Gandrung Banyuwangi, Wujud Syukur terhadap Dewi Sri

1446
Tari Gandrung Banyuwangi
Foto: Tribuntravel.com

1001indonesia.net – Salah satu kesenian rakyat khas Banyuwangi adalah tari Gandrung. Begitu populernya tari Gandrung Banyuwangi hingga kabupaten di ujung timur Pulau Jawa itu disebut sebagai Kota Gandrung.

Tari Gandrung masih satu genre dengan kesenian Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di wilayah Banyumas, serta Joged Bumbung di Bali. Dalam gelarannya, seorang wanita penari profesional menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik gamelan.

Di Banyuwangi, tari Gandrung sesungguhnya lekat dengan kehidupan para petani sejak masa Kerajaan Blambangan. Di masa lalu, tari ini digelar sebagai wujud rasa syukur atas hasil panen yang didapat.

Ada pendapat yang mengungkapkan, istilah gandrung diartikan sebagai terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat.

Kini, sebagai salah satu ikon budaya Banyuwangi, tari Gandrung tampil dalam berbagai acara, seperti menyambut musim panen raya, festival budaya, resepsi pernikahan, ataupun khitanan.

Baca juga: Angklung Buncis dan Tradisi Penghormatan Padi

Sejarah Gandrung Banyuwangi

Ada banyak versi mengenai awal munculnya Gandrung Banyuwangi. Konon, Gandrung awalnya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan.

Namun, Gandrung laki-laki tersebut perlahan berkurang dan lama-kelamaan hilang. Diduga, ajaran Islam yang melarang laki-laki berdandan seperti perempuan menyebabkan tari Gandrung laki-laki benar-benar lenyap sejak tahun 1914.

Pertunjukan Gandrung zaman kolonial. (Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda)

Penari Gandrung kemudian digantikan oleh kaum perempuan. Menurut cerita masyarakat Banyuwangi, yang pertama menarikan tari Gandrung ini adalah seorang gadis bernama Semi.

Alkisah, pada 1895, Semi yang masih berumur 10 tahun menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah diupayakan orangtuanya untuk mengobatinya. Namun, Semi tidak kunjung sembuh.

Sebab itu, ibunya yang bernama Mak Midhah bernazar, “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Semi ternyata sembuh dan dijadikan seblang.

Peristiwa itu memulai babak baru bagi kesenian gandrung. Untuk pertama kalinya, gandrung ditarikan oleh seorang wanita.

Tarian yang dilakukan Semi tersebut kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya. Mereka menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Tarian Gandrung kemudian terus berkembang di Banyuwangi dan menjadi ikon wilayah setempat.

Pada mulanya Gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari Gandrung sebelumnya. Namun, sejak tahun 1970-an, mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan penari Gandrung mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencarian.

Baca juga: Seblang, Tarian Sakral dari Banyuwangi

Busana dan musik pengiring

Busana yang dipakai penari Gandrung Banyuwangi sangat khas karena mendapat pengaruh dari Bali. Penari memakai baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam dihiasi ornamen kuning emas serta manik-manik mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada.

Bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Bagian leher dipasang ilat-ilatan yang menutup dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias kelat bahu. Bagian pinggang terdapat ikat pinggang dan sembong serta diberi kain berwarna-warni sebagai hiasan.

Penari menggunakan hiasan seperti mahkota yang disebut omprok (terbuat dari kulit kerbau) dan diberi ornamen berwarna emas dan merah. Pada mahkota tersebut terdapat ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur.

Penari Gandrung memakai kain batik. Corak batik yang paling banyak dipakai dan menjadi ciri khusus adalah gajah oling. Penari juga mengenakan selendang di bahu dan membawa 1-2 buah kipas.

Alat musik pengiring untuk Gandrung Banyuwangi terdiri atas satu buah kempul atau gong, satu buah kluncing (triangle), satu atau dua buah biola, dua buah kendhang, dan sepasang kethuk. Kadang-kadang, musik pengiring juga dilengkapi dengan saron Bali, angklung, atau rebana. Sebagai bentuk kreasi ditambah juga electone.

Upaya pelestarian

Para seniman Banyuwangi telah berupaya mengangkat kesenian Gandrung. Tari ini menjadi simbol perjuangan komunitas Osing yang terus-menerus tertekan, baik secara struktural maupun kultural. Dengan kata lain, Gandrung menjadi bentuk eksistensi budaya masyarakat Osing.

Pemerintah Daerah Banyuwangi pun sudah melakukan berbagai upaya agar kesenian tradisional ini lestari. Tari Gandrung telah diresmikan sebagai maskot pariwisata Banyuwangi. Disusul dengan dibuatnya patung Gandrung yang diletakkan di berbagai sudut kota dan desa.

Pemerintah daerah juga membuat program agar setiap peserta didik dari SD hingga SMA untuk mengikuti ekstrakurikuler kesenian Banyuwangi. Di antara kesenian daerah yang dipelajari adalah tari Jejer yang merupakan bagian dari pertunjukan Gandrung Banyuwangi.

Selain itu, pemerintah daerah Banyuwangi juga membuat program “Maestro Mengajar” sebagai upaya menumbuhkan rasa cinta seni-budaya di kalangan anak-anak muda sekaligus regenerasi pelaku seni.

Pada 2021 ini, tiga maestro terlibat pada program tersebut, yaitu Temu, Sudartik, dan Sunasih. Ketiganya merupakan legenda hidup tari Gandrung Banyuwangi dengan pengalaman menari puluhan tahun, bahkan pernah tampil di berbagai negara.

Penari berlatih tari Gandrung Sewu di pesisir Pantai Marina Boom, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (11/10/2019). (ANTARA FOTO/Budi Candra Setya)

Baca juga: Batik Banyuwangi, Kesakralan Batik Warisan Leluhur

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

one × 3 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.