1001indonesia.net – Trulek jawa (Vanellus macropterus) adalah burung endemik Indonesia, tepatnya Pulau Jawa. Habitat burung yang pernah dinyatakan punah ini adalah daerah basah, seperti rawa-rawa dan delta sungai.
Burung ini sering berada di sekitar daerah berair (tepi sungai, muara sungai, dan rawa) namun tidak menyukai air. Mereka sering terlihat justru sedang bertengger di tempat kering di sekitar lahan basah, seperti ranting, bebatuan, dan rerumputan.
Keberadaan burung ini dapat menjadi indikator alami kualitas lingkungan di Jawa, terutama di sekitar sungai, rawa, maupun pesisir yang merupakan habitat trulek jawa. Dengan kata lain, kelangkaan burung ini menunjukkan buruknya kondisi kawasan basah di Pulau Jawa.
Ciri-ciri
Trulek jawa berukuran sedang, sekitar 28 cm. Bulunya berwarna cokelat keabuan dengan kepala hitam. Punggung dan dada cokelat keabuan, perut hitam, tungging putih. Bulu-bulu sayap terbang hitam, ekor putih dengan garis subterminal hitam lebar.
Terdapat “taji” hitam pada bagian lengkung sayap. Iris cokelat, paruh hitam, tungkai hijau kekuningan atau jingga. Satu hal yang khas dari burung ini adalah gelambir putih kekuningan di atas paruhnya.
Hidupnya berpasangan di padang rumput terbuka sepanjang pantai utara Jawa Barat dan pantai selatan Jawa Timur, mulai dari Lumajang hingga hulu sungai di Gunung Halimun. Di Lumajang, masyarakat menyebutnya dengan nama burung plirik, karena di bagian sayapnya terdapat motif menyerupai keris.
Dengan tanda tersebut, trulek jawa dianggap bukan burung sembarangan. Dulu, saat trulek jawa masih mudah dijumpai, masyarakat pun tak berani memburu, apalagi membunuh burung keramat itu. Burung endemik Pulau Jawa ini memakan kumbang air, siput, larva serangga, dan biji-bijian tumbuhan air.
Terancam punah
Berkurangnya lahan basah di wilayah Jawa mengakibatkan keberadaan trulek jawa terancam punah.
Seperti yang dilansir Republika.co.id, lahan basah merupakan daerah peralihan antara daratan dengan perairan yang tanahnya selalu digenangi air sehingga hanya ditumbuhi tanaman khas. Diperkirakan, luas lahan basah di Indonesia sekitar 20 persen dari luas daratannya atau mencapai 40 juta hektare.
Semua tipe ekosistem lahan basah yang ada di dunia ada di lahan basah Indonesia seperti kawasan laut (marin), muara (estuarin), rawa (palustrin), danau (lakustrin) dan sungai (riverin). Namun, lahan basah alami Indonesia terus menyusut akibat dialihfungsikan menjadi lahan pertanian, permukiman atau tambak.
Alih fungsi terjadi karena lahan basah dianggap kurang produktif dan kurang bermanfaat. Padahal, lahan basah memiliki fungsi ekologis yang menjaga keseimbangan ekosistem daratan maupun perairan, baik habitat ataupun kehidupan tumbuhan dan satwanya.
Lahan basah yang rusak tidak akan mampu menyokong sejumlah besar populasi burung air. Hutan mangrove dan hamparan lumpurnya, rawa atau sawah merupakan tipe habitat lahan basah yang disukai trulek jawa. Di lahan tersebut mereka mencari makan, beristirahat, dan berbiak.
Pemerintah Indonesia menetapkan burung dari suku Charadriidae ini sebagai jenis dilindungi sejak tahun 1978. Pada 1994, trulek jawa pernah dinyatakan punah (Extinct) oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources). Namun, sejak tahun 2000 statusnya direvisi menjadi Kritis.
Meski begitu, hingga kini keberadaan jenis ini masih misterius karena tidak ada bukti fotografi atau spesimen baru yang diperoleh. Hingga saat ini yang dapat dijumpai secara resmi di Indonesia hanyalah spesimen awetannya di Museum Zoologi, Bogor.
Burung ini terakhir tercatat keberadaannya pada 1940 di delta Citarum. Meski demikian, ada kesaksian dari penduduk yang melihat keberadaan burung ini. Misalnya, pada 2015, Chabib Fachry Albab dan Khoirul Muazzah, siswa SMAN 2 Lamongan, melihat keberadaan burung ini saat mereka melakukan penelitian di kawasan terpencil di Kecamatan Turi, Karangbinangun, dan Kembangbahu.
Karena belum ada survei ulang semua habitatnya dan masih ada laporan-laporan keberadaan jenis ini dari penduduk setempat, IUCN tidak berani menyebutnya sebagai jenis yang punah. IUCN memberikan status possibly exctinct (Critically Endangered-Possibly Extinct/CR-PE) pada spesies ini.
Baca juga: Surili Jawa, Primata Endemik Pulau Jawa yang Terancam Punah