Bena, Uniknya Kampung Megalitikum di Pulau Flores

3761
Bena, Uniknya Kampung Megalitikum di Pulau Flores
Rumah tradisional di Kampung Bena, Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. (Foto: Ng Sebastian/FLICKR.COM)

1001indonesia.net – Kampung Bena yang terletak di dataran tinggi Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, merupakan kampung adat terbesar di Kabupaten Ngada. Sampai saat ini, kampung kuno yang berusia lebih dari 1 milenium ini tetap menjaga eksistensinya. Masyarakat di sana masih merawat tradisi megalitikum warisan leluhur.

Kampung Bena merupakan salah satu kampung tertua di Pulau Flores. Lokasinya di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, atau sekitar 18 km selatan Bajawa. Untuk mengunjungi Bena, bisa dari Bajawa, bisa juga dari arah Ende.

Makam Leluhur di Kampung Bena (Foto: otonomi.co.id)

Nama Bena diambil dari nama orang asli pertama yang mendiami daerah itu. Bena juga merupakan nama suku tertua dari 9 suku yang mendiami Kampung Bena.

Walau sudah berusia 12 abad, kampung ini tetap mempertahankan tradisi megalitikum yang diwariskan oleh pendiri kampung. Bagian tengah kampung terdapat makam leluhur yang disusun dari pecahan batu kali.

Sebenarnya, hampir semua penghuni kampung beragama Katolik, tapi mereka tetap menjalankan tradisi leluhurnya. Mereka masih mempertahankan tradisi dari zaman batu yang sudah berusia sangat tua itu.

Di tengah kampung terdapat altar sesaji untuk nenek moyang, yakni bhaga dan ngadhu. Bhaga merupakan representasi nenek moyang perempuan dari suatu klan (kampung).  Bangunan bhaga bentuknya mirip pondok kecil (tanpa penghuni).

Sementara ngadhu merupakan representasi nenek moyang laki-laki dari suatu klan (kampung). Ngadu berupa bangunan bertiang tunggal dan beratap serat ijuk, bentuknya mirip pondok peneduh. Tiang ngadhu yang menyimbolkan laki-laki ini terbuat dari jenis kayu khusus yang keras karena sekaligus berfungsi sebagai tiang gantungan hewan kurban ketika pesta adat.

Sekitar 40 rumah di kampung itu tersusun rapi mengelilingi makam, bhaga, dan ngadhu. Jika dilihat dari ketinggian, susunan rumah yang memanjang dari utara ke selatan itu menyerupai perahu. Menurut kepercayaan megalitik, perahu dianggap punya kaitan dengan wahana bagi arwah yang menuju ke tempat tinggalnya.

Pintu masuk kampung hanya dari utara. Sementara ujung lainnya di bagian selatan sudah merupakan puncak sekaligus tepi tebing terjal. Pembangunan kampung ini sangat menjunjung tinggi nilai keharmonisan dengan alam. Lahan permukiman maupun perkebunan masyarakat di sana dibiarkan sesuai kontur tanahnya yang berbukit.

Tak jauh dari perkampungan berdiri Gunung Inerie (2.245 m dpl). Dalam bahasa Indonesia, inerie berarti wanita besar. Bagi warga Kampung Bena, Gunung Inerie dianggap sebagai hak mama (ibu) dan Gunung Surulaki dianggap sebagai hak bapa (ayah). Penduduk meyakini keberadaan Yeta, dewa pelindung kampung yang bersinggasana di Gunung Inerie.

Kampung Bena tak pernah berubah. Penataan kampung dan arsitektur rumah masih mempertahankan tradisi leluhur sejak zaman batu dulu. Masyarakat di sana hanya melakukan perbaikan beberapa bagian rumah yang kayunya rusak.

Daya tarik kampung kuno yang unik ini mengundang banyak wisatawan untuk datang berkunjung, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Oleh sebab itu, Kampung Bena menjadi salah satu andalan pariwisata di Pulau Flores.

Sejak tahun 1995, Kampung Bena telah dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

four × three =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.