Wayang Kulit Sasak, Seni Pertunjukan Tradisional dari NTB

1824
Wayang Kulit Sasak
Pagelaran Wayang Kulit Sasak (Foto: TEMPO/Ardhi)

1001indonesia.net – Selain masyarakat Jawa, masyarakat suku Sasak di Nusa Tenggara Barat juga memiliki kesenian tradisional wayang kulit. Cerita wayang kulit sasak bersumber dari Serat Menak dengan tokoh utama Wong Agung Menak.

Bahasa yang digunakan dalam pagelaran wayang kulit sasak adalah bahasa Kawi yang bersumber dari Jawa. Dengan demikian, bisa dimengerti bahwa berkembangnya wayang kulit di Pulau Lombok merupakan pengaruh dari Pulau Jawa.

Wayang yang dimainkan berupa miniatur makhluk hidup, yaitu manusia, hewan, dan tumbuhan yang diimajinasikan sebagaimana tokoh-tokoh dalam kerajaan masa silam. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi bervariasi sesuai penokohannya. Wayang tokoh kerajaan dan dewi-dewi panjangnya 50-55 cm, sedangkan rakyat biasa 35 cm.

Awal mula wayang kulit Sasak

Tak diketahui dengan pasti kapan kesenian wayang kulit ini masuk di Gumi Sasak (sebutan untuk tempat tinggal orang Sasak). Ada dugaan kuat, wayang kulit ini muncul seiring masuknya Islam ke Lombok.

Islam masuk ke Lombok dibawa oleh Sunan Prapen pada abad ke-16. Sunan Prapen merupakan putra dari Sunan Giri yang dikenal sebagai penggubah wayang gedog. Konon, Sunan Giri bersama Pangeran Trenggono menciptakan Wayang Kidung Kencana pada 1477. Sebab itu, tidak menutup kemungkinan jika Sunan Prapen lah yang membawa wayang ke Pulau Lombok.

Baca juga: Wayang Krucil atau Wayang Klithik

Selain itu, ada kisah turun-temurun yang dipercaya masyarakat Sasak yang menggambarkan bagaimana wayang kulit sasak bermula. Konon, menjelang kedatangan Islam di Lombok, pernah terjadi musim pacakelik yang panjang selama tujuh tahun. Gumi Sasak mengalami kekeringan hingga menyebabkan bencana kelaparan.

Menanggapi pagebluk yang terjadi, para raja mengadakan musyawarah untuk memecahkan masalah. Hasilnya, diutuslah Datu Perigi untuk pergi bertapa ke Gunung Rinjani memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dalam pertapaannya, Datu Perigi didatangi seorang berjubah putih yang bersedia membantu mencarikan jalan keluar mengatasi musim sulit yang dialami masyarakat Sasak. Datu Perigi disarankan mengadakan Gawe Mangajengan. Gawe tersebut harus disertai dengan pagelaran wayang kulit.

Cerita lainnya mengisahkan tentang seorang wali, Pangeran Sangupati Urip, yang datang ke Lombok. Saat itu, masyarakat Lombok terkena wabah penyakit menular. Pangeran Sangupati yang datang untuk mengobati kemudian mensyaratkan penduduk Sasak untuk melafalkan dua kalimat syahadat.

Dalam kisahnya, wabah penyakit kemudian berangur-angsur hilang. Sebagai ungkapan rasa syukur digelarlah Gawe Mangenjangan. Di puncak acara gawe itu, digelar pertunjukan wayang dengan dalang Pangeran Sangupati.

Memang ada beragam versi cerita mengenai datangnya wayang sasak ke Lombok. Namun, seluruh sumber itu merujuk pada satu kesimpulan yang sama, bahwa wayang sasak bersumber dari pulau Jawa, berkembang seiring masuknya agama Islam ke Lombok, dan digunakan sebagai sarana dakwah.

Perlu diketahui, meski bersumber dari Serat Menak yang Islami, wayang sasak tidak hanya dimainkan oleh orang Islam. Wayang ini juga biasa dimainkan oleh dalang yang beragama Hindu.

Baca juga: Wetu Telu, Tradisi Islam Khas Masyarakat Sasak Lombok

Lakon yang dimainkan

Wayang kulit sasak disebut juga wayang menak karena sumber ceritanya berasal dari Serat Menak. Cerita Menak disadur dari kepustakaan Persia, judulnya Qissai Emr Hamza. Kitab ini dibuat pada zaman pemerintahan Sultan Harun Al-Rasyid (766–809).

Sebelum sampai pada saduran bahasa Jawanya, kitab ini lebih dulu dikenal dalam kesusastraan Melayu, dengan judul Hikayat Amir Hamzah. Dalam versi bahasa Jawanya, isi kitab itu sudah berbaur dengan cerita Panji.

Di Jawa, wayang menak sangat jarang dimainkan. Para dalang di Jawa lebih tertarik memainkan wayang yang bersumber pada kisah Mahabarata dan Ramayana karena lebih digemari masyarakat. Ini berbeda dengan Lombok. Serat Menak pasti menjadi acuan para dalang wayang sasak, meskipun tidak beragama Islam.

Baca juga: Kisah Panji, Cerita Rakyat Klasik yang Populer di Nusantara

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

19 − sixteen =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.