Ide Anak Agung Gde Agung, Tokoh Diplomat Cerdas dari Bali

4103
Ide Anak Agung Gde Agung, Tokoh Diplomat Cerdas dari Bali
Ide Anak Agung Gde Agung (kiri) sedang berbicara dengan Sultan Hamid II (1949). (Foto: Wikipedia)

1001indonesia.net – Dr. Ide Anak Agung Gde Agung adalah raja Puri Gianyar, seorang politikus Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, dan juga ahli sejarah. Ia pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (1947-1949) dan Menteri Luar Negeri RI (1955-1956). Penganugerahannya sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat menuai kontroversi.

Anak Agung menempuh pendidikan dasar di Hollands Inlandsche School (HIS) di Klungkung. Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) dan Hoogere Burgerschool (HBS) di Malang.

Putra sulung dari raja Gianyar ini kemudian melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi hukum (RHS) di Batavia. Di sekolah itu, ia hanya sampai tingkat sarjana muda. Pendidikannya terhenti karena sekolahnya ditutup akibat pecahnya Perang Pasifik dan kedatangan tentara Jepang ke Hindia.

Ia kemudian kembali ke Gianyar. Pada Agustus 1943, Anak Agung diangkat sebagai Syutio (kepala pemerintahan swapraja) Gianyar, menggantikan ayahnya, Ngurah Agung. Ayahnya dituduh pemerintah militer Jepang melakukan kegiatan subversi dan dibuang ke Lombok Timur.

Selama pendudukan Jepang sampai pecahnya revolusi Indonesia, Anak Agung tinggal di Gianyar. Ketika awal Januari 1947, Negara Indonesia Timur (NIT) terbentuk, dan Makassar ditetapkan sebagai ibu kota, Anak Agung diangkat sebagai Menteri Urusan Dalam Negeri.

NIT merupakan negara federal di yang terbentuk setelah Konferensi Malino tanggal 16 hingga 22 Juli 1946 dan Koferensi Denpasar dari tanggal 7 hingga 24 Desember 1946. Tujuan pertemuan itu untuk membahas pembangunan negara tersendiri, seperti yang ditawarkan oleh Belanda. Semula negara itu akan dinamai Negara Timur Besar, namun diganti menjadi Negara Indonesia Timur pada 27 Desember 1946.

Pada Januari 1948, Anak Agung mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri RI Amir Sjarifuddin dalam rangka mengadakan pendekatan dengan RI untuk bersama-sama mencari penyelesaian mengenai masalah Indonesia sesuai dengan cita-cita nasionalisme.

Berdasarkan pendekatan itu, pada tanggal 19 Januari 1948, pemerintah RI mengakui NIT. Bulan berikutnya, Februari 1948, NIT mengirim Misi Parlementer ke Yogya. Politik yang digariskan Anak Agung itu dikenal sebagai politik sintesis antara sesama bangsa Indonesia, berlawanan dengan politik sintesis antara Belanda dan Indonesia yang dirancang oleh Van Mook.

Pada 15 Desember 1948, Anak Agung diangkat sebagai Perdana Menteri NIT. Namun, empat hari kemudian, ia mengundurkan diri karena tidak setuju dengan agresi militer yang dilakukan Belanda ke Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu. Pada 12 Januari 1949, Presiden NIT Soekawati kembali melantik Anak Agung sebagai Perdana Menteri.

Anak Agung menentang keras keinginan Belanda untuk membentuk pemerintahan federal sementara sebelum terbentuknya Negara Indonesia Serikat (NIS) tanpa ikut sertanya RI. Dalam hal ini, ia dapat memengaruhi anggota negara-negara federal yang tergabung dalam Bijenkomst voor Federal Overleg (BFO; Pertemuan Musyawarah Federal). Anak Agung memunculkan BFO sebagai partner politik RI dalam menghadapi siasat politik Belanda.

Awal Februari 1949, Anak Agung memimpin delegasi BFO ke Pulau Bangka untuk mengadakan pembicaraan dengan pemimpin RI yang ditawan Belanda di sana. Sebulan kemudian, BFO kembali mengirim delegasi ke Bangka. Mereka kemudian menuntut agar Belanda segera menghentikan agresi militer dan membebaskan para pemimpin RI.

RI dan Belanda kemudian mengadakan perundingan di bawah pengawasan United Nations Commission for Indonesia (UNCI). Perundingan tersebut menghasilkan Pernyataan Roem-Royen tanggal 17 Mei 1949. Isi utama dari pernyataan tersebut adalah pemerintah RI akan dikembalikan ke Yogya dan akan diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Negeri Belanda yang akan diikuti oleh RI, BFO, dan Belanda.

Anak Agung kemudian memprakarsai diadakannya Konferensi Antar-Indonesia untuk menyamakan pendapat antara RI dan BFO dalam menghadapi Belanda di KMB. Konferensi itu diadakan dua kali, pertama di Yogyakarta (19 sampai dengan 22 Juli), kedua di Jakarta (30 Juli sampai dengan 2 Agustus).

Dalam kedua konferensi itu, RI dan BFO mencapai kesepakatan, yakni nama negara yang dibentuk adalah Republik Indonesia Serikat, bendera negara tetap Merah Putih, dan lagu kebangsaan tetap Indonesia Raya. Disepakati pula untuk membentuk Angkatan Perang RIS yang merupakan gabungan antara TNI dan KNIL dengan TNI sebagai intinya.

