Indonesia sebagai Negara Kelautan

4686

1001indonesia.net – Menurut AB Lapian dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan dengan judul Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut, dibandingkan negara kepulauan, istilah negara kelautan atau negara maritim lebih cocok sebagai padanan kata archipelago state. Dalam kamus Oxford dan Webter, kata archipelago berasal dari bahasa Yunani, yakni arc yang berarti utama, dan pelagos yang berarti laut.

Dengan kata lain, archipelago state harus diartikan sebagai negara kelautan atau “negara laut utama” yang ditaburi pulau-pulau. Bukan negara kepulauan atau negara pulau-pulau yang dikelilingi laut (Lapian, 2009). Dalam arti ini, laut tidak berperan sebagai pemisah melainkan pemersatu atau penghubung pulau-pulau.

Jadi, laut adalah yang utama. Oleh karena itu, kawasan laut merupakan hal yang wajib diperhatikan baik dalam teori maupun dalam praktik bangsa ini. Sayangnya, yang terjadi sebaliknya. Selama beberapa dekade, masyarakat Indonesia seperti memunggungi laut. Perhatian kita selama ini lebih banyak ke daratan.

Padahal, kawasan laut Indonesia sangat luas, meliputi 2/3 luas Indonesia dengan garis pantai yang sangat panjang (terpanjang kedua di dunia setelah Kanada). Banyak orang Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada laut baik langsung maupun tidak langsung. Apalagi laut Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kesejahteraan rakyat. Laut, seperti yang diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo, adalah masa depan Indonesia.

Kejayaan Masa Lampau

Sejarah kejayaan Sriwijaya dan Majapahit bisa menjadi pijakan bahwa sebenarnya Indonesia mampu menjadi negara kelautan yang kuat. Dua kerajaan Nusantara tersebut mampu menguasai dan menjadi yang terdepan dalam pelayaran samudra serta mampu menjaga kedaulatan lautnya. Penguasaan atas sektor laut membuat kedua kerajaan ini mampu memainkan peran yang sangat penting dalam perdagangan dunia.

Kerajaan Sriwijaya memainkan peran utama dalam perdagangan Asia pada zaman Pertengahan, selama lebih dari 500 tahun. Menurut Coedes, kekuasaan dan kemakmuran kerajaan yang berpusat di Sumatra bagian selatan ini disebabkan penguasaannya atas Selat Malaka, yang merupakan jalur laut terkenal dalam sejarah perdagangan.

Pada puncak kejayaannya (abad ke-9 sampai 10 M), kerajaan ini menguasai seluruh jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara. Akibat penguasaan akan laut, kerajaan yang pernah menjadi pusat pembelajaran agama Buddha ini menjadi sangat kaya dan memiliki daerah yang sangat luas, membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa Barat, dan kemungkinan Jawa Tengah.

Sementara itu, Kerajaan Majapahit yang didirikan pada 1293 dan berpusat di Jawa Timur mencapai puncaknya pada di era Mahapatih Gajah Mada (menjabat 1334–1359) sampai meninggalnya Raja Hayam Muruk (memerintah 1350–1389). Saat itu, Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang sangat disegani di kawasan Asia.

Majapahit menjadi besar dan kaya terutama karena memanfaatkan dengan sangat baik potensi maritimnya. Majapahit memainkan perannya sebagai poros perdagangan Tiongkok-India. Kunci keberhasilan strategi Poros Maritim Majapahit ada dalam kemampuannya memainkan kekuatan maritim dan diplomasi dalam mengeksploitasi laut sebagai jalur perdagangan.

Hal ini dapat terjadi karena adanya hubungan yang relatif damai dan stabil dengan kerajaan di India dan Tiongkok Selatan. Dalam situasi tersebut, Majapahit relatif bebas membesarkan kekuasaannya di Nusantara bagian barat.

Sebab lain kebesaran Majapahit adalah teknologi perkapalan yang sudah maju dan stabilitas politik internal yang terjaga baik. Majapahit juga mampu mengendalikan distribusi dan pertukaran komoditas antara berbagai pihak dengan menjamin keamanan perairan Nusantara, membuatnya menjadi poros perdagangan di Asia Tenggara.

Di dalam negeri, Majapahit berhasil mengendalikan produksi komoditas, terutama beras dan rempah-rempah yang dibutuhkan negara lain. Terutama pada pemerintahan Hayam Muruk, Majapahit sangat memperhatikan ketahanan pangan. Raja Majapahit ini sadar benar hubungan yang tak terpisahkan antara politik dan ketahanan pangan.

