1001indonesia.net – Nusantara menjadi bagian dari jalur perdagangan dunia yang ramai selama ribuan tahun. Maka tak heran jika sebagian budaya Nusantara merupakan hasil dari perpaduan beragam budaya. Termasuk sajian di meja makan yang kita nikmati sehari-hari, sebagian besar merupakan hasil akulturasi budaya.
Akulturasi merupakan perpaduan dua budaya atau lebih yang akhirnya menghasilkan budaya baru, tetapi tidak menghilangkan unsur dari budaya lama.
Proses akulturasi karena pertemuan antarbudaya tersebut membuat budaya di satu wilayah semakin kaya. Ini juga yang terjadi pada makanan Nusantara. Akulturasi budaya membuat kuliner Indonesia kaya akan ragam, baik jenisnya maupun cita rasanya.
Inilah gambaran keindonesiaan kita dengan sifat keberagamannya. Nusantara merangkum peradaban-peradaban besar yang ada di dunia. Di meja makan, kita menemukan bahwa keragaman yang bersanding dan berpadu secara harmoni bukan hanya menyehatkan tubuh, tetapi juga memanjakan lidah.
Baca juga: Keberagaman di Indonesia, Keindahan dalam 1001 Perbedaan
Begitu melekatnya pada lidah orang Indonesia, beberapa makanan hasil akulturasi bahkan kita anggap sebagai makanan asli Nusantara. Makanan itu memang telah diolah dan dipadupadankan dengan bumbu Nusantara sehingga sesuai dengan lidah kita.
Ini juga membuktikan kreativitas orang Nusantara yang tidak sekadar mengambil alih budaya luar, tapi mengolahnya agar sesuai dengan karakter masyarakat setempat.
Berikut beberapa contoh makanan Indonesia hasil akulturasi budaya.
Bacang
Bacang atau bakcang merupakan kuliner Tionghoa yang diminati masyarakat Indonesia. Makanan ini dibuat dari campuran beras ketan dan air abu. Adonan kemudian dibungkus daun bambu dan dibentuk segitiga, lalu dimasak dengan cara dikukus atau direbus. Sebelum digunakan, daun bambu harus direndam air sekitar enam jam supaya lentur dan tidak mudah sobek.
Cemilan bertekstur lembut berwarna kekuningan itu bisa diberi ragam isian, seperti daging, jamur, udang, dan kuning telur asin. Ada juga yang tawar tanpa isian yang disebut kwe cang. Yang terakhir ini disantap dengan cocolan saus gula merah siwalan.
Di Lasem, kuliner Tionghoa ini istimewa karena bisa ditemukan kapan pun. Padahal, dalam tradisi Tionghoa, makanan ini hanya disajikan saat Hari Raya Peh Cun. Masyarakat Tionghoa merayakan Peh Cun setiap tanggal 5 bulan 5 kalender Imlek.
Hal itu disebabkan oleh proses akulturasi budaya yang terjadi dengan baiknya. Budaya Tionghoa, termasuk kulinernya, telah menyatu dalam keseharian masyarakat Lasem. Bacang yang awalnya hanya disajikan saat hari raya Peh Cun kini menjadi makanan sehari-hari. Bahkan beberapa warga dari suku Jawa mulai membuat makanan khas Tionghoa ini.
Pempek
Makanan khas yang sudah menjadi ikon Palembang ini lahir dari perpaduan antara budaya Melayu dan Tionghoa. Bagi masyarakat Palembang, pempek atau empek-empek merupakan makanan utama. Menu ini disajikan pagi, siang, ataupun malam hari. Pempek juga memiliki status yang tinggi.
Konon empek-empek awalnya merupakan makanan asli orang Melayu Palembang. Makanan ini kemudian mendapat pengaruh dari kuliner China sehingga yang awalnya hanya berbentuk dos atau sagu rebus kemudian mendapat tambahan ikan.
Pindang bandeng
Keberadaan pindang bandeng sebagai salah satu menu lokal masyarakat Indonesia merupakan bukti meleburnya budaya kuliner Tionghoa dan Nusantara. Penggunaan bandeng dan kecap dalam sajian ini menjadi tanda berpadunya beragam budaya.
Pindang bandeng menjadi menu khas peranakan Tionghoa untuk menyambut Imlek. Penggunaan ikan bandeng yang merupakan ikan payau sebagai hidangan dan sesaji ini hanya ada di Indonesia. Di China, apalagi di sebelah utara, masyarakat menggunakan ikan laut sebagai sajian Imlek.
Ditambah lagi penggunaan kecap manis dalam membuat pindang bandeng. Kecap manis kental merupakan hasil akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa. Kecap manis menjadi salah satu warisan Indonesia untuk tradisi kuliner dunia.
Lumpia
Lumpia yang merupakan jajanan khas Semarang sudah resmi diakui sebagai warisan budaya nasional tak benda sejak 2014. Meski berasal dari budaya Tiongkok, tapi cita rasa lumpia telah dimodifikasi sesuai dengan budaya dan selera orang Indonesia.