Perundingan KMB berlangsung dari tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949. Anak Agung bertindak sebagai Wakil Ketua Delegasi BFO dan sekaligus sebagai Ketua Delegasi NIT. Dalam perundingan di KMB, Anak Agung menuntut wilayah Irian Barat dimasukkan ke dalam RIS, sementara Belanda mempertahankan Irian Barat di bawah kekuasaannya. Melalui UNCI kemudian dicapai kesepakatan, Irian Barat akan diserahkan kepada Indonesia setahun setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda.

Dalam Kabinet RIS yang dibentuk bulan Desember 1949, Anak Agung menduduki jabatan Menteri Dalam Negeri. Menteri Luar Negeri didapuknya semasa dalam Kabinet pimpinan Burhanuddin Harahap setelah RIS bubar dan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan. Ide Anak Agung Gde Agung pernah pula menjabat sebagai Duta Besar RI di Belgia (1951), Portugal, Prancis (1953), dan Austria (1970-74).

Pada masa berlakunya Demokrasi Terpimpin, tepatnya pada 16 Januari 1962, Anak Agung bersama para pemimpin lainnya, seperti Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, dan Prawoto, ditahan dengan tuduhan melakukan tindakan-tindakan subversi dan menghalang-halangi jalannya revolusi Indonesia. Ia dan kawan-kawannya dipenjara di Madiun sebagai tahanan politik, dan baru dibebaskan pada Mei 1966, setelah jatuhnya pemerintahan Sukarno.

Selama Orde Baru, Anak Agung aktif sebagai pegawai tinggi di Kementerian Luar Negeri. Pada Agustus 1978, dalam kedudukannya sebagai staf ahli menteri urusan luar negeri, ia berangkat ke Belanda untuk mengadakan penelitian dalam rangka penulisan bukunya mengenai perundingan-perundingan Indonesia-Belanda periode 1948-1950.

Pada Mei 1980, hasil penelitian Anak Agung dipublikasikan dengan judul ‘Renville’ als keerpunt in de Nederlands Indonesische onderhandelingen. Hasil penelitian tersebut sekaligus menjadi disertasinya sehingga ia memperoleh gelar doktor dalam bidang ilmu sejarah dari Universitas Utrecht.

Tokoh Kontroversial

Berdasarkan Keppres No. 066/TK/2007, Dr. Ide Agung Gde Agung dinugerahi gelar pahlawan nasional pada 9 November 2007. Ide Anak Agung Gde Agung dinilai telah berjasa karena pada 1948, ia mendirikan dan menjadi penggerak utama Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) atau Pertemuan Musyawarah Federal (PMF), sebuah komite yang berisi negara-negara bagian dan wilayah otonom di Indonesia yang ditujukan untuk menghimpun kekuatan politik guna menanggulangi berbagai perundingan Belanda-RI.

Namun, pengangkatannya sebagai Pahlawan Nasional sempat memicu kontroversi. Tak bisa disangkal jasa-jasa Anak Agung pada Indonesia setelah tahun 1948, terutama saat Konferensi Meja Bundar. Namun, pada masa perang kemerdekaan sebelum itu, ia dianggap pro-Belanda. Ia sempat membentuk PPN (Pemuda Pembela Negara), kesatuan tempur lokal yang dimiliki Puri Gianyar. PPN pernah membantu NICA mengejar dan menumpas para pejuang anak buah I Gusti Ngurah Rai.

Dalam salah satu ucapannya, Anak Agung Gde Agung pernah mengatakan bahwa Ngurah Rai tak lebih dari sekadar pemimpin para ekstremis yang mengacaukan keamanan dan ketertiban orang Bali yang memiliki rajanya masing masing. Puncaknya adalah ketika Anak Agung Gde Agung memerintahkan eksekusi terhadap I Wayan Dipta, komandan pasukan gerilya di Gianyar.

Di sisi lain, pembentukan PPN sebenarnya berlatar pada tidak harmonisnya hubungan antara Puri Agung Gianyar dan kelompok tertentu di Gianyar bagian barat. Ketidakharmonisan tersebut berujung pada upaya untuk mengambil alih posisi jabatan Raja Gianyar.

Upaya menjatuhkan Raja Gianyar terjadi pada zaman Jepang tatkala Raja Gianyar Anak Agung Ngurah Agung difitnah sehingga beliau diasingkan ke Lombok Timur. Namun, harapan untuk mengganti Raja Gianyar sirna ketika Shimizu sebagai Minseibu Cokan di Singaraja mengangkat Ide Anak Agung Gde Agung sebagai Syutio.

Upaya kelompok-kelompok tertentu terus berlanjut dengan menculik Anak Agung pada 20 September 1945 di Tegalalang, dan dibawa ke Badung. Berkat intervensi I Gusti Ngurah Rai dan Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan, Anak Agung dapat dibebaskan.

Pada awal November 1945, kelompok dari Gianyar bagian barat yang mayoritas anggota PRI berupaya menculik Anak Agung di Batubulan ketika dalam perjalanan menuju Denpasar untuk menghadiri paruman agung.

Upaya pembunuhan terhadap Ide Anak Agung Gde Agung juga terjadi. Sebab itu, atas permufakatan keluarga besar Puri Agung Gianyar, pada November 1945 dibentuk PPN (Pemuda Pembela Negara) sebagai upaya untuk melindungi keselamatan Ide Anak Agung Gde Agung dan keluarganya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

fifteen − six =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.