Untuk itu, Hayam Muruk membuat aturan terkait pertanian, membuka ladang-ladang, dan membangun sistem irigasi yang baik. Hasilnya, Majapahit tidak hanya mampu berswasembada pangan, tapi juga mengekspor beras hingga Asia Selatan dan Asia Timur. Dengan kedaulatan pangan yang dimilikinya, stabilitas politik dalam negeri terjaga dan Majapahit mencapai puncak kejayaannya.

Teknologi perkapalan Nusantara pada era Majapahit juga telah sangat maju. Saat itu, kapal Nusantara bahkan lebih digdaya dibandingkan dengan kapal-kapal Tiongkok. Semua runtuhan kapal yang ditemukan di perairan Indonesia kontemporer berasal dari Nusantara. Kapal-kapal itu berlayar sampai India, Tiongkok, dan bahkan hingga benua Afrika. Contohnya, reruntuhan kapal di Laut Jawa, utara Cirebon, yang berasal dari tahun 973 M, panjangnya mencapai 50 m.

Nusantara waktu itu memiliki berbagai jenis kapal. Kapal layar bercadik pada relief candi Borobudur yang berukuran kecil digunakan untuk menjaga keamanan laut di wilayah pantai. Nusantara juga memiliki kapal dengan ukuran yang jauh lebih besar untuk mengarungi samudra yang disebut kapal jung. [Baca: Kapal Jung Jawa, Teknologi Perkapalan Nusantara]

Kemampuan kelautan Nusantara waktu itu bisa dibilang lebih unggul dibanding kerajaan-kerajaan di Tiongkok. Terdapat catatan Tiongkok yang menyebutkan hingga abad 8 M, Tiongkok tidak punya kapal samudra. Tiongkok malah gentar dengan kapal-kapal K’un-lun, sebutan untuk Asia Tenggara.

Catatan tersebut menunjukkan bahwa pada abad ke-3 M, Nusantara telah memiliki kapal layar dengan panjang 50 m, tinggi di atas air 5 m, dan bisa mengangkut sampai 700 orang ditambah muatan 750 ton. Ukuran kapal ini sangat besar bahkan untuk ukuran kapal samudra milik bangsa Eropa. Kapal ekspedisi samudra Santa Maria milik Columbus tahun 1460, misalnya, panjangnya hanya 19 meter dan mengangkut 41 orang.

Catatan lain berasal dari Gaspar Coereia (1496–1563). Ia adalah kru dari armada kapal Alfonso D’Albuquerque, seorang penjelajah terkenal yang berperan dalam pembentukan pemerintahan kolonial Portugis di Asia. Pada 1510, mereka harus menghadapi satu kapal jung Nusantara. Saat itu, armada Portugis yang tiap kapalnya berukuran 20 meter menghadapi satu kapal jung yang ukurannya beberapa kali lipat.

Kapal jung itu tinggi sekali dan memiliki 4 lapis. Bahkan, meriam mereka yang paling besar pun hanya mampu menembus dua lapis. Akhirnya, setelah bertarung selama 2 hari, armada Portugis itu baru mampu mengalahkan satu kapal jung itu.

Kejayaan Sriwijaya dan Majapahit di bidang maritim merupakan sebagian dari kisah kuatnya budaya bahari dan keterlibatan aktif masyarakat Nusantara dalam perdagangan dunia yang membentang hampir selama 2000 tahun.

Bahkan meski telah dijajah selama berabad-abad dan kemudian dilanjutkan dengan pembangunan yang berorientasi pada darat yang mengikis kecintaan bangsa Indonesia pada laut, budaya bahari tetap bertahan di beberapa daerah di Indonesia. Sebuah tanda kuatnya budaya kelautan pada jiwa bangsa Indonesia yang tidak mudah luntur.

Potensi Kelautan

Laut Indonesia menyimpan potensi yang beragam dan sangat kaya. Di sana terdapat potensi pangan, bahan obat, mineral tambang, energi, hingga peluang bisnis transportasi dan pariwisata yang semuanya dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan bangsa. Laporan Kompas menyebutkan bahwa nilai potensi dan sumber kekayaan alam yang terdapat pada sektor kelautan dan perikanan Indonesia diproyeksikan mencapai 171 miliar dollar AS per tahun.

Selain kaya, posisi laut Indonesia juga sangat strategis, terletak di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia sehingga menjadi jalur utama perdagangan maritim dunia. Sebanyak 45 persen barang dagangan dunia melintasi Alur Laut Kepulauan Indonesia. [Baca: Garis Pelayaran Nusantara]

Di sisi lain, 60 persen penduduk tinggal di pesisir. Sebagian dari mereka banyak menggantungkan hidup pada laut. Mereka juga merupakan potensi pasar. Di sisi lain, mereka rentan terdampak bencana geologi dan perubahan iklim.