Makanan ini juga bisa ditemukan di negara-negara Asia Tenggara lain, seperti Vietnam dan Thailand. Namun, lumpia sudah menjadi kegemaran masyarakat Indonesia sejak dulu, sehingga muncul berbagai modifikasi resep yang menjadikan lumpia sangat khas Indonesia.
Lumpia yang biasa dieja dengan lun-pia memiliki nama dari lafal bahasa Hokkian semacam rollade yang berisi rebung, telur, daging, dan ayam. Terkenal sebagai jajanan Semarang, makanan ini merupakan hasil dari perpaduan antara makanan Tionghoa dan Indonesia.
Bakso
Bakso berdasarkan dialek Hokkien berarti daging giling. Di Indonesia, bakso mengalami penyesuaian. Aslinya bakso menggunakan bahan daging babi. Tapi di Indonesia, karena sebagian besar masyarakatnya Muslim, bakso dibuat dari daging sapi, ayam, ataupun ikan.
Konon bakso berasal dari cerita di masa Dinasti Ming (1368-1644). Keberadaan makanan ini berawal dari kasih seorang anak kepada ibunya. Dikisahkan, seorang pemuda bernama Meng Bo ingin memasakkan daging empuk dan lembut untuk sang ibu. Ia terinspirasi dari kue mochi, camilan yang terbuat dari ketan yang ditumbuk agar halus.
Meng Bo pun menumbuk daging yang alot, membentuk bulatan-bulatan kecil, dan dihidangkan bersama kaldu hangat. Ternyata makanan dari daging giling ini populer ke seluruh kota Fuzhou hingga ke seluruh wilayah Tiongkok.
Bakso diperkirakan masuk ke Nusantara melalui para pedagang Tiongkok. Bakso berkembang hingga ke seluruh penjuru Nusantara karena rasanya yang nikmat sesuai dengan lidah masyarakat setempat.
Bakwan atau bala-bala
Bakwan atau bala-bala berisi sayuran dicampur tepung, lalu digoreng. Mulanya berisi daging atau udang, lalu kemudian berkembang dengan isi sayuran. Bakwan sendiri berasal dari kata bak yang berarti daging dan wan yang berarti bola.
Menu sejenis ini ada di berbagai negara. Di Jepang, makanan ini dikenal dengan nama kakiage. Di Korea disebut pajeon. Sementara di India disebut pakora. Di Arab dikenal dengan nama maqliyyun.
Soto
Soto adalah hidangan berkuah yang dibuat dari kaldu daging dan sayuran. Daging yang paling lazim digunakan ialah daging sapi dan ayam. Asal-muasal kuliner ini masih simpang-siur. Ada dugaan kuat makanan ini berawal dari Jawa Tengah sekitar abad ke-18.
Seorang peneliti budaya Indonesia asal Prancis bernama Denys Lombard mengungkapkan bahwa asal mula soto adalah hidangan sup khas China bernama caudo. Hidangan tersebut pertama kali populer di wilayah Semarang. Lama-kelamaan, caudo mengalami berbagai perubahan dalam hal bumbu, bahan-bahan pembuatan, cara menyantapnya, dan berganti nama menjadi soto.
Cakwe
Cakwe adalah sebuah cemilan roti goreng hasil akulturasi budaya kuliner tiongkok. Cakwe dibuat dari tepung terigu, soda kue, dan baking powder. Yang menjadi ciri khas cakwe adalah dua adonan yang dijadikan satu. Ini ada sejarahnya.
Dahulu kala pada masa dinasti Song, abad ke-12, hidup seorang pejabat korup yang bernama Qin Hui. Pejabat itu dan istrinya menggunakan tipu daya untuk menyingkirkan seorang jenderal yang populer bernama Yue Fei karena benci dengan dirinya.
Akhirnya, Yue Fei pun dihukum mati kaisar. Karena Yue Fei adalah pahlawan yang dicintai rakyat, kematiannya membuat rakyat marah.
Kemudian para pedagang makanan di Tiongkok selatan menunjukkan rasa protes mereka dengan menciptakan makanan yang bernama yauhjagwai (iblis goreng minyak). Makanan ini terbentuk dua adonan yang saling ditempel dan digoreng, menyimbolkan Qin Hui dan istrinya. Inilah cikal bakal cakwe yang kita kenal sekarang ini.
Martabak
Jajanan ini ada dua jenis, yaitu martabak manis dan martabak asin (telur). Martabak manis bernama asli Hok Lo Pan, yang berarti “kue orang Hok Lo.” Hok Lo Pan merupakan makanan khas orang-orang Hakka, etnis Tionghoa yang tinggal di Kepulauan Bangka Belitung.
Taburan Hok Lo Pan dulunya hanya berupa gula dan wijen sangrai. Kini taburan untuk makanan ini lebih bervariasi. Yang paling banyak ditemui adalah cokelat, kacang, dan keju. Anda juga bisa menjumpai beragam inovasi untuk topping jajanan ini, mulai dari strawberry, cokelat Toblerone, red velvet, dan sebagainya.
