1001indonesia.net – Kain sasirangan merupakan kain khas Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Bentuknya sejenis kain batik yang dibuat dengan teknik menyirang (menjelujur atau menjahit jarang-jarang).
Buatan Tangan
Kain sasirangan masih banyak yang diproduksi secara manual. Semuanya dikerjakan dengan tangan. Proses diawali dengan penyediaan bahan, biasanya kain katun. Dilanjutkan dengan pembuatan pola, penjahitan, pencelupan, dan penjemuran.
Berbeda dengan motif printing, motif buatan tangan tidak ada yang sama meski dibuat oleh satu perajin. Setidaknya ada sekitar 30-an motif kain sasirangan, antara lain naga balimbur, bayam raja, kulat ka rikit, gigi haruan, daun taruju, dan bintang bahambur.
Saat ini, kain sasirangan buatan pabrik marak di pasaran. Para perajin meski memutar otak agar kain tradisional buatan mereka tidak kalah di pasaran dengan kain buatan pabrik yang harganya lebih murah. Berbagai inovasi dilakukan, seperti mengkolaborasikan sasirangan dengan batik, membuat warna-warna baru dari yang sudah ada, sampai mengembangkannya ke bentuk kerajinan-kerajinan lain.
Memang, meski banyak kain buatan pabrik di pasaran, kain sasirangan buatan tangan tetap diminati. Para pembeli tetap menilai lebih tinggi kain buatan para perajin dibanding kain printing buatan pabrik tekstil.
Pewarna Alami
Kain sasirangan tradisional diwarnai dengan pewarna alam yang dibuat dari biji, buah, daun, kulit, ataupun umbi tanaman. Perwarna alam ini bisa didapat dari tanaman yang ada di sekitar rumah.
Misal, warna kuning terbuat dari bahan kunyit, temulawak, dan daun mangga; merah dari gambir, buah mengkudu, lombok merah, atau kesumba; hijau dari daun pudak atau jahe; hitam dari kabuau atau uar; ungu dari biji buah gandaria; cokelat dari uar atau kulit buah rambutan; serta biru dari daun dan ranting indigo.
Agar warna yang dihasilkan menjadi lebih tua atau lebih muda serta tahan lama (tidak mudah pudar), bahan perwarna tersebut dicampur dengan berbagai rempah dan bahan lain, seperti garam, jintan, lada, pala, cengkeh, jeruk nipis, kapur, tawas, cuka, dan terusi.
Sejak 1982, dikenalkan warna sintetis. Dengan pewarna sintetis ini, proses produksi bisa dipercepat sehingga para perajin bisa memproduksi kain lebih banyak.
Namun, semenjak gencarnya kampanye go green dan back to nature, perajin dan konsumen mulai kembali tertarik untuk menggunakan pewarna alam. Mereka mulai sadar akan dampak negatif menggunakan pewarna buatan terhadap lingkungan.
Memang, proses produksi dengan pewarna alam lebih rumit dan lama dibandingkan menggunakan pewarna sintetis. Selain itu, warna yang dihasilkan juga tidak cerah. Tapi, kesadaran masyarakat yang tinggi pada kelestarian lingkungan membuat pawarna alami kembali diminati.
Sumber:
- Kompas, Sabtu, 1 Oktober 2016.
- http://tekno.kompas.com/read/2011/03/03/0701467/~Bisnis%20&%20Keuangan~Inspirasi