Sayangnya, selama puluhan tahun, Indonesia cenderung membelakangi laut sehingga pengolahan laut terabaikan. Akibatnya muncul beragam masalah berkaitan dengan laut, seperti perompakan, penyelundupan, pencurian sumber daya laut termasuk illegal fishing, pencemaran, hingga terlantarnya pulau-pulau kecil. Kedaulatan wilayah laut sering terancam, seperti terjadi pada kasus persengketaan perbatasan dengan negara tetangga.

Kekayaan laut Indonesia juga tidak membawa kesejahteraan pada nelayannya. Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan dapat dijumpai di sepanjang pantai di negeri ini. Upaya menanamkan cinta bahari pada generasi muda pun jadi sekadar angan-angan. Amat sedikit anak bangsa yang memahami dan mau berkarya di laut.

Tidak terbangunnya laut menjadi akar dari banyak masalah negeri ini. Distribusi logistik timpang. Disparitas ekonomi antarpulau sangat tinggi. Hampir 60 persen produk domestik bruto nasional disumbang dari Jawa. Kegiatan ekonomi terpusat di Jawa. Bahkan industri perikanan yang bahan bakunya didapat dari timur pun ada di Pulau Jawa.

Karena itu, gagasan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia di sambut antusias oleh berbagai kalangan. Upaya menghidupkan kembali laut Indonesia diyakini menjadi kunci kemajuan dan kesejahteraan RI di masa yang akan datang.

Untuk mencapai Indonesia sebagai poros maritim dunia, Presiden Joko Widodo menyebutkan 5 pilar utama dalam pembangunan Indonesia, yaitu:

  1. Membangun kembali budaya maritim Indonesia.
  2. Menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut dengan menempatkan nelayan pada pilar utama.
  3. Memberi prioritas pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim.
  4. Menerapkan diplomasi maritim, melalui usulan peningkatan kerja sama di bidang maritim dan upaya menangani sumber konflik, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut dengan penekanan bahwa laut harus menyatukan berbagai bangsa dan negara dan bukan memisahkan.
  5. Membangun kekuatan maritim sebagai bentuk tanggung jawab menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.

Meski demikian, niat yang disampaikan Presiden Jokowi pada pembukaan East Asia Summit (EAS) ke-9 di Nay Pyi Taw, Myanmar, tanggal 13 November 2014 itu bukan perkara mudah.

Pada masa Orde Baru, pemerintah pernah menggagas konsep Indonesia sebagai benua maritim (BMI atau Benua Maritim Indonesia) yang melihat Kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan geografis. Namun, minimnya dukungan dan krisis ekonomi 1998 membuat upaya itu mandek.

Dengan demikian, niat untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia ini membutuhkan konsistensi dan keterlibatan pemerintah pusat hingga daerah secara penuh. Siapa pun presiden atau kepala daerahnya, perhatian dan kepedulian terhadap laut tidak boleh dikesampingkan.

Upayakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali dalam arti seluas luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos-jongos di kapal. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata Cakrawala Samudra, bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang laut itu sendiri.

Ir. Soekarno

Untuk menumbuh-kembangkan kembali budaya maritim Indonesia, berbagai upaya bisa dilakukan. Di antaranya dengan mempromosikan kembali budaya bahari pada generasi muda, membangun sekolah-sekolah kelautan, mendata dan mengembangkan kembali berbagai kekayaan budaya bahari lokal Nusantara, memberdayakan suku bangsa bahari (seperti suku Bajo) dan masyarakat nelayan, serta membangun lembaga penelitian modern dalam bidang kelautan. Dengan berbagai upaya ini diharapkan kecintaan masyarakat akan laut menguat kembali.

Poros maritim juga membutuhkan penguasaan dan pemanfaatan laut secara maksimal. Hingga kini, potensi laut yang termanfaatkan masih sangat kecil. Dari perikanan tangkap dan budidaya 65 juta ton per tahun, baru seperlimanya yang termanfaatkan. Jika potensi itu dikelola optimal dan berkelanjutan maka kebutuhan ikan Indonesia akan tercukupi. Bahkan, Indonesia bisa berkontribusi besar pada pasokan ikan dunia.

Sayangnya, selama ini pemanfaatan potensi perikanan masih terfokus pada perikanan tangkap. Jika ini terus terjadi maka akan terjadi “over eksploitasi” yang dapat merusak ekosistem laut, seperti yang terjadi di sejumlah titik di pantai utara Jawa.

Di sisi lain, perikanan budidaya laut Indonesia masih jauh tertinggal, bahkan dari negara-negara yang luas lautnya tak seluas Indonesia. Menurut data FAO tahun 2010, efisiensi petambak Indonesia hanya 1 ton per orang per tahun. Petambak India atau Norwegia mencapai 4 ton dan 187 ton per orang per tahun.

