1001indonesia.net – Pada 2012, desa adat Wae Rebo yang terletak di Pulau Flores dinobatkan UNESCO sebagai situs warisan budaya dunia. Penghargaan ini menempatkannya pada jajaran tertinggi warisan budaya Nusantara dan dunia. Selain itu, dalam publikasi buku pariwisata terkemuka dunia Lonely Planet, Pulau Flores sendiri masuk dalam 10 destinasi wisata terbaik dunia 2015.
We Rebo merupakan nama sebuah desa tradisional di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Terletak di ketinggian 1200 m dpl dan diapit bukit-bukit, keindahan perkampungan tradisional ini begitu memukau.
Rumah-rumah adat berbentuk kerucut membawa kita pikiran kita melayang jauh pada kehidupan manusia yang masih teramat dekat dengan alam. Kehidupan sederhana kampung ini membawa ketenangan pada siapa pun yang datang mengunjunginya.
Penduduk Wae Rebo tinggal dalam rumah beratap rangkaian daun lontar yang menjuntai ke bawah, hampir menyentuh tanah. Dengan ramah, mereka menyambut wisatawan yang datang. Sebuah ritual penyambutan yang menyimbolkan sifat keramahan, penghargaan, dan rasa terima kasih mereka pada siapa saja yang datang berkunjung.
Dalam ritual penyambutan ini, warga kampung menghaturkan doa pada leluhurnya. Mereka lantas melakukan upacara pemotongan ayam. Ritual ini menjadi tanda bahwa tamu yang datang sudah ditahbiskan menjadi penduduk lokal.
Para pengunjung kemudian diberi segelas kopi hangat, kopi yang berasal dari tanah Wae Rebo sendiri. Nikmatnya kopi lokal mengingatkan kita akan 2 jenis kopi Flores yang sudah mendunia, yaitu kopi Flores asal dataran tinggi Colo dan kopi arabika Bajawa asal Ngada.
Para penduduk setempat menerima pelancong yang berkumpul di rumah dan diperlakukan layaknya keluarga sendiri.
Rumah Adat Mbaru Niang
Rumah tradisional di sini disebut Mbaru Niang. Seperti arsitektur rumah-rumah asli Nusantara lainnya, arsitektur Mbaru Niang merupakan cerminan kehidupan para pemiliknya yang harmonis, baik dengan alam sekitar maupun dengan sesama warga.
Semua material rumah tradisional ini berasal dari lingkungan sekitar, seperti bambu, kayu worok, ijuk, daun lontar, dan tali rotan. Pembangunan rumah dilakukan oleh seluruh warga kampung secara bergotong royong yang menunjukkan eratnya hubungan antarpenghuni desa. Pembangunan secara bersama ini juga menjadi sarana untuk meneruskan pengetahuan pada generasi selanjutnya.
Para penduduk Wae Rebo hidup dalam kemandirian. Mereka membangun rumah mereka sendiri, makan dengan hasil ladang sendiri, dan memakai pakaian yang mereka tenun sendiri. Mereka mungkin hidup dalam kesederhanaan, tapi mereka memiliki sesuatu yang tidak ternilai dan sangat langka dalam kehidupan kota: kebahagiaan dan ketenangan hidup.
Baca juga: Bena, Uniknya Kampung Megalitikum di Pulau Flores
Satu lagi yang membuat kita iri adalah keindahan alamnya. Dusun yang terletak di ketinggian ini diapit oleh barisan bukit bagai negeri di atas awan. Pemandangan alam serta keunikan budaya ini yang membuat Wae Rebo dikenal hingga mancanegara, sayang orang Indonesia sendiri banyak yang tidak mengetahuinya.
Akses Sulit
Berkat promosi yang gencar, desa adat ini telah terkenal sampai mancanegara. Sayangnya, seperti yang dilansir Kompas (22/8/2017), akses menuju Wae Rebo yang berjarak 160 kilometer dari Labuan Bajo ini termasuk sulit.
Jalan menuju Wae Rebo harus dilakukan secara perlahan. Hanya jalan sepanjang 90 km pertama yang mulus dengan lebar hingga 8 meter, jalan sisanya lebarnya tidak sampai 4 meter. Banyak tanjakan dan kelokan, permukaan tanpa aspal menyebar di banyak titik.
Sebenarnya ada jalan jalan lain yang bisa memangkas waktu berkendara dari Labuan Bajo ke Wae Rebo. Waktu tempuhnya hanya sekitar 4 jam. Namun, jalan itu sudah setahun tidak bisa dipakai. Sebabnya adalah salah satu jembatan dalam jalur itu, yaitu Jembatan Wae Wuang, ambruk diterjang banjir bandang pada Juni 2016 dan hingga kini belum diperbaiki.
Pemerintah Daerah tidak memiliki dana untuk membangun kembali Jembatan Wae Wuang. Menurut Bupati Manggarai Deno Kamilus, infrastruktur di tenpat-tempat wisata masih menjadi persoalan besar. Tidak hanya di Wae Rebo saja, bahkan hampir semua tempat wisata di Flores menghadapi masalah serupa.
Terhambatnya pembangunan infrastruktur juga disebabkan oleh adanya aturan keuangan negara yang melarang anggaran pemkab dipakai untuk memperbaiki jalan nasional. Padahal beberapa jalan menuju tempat pariwisata itu berstatus jalan provinsi dan nasional. Ketika pemkab berusaha memperbaiki jalan-jalan tersebut, mereka bisa dianggap menyalahgunakan anggaran.
Jika kita ingin memajukan pariwisata nasional maka masalah ini harus segera diselesaikan. Promosi wisata di Flores telah dilakukan dengan gencar. Amat disayangkan jika hal tersebut tidak diimbangi dengan menyediakan infrastruktur yang memadai sehingga para wisatawan bisa menikmati keindahan alam dan budaya Flores dengan nyaman.
Baca juga: Sade, Kampung Adat yang Teguh Mempertahankan Adat dan Tradisi Sasak