Kuau Raja, Maskot Satwa Sumbar yang Semakin Langka

1868
Kuau Raja
Foto: greeners.co

1001indonesia.net – Kuau raja (Argusianus argus) adalah spesies burung yang dilindungi karena populasinya yang menurun seiring dengan hilangnya habitat aslinya dan juga karena perburuan. Burung raksasa ini merupakan maskot satwa Provinsi Sumatra Barat.

Keberadaan kuau raja semakin langka. Jarang yang mendengar apalagi melihat burung ini. Padahal, di masa silam, burung ini begitu dipuja masyarakat Minang hingga banyak muncul dalam ungkapan-ungkapan ataupun pantun.

Burung ini bahkan muncul dalam buku Charles Darwin berjudul The Descent of Man (1874). Dalam buku tersebut, sang illustrator TW Wood menggambar burung kuau raja saat sedang mengepakkan kipas raksasanya.

Burung yang bisa mencapai bobot 10 kilogram ini dikenali melalui bulunya bercorak yang bulatan-bulatan kecil mirip mata serangga. Warna bulatan-bulatan tersebut cerah dengan bintik keabu-abuan.

Corak mata-mata ini akan lebih terlihat saat bulu ekornya megar, terutama ketika si jantan memamerkan bulu sayap dan ekornya di depan burung betina. Seperti burung merak, bulu-bulu sayapnya membentuk kipas, memamerkan “ratusan mata” di depan pasangannya.

Foto: Merdeka.com

Nama Latin Argusianus argus diberikan pada kuau raja dikarenakan ciri fisiknya ini. Nama ini diambil oleh Carolus Linnaeus (1707-1778), ilmuwan Swedia peletak dasar tatanama biologi, dari mitologi Yunani yang maknanya adalah raksasa bermata seratus. Dalam Bahasa Inggris disebut Great Argus.

Selain ukuran raksasanya serta bulatan-bulan menyerupai mata pada bulunya, ciri khas lainnya adalah terdapatnya dua helai bulu ekor yang panjangnya hingga satu meter.

Kuau raja memang tidak bisa terbang jauh, namun kekurangan ini diimbanginya dengan kemampuannya dalam berlari. Burung ini juga dapat berpindah tempat dengan melompat ke dahan-dahan pohon. Kuau raja juga memiliki penciuman dan pendengaran yang sangat tajam sehingga sukar ditangkap.

Karena tak bisa terbang tinggi seperti burung pada umumnya, burung ini tidak membuat sarang di atas pohon. Kuau raja membuat sarang di permukaan tanah yang rindang. Makanannya terdiri dari buah-buahan yang jatuh, biji-bijian, siput, semut, dan berbagai jenis serangga.

Kuau jantan biasanya soliter, sangat teritorial, dan penganut poligini (satu jantan banyak betina). Jantan menunjukkan teritorinya dengan membersihkan daerahnya dari daun, ranting, semak atau batu, dan bersuara di areanya pada pagi hari.

Namun begitu, suaranya meledak-ledak. Mereka mengeluarkan nada ganda dengan bunyi: “ku-wau”. Mungkin, itulah salah satu sebabnya mengapa spesies ini diberi nama kuau raja. Suara ini akan terdengar kembali setiap jeda 15-30 detik atau bahkan lebih panjang.

Di Indonesia, kuau raja hanya ada di Sumatera dan Kalimantan. Secara global, persebarannya ada di Thailand, Myanmar, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Habitat yang disukainya adalah hutan primer di dataran rendah hingga ketinggian 1.500 meter diatas permukaan laut.

Dalam status konservasi yang dikeluarkan oleh IUCN Redlist, status kuau raja adalah near threatened (mendekati terancam punah). Burung kuau raja juga tercantum dalam Apendiks II CITES. Burung ini ditetapkan sebagai maskot satwa provinsi Sumatera Barat lewat Kepmendagri Nomor 48 Tahun 1989, pun tertera sebagai burung yang dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999.

Hidup kuau raja saat ini menghadapi ancaman ganda, yaitu diburu untuk diambil bulu dan dagingnya ataupun diperdagangkan serta habitat hidupnya rusak akibat terdegradasinya hutan dan alih fungsi lahan.

Baca juga: Maleo, Burung Endemik Sulawesi yang Langka

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

7 + 2 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.