Abdoel Moeis, Kiprah Sastrawan dalam Pergerakan Nasional

1915
Abdoel Moeis
Foto: bravaradio.com

1001indonesia.net – Abdoel Moeis dilahirkan di Sungai Puar, Sumatra Barat, pada 3 Juli 1883. Ia seorang wartawan, sastrawan, sekaligus seorang politikus yang aktif dalam pergerakan kebangsaan.

Abdoel Moeis merupakan anak Datuk Tumangguang Sutan Sulaiman, demang Sungai Puar. Ayahnya pernah menentang keras kebijakan pemerintah kolonial di dataran tinggi Agam. Selain itu, Sungai Puar adalah wilayah yang tidak jauh dari Bukittinggi dan telah menjadi saksi keberanian dan kegigihan orang-orang Minangkabau di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol dalam melawan bangsa Belanda.

Selain sikap ayahnya, perjuangan yang dilakukan Tuanku Imam Bonjol tampaknya turut menginspirasi Abdoel Moeis untuk terjun dalam medan perjuangan. Namun, berbeda dengan Imam Bonjol, Abdoel Moeis berjuang dengan pena dan organisasi modern.

Tempat kelahiran Abdoel Moeis, Sungai Puar, antara tahun 1900 sampai 1915.
Tempat kelahiran Abdoel Moeis, Sungai Puar, antara tahun 1900 sampai 1915. (Foto: Wikipedia)

Sebagaimana umumnya pemuda Minangkabau, Abdoel Moeis sudah merantau sejak usia muda. Ia bahkan menghabiskan hari tuanya di perantauan.

Lihat juga: Merantau, Tradisi Pemuda Minang Meninggalkan Kampung Halaman

Abdoel Moeis menyelesaikan pendidikannya di Europeesche Lagere School (ELS). Ia kemudian melanjutkan pendidikan di STOVIA, sekolah kedokteran bumiputera, pada 1900-1902. Namun, karena sakit, ia tidak menamatkan sekolahnya.

Biasanya, Abdoel Moeis lebih dikenal sebagai sastrawan besar dan jurnalis, daripada sebagai tokoh pergerakan nasional. Padahal ia turut aktif dalam berbagai organisasi pergerakan.

Ia memang sangat produktif dan menghasilkan banyak karya, baik dalam bentuk artikel maupun karya sastra. Tulisan-tulisannya banyak yang mengecam Belanda, seperti yang dimuat dalam harian De Express, Preanger Bode, dan Neraca.

Salah satu karya sastranya yang terkenal adalah novel Salah Asuhan. Karya klasik tersebut menjadi pelajaran wajib di sekolah-sekolah. Novel tersebut juga pernah diangkat ke layar lebar.

Dalam pergerakan, Abdoel Moeis aktif sebagai anggota Sarekat Islam (SI). Tak hanya sebagai anggota biasa, namanya sejajar dengan tokoh SI lain, seperti Haji Agus Salim maupun Mohammad Roem. Abdoel Moeis merupakan anggota pengurus besar SI.

Pada kongres SI tahun 1916 di Bandung, ia menegaskan perlunya usaha mengusahakan pendidikan dan pengajaran bagi rakyat Indonesia, khususnya kaum Islam.

Sebagai aktivis pergerakan yang cerdas, Abdoel Moeis memilih cara unik untuk memperjuangkan nasib bangsanya. Selain, melalui tulisan-tulisan yang tajam, bersama Tjipto Mangoenkusoemo, Soewardi Soerjaningrat, dan Wignyadisastra, ia tergabung dalam Komite Bumiputera.

Komite tersebut memprotes perayaan yang diadakan Belanda untuk mengenang seratus tahun terbebasnya Belanda dari penjajahan Perancis. Aksi tersebut membuatnya harus berhadapan dengan mahkamah pengadilan.

Dalam banyak momen, Abdoel Moeis memanfaatkan kesempatan yang dimilikinya untuk kepentingan Indonesia. Ketika dikirim ke Belanda (Indie Weerbar), ia memanfaatkan kesempatan itu untuk memengaruhi tokoh-tokoh politik Belanda agar mendirikan sekolah teknologi tinggi (Technische Hooge School) di Indonesia. Perjuangannya tidak sia-sia. Sekolah tersebut akhirnya didirikan dan sekarang terkenal dengan nama Institut Teknologi Bandung (ITB).

Pada kesempatan yang lain, pada 25 November 1918, bersama HOS Tjokroaminoto, Abdoel Moeis sebagai wakil dari SI dalam Volksraad (Dewan Rakyat) mengajukan mosi terhadap pemerintah Belanda. Isinya berupa tuntutan agar pemerintah kolonial membentuk parlemen yang anggota-anggotanya dipilih sendiri oleh rakyat.

Selain itu, Abdoel Moeis juga terlibat pada peristiwa pemogokan massal para buruh di Yogyakarta Pada 1922.

Tindakan perlawanan Abdoel Moeis, baik melalui tulisan maupun aktivitasnya di pergerakan, kemudian dianggap pemerintah Belanda sebagai ancaman. Pada 1927, pemerintah kolonial Belanda akhirnya menangkap dan mengasingkannya ke Garut, Jawa Barat.

Di daerah pembuangan, alih-alih berhenti melawan, ia justru membentuk Persatuan Perjuangan Priangan dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan. Abdoel Moeis tak kenal lelah melakukan perjuangan terhadap penjajahan.

Abdoel Moeis meninggal di Bandung pada 17 Juni 1959. Di tahun yang sama atau tepatnya dua bulan setelah ia meninggal, pemerintah menyematkan gelar pahlawan nasional kepada Abdoel Moeis.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

five × 4 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.