Industri pengolahan ikan laut Indonesia pun masih jauh tertinggal jika dibandingkan negara lain. Saat ini, ekspor ikan Indonesia lebih banyak dalam bentuk mentah atau belum memiliki nilai tambah. Meski dalam hal ini sudah ada kabar gembira dari Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Tindakan tegas Indonesia pada persoalan illegal fishing dalam jangka mengengah panjang akan berimbas pada menguatnya industri perikanan di Indonesia. Hal ini karena negara-negara yang tadinya mengandalkan ikan curian dari laut Indonesia dalam industri perikanan mereka tidak bisa lagi melakukannya.

Akibatnya, perusahaan-perusahaan perikanan di negara-negara tersebut mengajukan permohonan untuk membuka pengolahan pabrik di Indonesia, tempat di mana mereka bisa mendapatkan bahan baku dengan lebih mudah.

Bersamaan dengan itu, konektivitas antarpulau dan industri perkapalan harus dikembangkan. Indonesia sebenarnya memiliki tradisi pembuatan kapal yang kuat. Sampai sekitar abad ke-15, pantai-pantai utara Jawa dan pantai-pantai selatan Kalimantan menjadi pusat pembuatan kapal jung yang berukuran sangat besar.

Di kemudian hari, industri perkapalan semimodern Indonesia tumbuh sejak 1910 pada era kolonial Belanda dan berkembang sampai saat ini. Kapal buatan sejumlah industri Indonesia, PT PAL salah satunya, baik kapal feri maupun kapal perang, sudah dimanfaatkan sejumlah negara, seperti Timor-Leste, Filipina, dan Swedia.

Meski demikian, agar upaya membangun konektivitas antarpulau itu memberikan manfaat besar, pembangunan pelabuhan dan industri di sekitar pelabuhan juga harus menjadi perhatian. Upaya itu harus turut membuka banyak lowongan kerja dan menggerakkan perekonomian daerah.

Demi mengoptimalkan pemanfaatan potensi laut, baik sumber hayati maupun nonhayati, seperti arus laut, energi termal laut, hingga pembangunan kapal, dibutuhkan riset dan sumber daya manusia kelautan berkualitas. Di sinilah pentingnya membangun kembali budaya bahari melalui riset dan pendidikan secara serius. Selama pendidikan dan riset di bidang kelautan tidak terbangun, jangan harap pemanfaatan laut bagi kesejahteraan rakyat bisa maksimal.

Satu kunci utama membangkitkan kembali kejayaan Indonesia di laut adalah serius memberikan kesempatan yang seluasnya pada generasi muda untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi kemaritiman mutlak perlu bagi pengembangan sektor kelautan Indonesia.

Hal ini mengisyaratkan dukungan kebijakan riset kelautan yang terpadu dan berkesinambungan. Indonesia perlu mempunyai semacam lembaga penelitian kelautan yang terpadu yang mengoordinasikan seluruh program riset sesuai Kebijakan Kelautan Nasional dan mengoptimalkan dana riset yang terbatas.

Untuk memperkuat dukungan industri, keberadaan lembaga yang mempertemukan kebutuhan peneliti dengan industri bisa menjadi solusi. Kerja sama itu akan menghasilkan sokongan dana dan terbangunnya laboratorium riset, dan juga pemanfaatan hasil riset secara optimal.

Jika segala upaya di atas dilakukan secara konsisten baik di pemerintah pusat maupun daerah, bisa dipastikan Indonesia akan kembali berjaya di bidang maritim. Memang bukan perkara mudah, tetapi juga bukan suatu hal yang mustahil.

Sumber:

  • Ditjen KSA/Dit.MWAK, “Presiden Jokowi Deklarasikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia,” http://www.kemlu.go.id/id/berita/siaran-pers/Pages/Presiden-Jokowi-Deklarasikan-Indonesia-Sebagai-Poros-Maritim-Dunia.aspx
  • Kompas, 25, 26, & 28 Oktober 2016.
  • Lapian, Adrian B., Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, Depok: Komunitas Bambu, 2009.
  • Wisnu Adhi Nugroho, “Ganjar Desak Penegakan Hukum ‘Over Eksploitasi’ Ikan,” http://www.antarajateng.com/detail/ganjar-desak-penegakkan-hukum-over-eksploitasi-ikan.html
  • Wolters, O.W., Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunia Abad III–Abad VII, Depok: Komunitas Bambu, 2011.
  • Zuhdi, Susanto, Nasionalisme, Laut, dan Sejarah, Depok: Komunitas Bambu, 2014.