Makanan ini juga semakin banyak dikenal dan menyebar hingga ke seluruh wilayah Indonesia. Hok Lo Pan kemudian dikenal dengan sebutan kue rembulan (terang bulan) karena bentuknya yang bulat dan berwarna kuning. Hingga saat ini, beberapa daerah menyebut martabak manis sebagai kue terang bulan.
Sedangkan martabak telur, pada awalnya merupakan makanan khas India bernama Moortaba. Pada 1930, makanan ini dibawa oleh Abdullah bin Hasan Almalibary dan Ahmad bin Kyai Abdul Karim ke Lebiaksu, Tegal. Moortaba kemudian dimodifikasi penggunaan bahan-bahannya. Terciptalah makanan baru yang ternyata menjadi sangat berbeda dengan Moortaba India.
Pada awalnya martabak telur ini sangat populer di Tegal dan banyak dibawa oleh masyarakat sebagai bekal merantau ke beberapa kota di Pulau Jawa hingga akhirnya makanan ini tersebar luas ke seluruh kawasan di Indonesia.
Sampai saat ini, kedua jenis martabak ini menjadi jajanan populer masyarakat Indonesia. Rasanya yang pas di lidah, adanya variasi rasa yang sesuai selera, penyajiannya yang praktis, dan harganya yang terjangkau membuat makanan ini menjadi sajian sering digunakan sebagai oleh-oleh saat berkunjung ke rumah teman dan saudara.
Pantiau
Masakan ini merupakan salah satu kuliner khas Bangka yang telah dibuat turun-temurun. Pantiau berasal dari bahasa Hakka, salah satu etnis Tionghoa yang mendiami kawasan di Kepulauan Bangka Belitung. Pan memiliki arti setengah, sementara tiau adalah berat. Makanan khas Bangka ini merupakan makanan setengah berat yang bisa menjadi pengganti nasi.
Menu ini dapat ditemukan pada banyak warung di Bangka Belitung. Selain itu, pantiau juga kerap disuguhkan pada berbagai acara penting, seperti acara kenduri maupun syukuran.
Jika dilihat, sajian khas Babel ini mirip kwetiau. Minya cukup tebal dengan tekstur menyerupai kwetiau. Keduanya juga sama-sama makanan khas dari etnis Tionghoa.
Namun, jenis makanan ini bukanlah kwetiau. Jika kwetiau diolah dengan cara digoreng dan disajikan dalam kondisi kering. Pantiau disajikan dengan sedikit kuah. Menu ini bisa juga disajikan kering, tetapi jarang.
Kuah pantiau terdiri dari rempah-rempah dicampur dengan daging ikan yang dihaluskan. Bahan bakunya adalah sagu, tepung beras, daging ikan, bawang putih, bawang merah, garam, merica, dan kecap asin.
Bakpia
Bakpia adalah makanan yang terbuat dari tepung terigu yang dipanggang dengan isian berupa kacang hijau dicampur gula. Namun, makanan yang dianggap sebagai oleh-oleh khas Jogja ini ternyata asalnya bukan asli dari Yogyakarta, melainkan berasal dari China.
Bakpia berasal dari dialek Hokkian dengan nama asli Tou Luk Pia yang secara harfiah berarti kue atau roti yang berisikan daging. Di Indonesia, nama makanan ini dikenal sebagai pia atau kue pia.
Bakpia pertama kali dibawa oleh pendatang asal Tiongkok, Kwik Sun Kwok, pada 1940-an ke Yogyakarta. Saat itu, Kwik menyewa sebidang tanah di Kampung Suryowijayan, Kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta, milik seorang warga lokal bernama Niti Gurnito.
Awalnya bakpia dibuat menggunakan isian daging dan minyak dari babi. Namun, karena sebagian besar penduduk Muslim, bakpia dimodifikasi menjadi kue yang tidak lagi menggunakan minyak babi dengan isian kacang hijau. Hasilnya, cita rasa bakpia menjadi sesuai dengan dengan lidah masyarakat Yogyakarta.
Pada 1980an, bakpia pun semakin populer dan mulai muncul produsen-produsen rumahan bakpia di kawasan Pathuk. Para penjual membuka toko di rumah masing-masing dalam memasarkan bakpia buatannya. Bakpia dikemas menggunakan dus atau kertas karton, dan dikenal dengan nama Bakpia Pathuk.
Bakmi
Bakmi adalah salah satu makanan paling populer di dunia, termasuk di Indonesia. Terbuat dari campuran tepung terigu atau tepung beras, menjadikan teksturnya lembut saat dikonsumsi. Berdasarkan sejarahnya, bakmi mulai tercipta pada masa Dinasti Han Timur.
Makanan ini kemudian menyebar ke beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Masyarakat Tionghoa percaya jika bakmi melambangkan kemakmuran hidup dan panjang umur.
Di Indonesia, mi ayam merupakan hidangan hasil modifikasi bakmi yang banyak dijual di restoran, rumah makan, hingga pedagang kaki lima.
Baca juga: Wedang Ronde, Multikulturalisme dalam Minuman Tradisional Khas Salatiga