1001indonesia.net – Watu Pinawetengan berada di kaki Gunung Tonderukan, Desa Pinabetengan, Kecamatan Tompaso, Kabupaten Minahasa. Batu berukuran besar ini menjadi situs yang sangat penting artinya bagi masyarakat setempat karena dianggap sebagai tempat awal terbentuknya peradaban suku Minahasa di Sulawesi Utara.
Dikisahkan saat pemukiman awal orang Minahasa (Tu’ur Intana) telah dipenuhi Toar dan Lumi’muut (suku asli Minahasa), datanglah berbagai bencana. Bencana-bencana ini ibarat peringatan agar mereka mencari daerah pemukiman baru untuk meneruskan kehidupan.
Setelah mencari-cari, tibalah keturunan Minahasa pada sebuah bukit atau tonduraken. Di tempat tersebut terdapat batu besar yang kemudian diberi nama Watu Pinawetengan. Pada batu inilah kebudayaan awal Minahasa terbentuk.
Pemilihan lokasi di perbukitan tersebut didukung oleh tiga faktor. Ketiga faktor tersebut adalah dekatnya lokasi perbukitan dengan sumber mata air, perbukitan tersebut dianggap sebagai lokasi yang berada di tengah-tengah wilayah Minahasa, dan tidak adanya gangguan.
Watu Pinawetengan kemudian digunakan sebagai tempat pertemuan leluhur Minahasa (apo) untuk merundingkan sesuatu. Musyawarah terpenting yang pertama kali dilakukan adalah pembicaraan mengenai pembagian wilayah yang akhirnya menghasilkan sub-sub-etnis Minahasa.
Peristiwa yang terjadi pada tahun 1000 SM itu kemudian melahirkan sembilan sub etnis Minahasa yang meliputi suku Tontembuan, Tombulu, Tonsea, Tolowur, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik, dan Siao. Setiap suku memiliki bahasa dan wilayahnya masing-masing. Watu Pinawetengan sendiri berarti Batu Tempat Pembagian.
Hasil pembagian wilayah dan etnis suku Minahasa yang dilakukan di Watu Pinawetengan tersebut digoreskan pada batu.
Goresan-goresan di batu tersebut membentuk berbagai motif dan dipercayai sebagai hasil perundingan suku-suku itu. Motifnya ada yang berbentuk gambar manusia, gambar seperti alat kemaluan laki-laki dan perempuan, motif daun, serta kumpulan garis yang tak beraturan tanpa makna.
Selain awalnya digunakan sebagai tempat bermusyawarah membagi wilayah suku Minahasa, Watu Pinawetengan juga digunakan sebagai tempat pertemuan keluarga Minahasa. Hal ini dilakukan sebagai ajang untuk mempererat tali kekeluargaan.
Dari pertemuan-pertemuan tersebut, tercetus beberapa amanat, yakni Masawawangan yang artinya cipta rasa saling tolong menolong, Masasan yang artinya cipta rasa persatuan dan kesatuan, dan Malioliosan (baku-baku bae) yang berarti saling berbuat baik.
Ketiga amanat tersebutlah yang kemudian menginspirasi Sam Ratulangi, tokoh pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia, mencetuskan slogan “Si Tou Timou Tomou Tou” yang artinya “Manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.”
Slogan yang sudah tidak asing bagi masyarakat Minahasa itu tertulis di Monumen dan Makam Sam Ratulangi di Tondano, Minahasa.
Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, bentuk Wati Pinawetengan mirip orang yang sedang bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, bentuk batu ini juga seperti peta pulau Minahasa.
Bongkahan batu besar alamiah ini ternyata juga menyimpan sisi magis religius. Tak jarang wisatawan lokal maupun mancanegara datang untuk berziarah dan mengajukan permohonan melalui ritual-ritual tertentu yang dipercaya.
Mengingat arti penting Watu Pinawetengan sebagai awal mula peradaban suku Minahasa, pada 1 Desember 1974, Hein Victor Worang, Gubernur Sulawesi Utara pada saat itu, meresmikan berdirinya Situs Watu Pinawetengan. Kemudian Situs Watu Pinawetengan diangkat menjadi bangunan cagar budaya yang dilindungi pemerintah berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2010.
Tidak jauh dari Watu Pinawetengan, terdapat batu-batu bersejarah lainnya, yaitu Watu Kopero dan Watu Siouw Kurur. Kedua batu ini menjadi tanda bahwa di tempat tersebut terdapat makam para leluhur suku Minahasa.
Baca juga: Waruga, Jejak Tradisi Pemakaman Minahasa di Masa Silam