sebab itu, dia pernah ditawari posisi di Het Kantoor van Inlandsche Zaken sebagai kepala lembaga urusan agama. Namun, ia tolak tawaran tersebut.

Bersama Hasyim Asy’ari dan Wahab Hasbullah, Mas Mansur justru berinisiatif membentuk Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 25 September 1937. Tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk membantu para ulama di seluruh Indonesia dalam berjejaring dan membangun hubungan satu sama lain, baik fisik maupun spiritual.

Ia juga mencetuskan ide berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai pertimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).

Ketika Jepang berkuasa, Mas Mansur merupakan satu dari 4 tokoh nasional yang sangat diperhitungkan. Mereka dikenal dengan empat serangkai, yaitu Sukarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansur.

Saat pecah perang kemerdekaan, dalam keadaan yang belum sembuh benar dari sakitnya, Mas Mansur ikut berjuang. Dia memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Sampai akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Kalisosok.

Di tahanan, Mas Mansur meninggal pada 25 April 1946. Jenazah tokoh yang banyak mengilhami gerakan pemuda muslim ini dimakamkan di Gipo Surabaya.

Atas jasa-jasanya, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional bersama teman seperjuangannya, KH Fakhruddin.

Baca juga: Kiai Haji Ahmad Dahlan, Ulama Pembaru dan Pendiri Muhammadiyah

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

two × two =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.