1001indonesia.net – Mohammad Yamin dilahirkan pada 23 Agustus 1903 dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah di Talawi, di sebuah kecamatan kecil di kota tambang Sawahlunto, Sumatra Barat. Yamin termasuk beruntung. Saat itu, perkebunan kopi mendongkrak perekonomian daerah di mana ia dilahirkan. Ayahnya bekerja sebagai mantri kopi atau penjaga gudang kopi, salah satu kelas yang paling diuntungkan di era kolonial.
Sebab itu, Yamin memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Apalagi, ia hidup dalam keluarga yang menghargai pendidikan. Setelah berpindah-pindah sekolah dasar (Hollandsch-Inlandsche School, disingkat HIS) di Talawi, Sawahlunto, Solok, dan Panjangpadang, Yamin melanjutkan sekolahnya di Algemene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta.
Tamat AMS, Yamin berniat melanjutkan sekolahnya ke Leiden, Belanda. Namun, rencana ini urung terlaksana karena ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hooge School) di Jakarta.
Mohammad Yamin memulai kariernya sebagai seorang sastrawan pada dekade 1920-an. Ia menulis puisi dan drama dalam bahasa Melayu. Di antara karyanya adalah puisi Tanah Air (1922) dan Tumpah Darahku (1928), serta drama Ken Arok dan Ken Dedes yang mendasarkan diri sejarah Jawa. Yamin menjadi salah satu penyair terkemuka di Angkatan Pujangga Baru.
Suami dari Siti Sundari ini juga aktif di politik terutama sejak ia diangkat sebagai Ketua Jong Sumatranen Bond pada 1926 sampai 1928.
Sumpah Pemuda
Pada 1928, Mohammad Yamin yang ketika itu baru berusia 25 tahun menjadi sekretaris Kongres Pemuda II di Jakarta yang akhirnya menelurkan Sumpah Pemuda. Yamin sebetulnya menjadi salah satu kandidat Ketua Kongres. Namun, karena Kongres memutuskan untuk mencari ketua yang netral, Yamin yang berasal dari Jong Sumateranen Bond tidak terpilih.
Yamin berperan penting dalam proses perumusan Sumpah Pemuda berdasarkan kesepakatan bersama dalam kongres yang dihadiri para pemuda dari berbagai organisasi kedaerahan itu tentang persatuan Indonesia. Rumusan Sumpah Pemuda ini ditulis Yamin di atas secarik kertas saat Mr Sunario tengah berpidato di sesi terakhir Kongres. Kertas tersebut kemudian diberikan kepada Soegondo yang menjabat sebagai pemimpin Kongres dan saat itu duduk di sampingnya. Awalnya, perjanjian itu dinamakan Ikrar Pemuda dan kemudian diubah menjadi Sumpah Pemuda.
Pernyataan bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan merupakan puncak dari imaji Yamin dan para pemuda lainnya tentang ide kebangsaan Indonesia yang mampu merangkum segala keberagaman.
Yamin percaya akan adanya jiwa atau roh atau semangat bangsa yang di dalamnya meliputi juga unsur-unsur pemersatu. Bahasa termasuk di dalamnya. Sejak pertemuan Jong Soematranen Bond tahun 1923, perdebatan mengenai bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan telah muncul. Yamin, sebagai ketua Jong Sumatranen Bond saat itu, mengemukakan gagasannya mengenai bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia yang berinduk pada bahasa Melayu.
Titik tolak Yamin dalam merumuskan nation atau bangsa sebenarnya terlihat dari landasan pikirannya ketika ia mengungkapkan pidato tahun 1928 dalam Kongres Pemuda II. Yamin menggunakan teori Ernest Renan, seorang filsuf dan sejarawan Prancis, untuk merumuskan apa itu nation.
Yamin mengatakan bahwa nation adalah semangat atau dasar rohani yang terbagi dalam dua hal. Pertama, terletak pada zaman lampau yang penuh dengan ingatan dan kenang-kenangan. Kedua, berada pada zaman sekarang, yakni berupa kemauan atau harapan untuk hidup bersama, juga kemauan untuk menghargai pusaka yang diterima dari generasi terdahulu.
Dua landasan berpikir Yamin di dalam Kongres Pemuda II itu juga yang mendasari ketertarikannya pada sejarah bangsanya, yakni kebesaran dan warisan di masa lampau. Yamin kemudian mengembangkan ide-ide terbaru dari refleksinya atas masa lampau itu. Tidak heran, Yamin menciptakan imaji-imaji kebangsaan baru yang pada era persiapan kemerdekaan menjadi suatu hal yang unik dan khas dirinya.
Syafii Maarif (2011) menyebut Yamin adalah orang yang pertama yang mengemukakan istilah Bhinneka Tunggal Ika. Di sela-sela sidang Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Mei-Juni 1945, Yamin menyebut ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu sendirian. Namun, I Gusti Bagus Sugriwa (teman Yamin dari Buleleng, Bali) yang duduk di sampingnya sontak menyambut ungkapan itu dengan “tan hana dharma mangrwa.”
Hal itu menyenangkan Yamin sekaligus membuktikan bahwa meskipun kitab Sutasoma ditulis seorang Buddha, nilai-nilainya hidup dan berkembang di kalangan intelektual Bali yang Hindu. Beberapa tahun kemudian, ketika mendesain lambang negara bentuk Garuda Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu disisipkan di dalamnya.
Yamin yang mengusulkan kepada Bung Karno agar Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan sesanti negara. Ini tidak mengherankan mengingat Yamin merupakan tokoh kebudayaan yang sejak lama mempelajari peninggalan dan kebesaran Majapahit. Ia bahkan dengan tekun meneliti dan menyusun buku Tata Negara Majapahit Sapta Parwa. Buku itu secara mendetail menuliskan susunan pemerintahan Majapahit dan hukum-hukum kerajaan yang berlaku ketika itu.
Yamin berbicara tentang sejarah Majapahit dan arti pentingnya bagi Nusantara serta mengemukakan dasar-dasar persatuan Nusantara yang juga pernah dilakukan Gajah Mada di era Majapahit. Bisa dibilang, Yamin adalah salah satu orang yang membangkitkan imaji kebesaran Nusantara.
Ketekunan Yamin mempelajari Majapahit dan Jawa juga menjadi salah satu ciri keunggulan kualitas pemikiran dan konsepsinya tentang bangsa dan kemandiriannya. Yamin pernah menolak pandangan Belanda yang menyebut Indonesia baru merdeka setelah Proklamasi dikumandangkan. Pandangan itu keliru karena menurut dia sedari dulu Indonesia merdeka. Kemerdekaan itulah yang direnggut Belanda dan kemudian dapat direbut kembali tahun 1945.
Selain sebagai bapak bangsa, sosok Mohammad Yamin juga dikenang sebagai sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum. Setelah merdeka, ia menduduki beberapa jabatan penting dalam pemerintahan Presiden Sukarno. Ia meninggal di Jakarta pada 17 Oktober 1962. Atas jasanya, Mohammad Yamin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 1973 sesuai dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973.
Sumber:
- Rini Kustiasih dan Agnes Theodora, “Putra Talawi yang Membangun Imaji Bangsa,” Kompas, Sabtu, 11 Maret 2017.
- https://m.tempo.co/read/news/2012/10/28/078438139/mohammad-yamin-sang-perumus-sumpah-pemuda