1001indonesia.net – Cagar Alam Pananjung merupakan kawasan konservasi yang berada di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Terletak di daratan yang menjorok ke laut, wilayah hutan lindung ini memiliki kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistem yang dilindungi dan dikembangbiakkan secara alami.
Secara administratif, Cagar Alam Pananjung berada di Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran. Lokasinya berada di tengah teluk. Tempat ini sudah menjadi kawasan konservasi sejak Desember 1934 oleh pemerintah Hindia Belanda atas usul Residen Priangan, Y. Eycken.
Kawasan Pananjung Pangandaran seluas 457 ha ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa berdasarkan GB No. 19 Stbl. 669 yang dikeluarkan oleh Director Van Scomishe Zoken pada 7 Desember 1934.
Pada 1961, Suaka Margasatwa berubah menjadi Cagar Alam Pangandaran seluas 457 ha berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 34/KMP/1961. SK menteri tersebut dikeluarkan tanggal 20 Apri 1961 setelah ditemukannya bunga raflesia padma.
Baca juga: Rafflesia Arnoldii, Bunga Endemik Sumatra dan Terbesar di Dunia
Seiring dengan kebutuhan masyarakat akan rekreasi, sebagian kawasan seluas 37,70 hektare dijadikan Taman Wisata Alam (TWA). Luas cagar alam menjadi 419,3 hektare berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor: 170/Kpts/Um/1978 yang dikeluarkan tanggal 10 Maret 1978.
Kawasan konservasi ini kemudian meluas dengan mencakup kawasan laut di sekitarnya untuk melindungi terumbu karang di dalamnya. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 225/Kpts-II/1990 tanggal 8 Maret 1990, perairan pantai tersebut seluas 470 hektare ditunjuk sebagai Cagar Alam Laut Pananjung Pangandaran.
Sekarang, kawasan TWA sendiri dikelola oleh Perum Perhutani. Sementara kawasan Cagar Alam di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Adanya area Taman Wisata Alam menunjukkan bahwa kawasan ini tak hanya berfungsi sebagai konservasi satwa dan tumbuhan langka, tetapi juga sebagai tempat wisata. Tentu saja aktivitas wisata diupayakan tidak merusak dan mengganggu upaya pelestarian satwa dan tumbuhan langka di sana.
Ada beragam satwa yang menghuni kawasan cagar alam ini. Selain satwa asli, pemerintah Hindia Belanda pernah mendatangkan satwa dari luar kawasan, yakni rusa dan banteng jawa (Bos javanicus). Sampai sekarang, koleksi rusa masih lestari dan terus berkembang biak. Sebaliknya, banteng sudah tidak ada lagi.
Punahnya banteng di Cagar Alam Pananjung, terutama terjadi akibat letusan Gunung Galunggung di Tasikmalaya pada 1982 hingga 1983. Banteng-banteng itu didatangkan Pemerintah Hindia Belanda ketika Pananjung dijadikan sebagai hutan buru pada 1930-an.
Populasi banteng itu lumayan bagus, terjaga sampai tahun 1982. Letusan Gunung Galunggung saat itu berdampak sangat signifikan pada habitat banteng di Cagar Alam Pananjung. Pakan dan mata air yang menjadi sumber kehidupan banteng tertimbun abu vulkanik.
Setelah letusan Gunung Galunggung itu banyak satwa yang mati, termasuk ternak-ternak yang dimiliki penduduk, karena tidak mau memakan rumput-rumput yang sudah terkena abu. Sejak saat itu populasi banteng menurun drastis karena abu vulkanik menutup hamparan rumput cukup lama.
Petugas cagar alam sebenarnya sudah berupaya membuat bak air minum dan mencuci rumput sehingga bersih dari abu vulkanik untuk pakan. Namun, banteng-banteng itu tidak mau memakannya.
Data Kementerian Kehutanan menyebutkan, hingga tahun 1988 terdapat sepuluh banteng jawa di Cagar Alam Pananjung Pangandaran. Pada 1997, satwa banteng ini masih terpantau ada, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi. Untuk melengkapi koleksi Cagar Alam Pangandaran, sekitar tahun 2003, dipopulasikan delapan ekor sapi bali.
Sapi bali merupakan keturunan banteng yang didomestikasi pada sekitar tahun 3500 SM. Tak heran jika bentuknya sangat mirip dengan banteng. Sayang perkembangbiakannya di cagar alam ini tidak sebagus banteng dahulu.
Baca juga: Taman Nasional dan Cagar Alam Utama di Indonesia