Waruga, Jejak Tradisi Pemakaman Minahasa di Masa Silam

5823
Kubur Batu Waruga
Kompleks waruga merupakan peninggalan budaya Minahasa zaman dulu dalam memakamkan orang yang meninggal. (Foto: widyaningtyas.wordpress.com)

1001indonesia.net – Ratusan tahun lalu, masyarakat Minahasa punya cara tersendiri untuk memakamkan orang yang meninggal. Mereka membuat kubur batu di permukaan atas tanah yang disebut waruga. Kubur batu tersebut berbentuk balok yang berongga di tengahnya. Bagian atasnya ditutup dengan batu yang dibentuk seperti atap rumah adat mereka, walewangko. Sudah lama, budaya ini tak lagi diteruskan. Tapi kita masih bisa menemui jejaknya.

Cagar Budaya Kompleks Waruga Sawangan terletak di Desa Sawangan, Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, sekitar 20 kilometer dari Manado. Ada ratusan kubur batu di sana. Tempat ini merupakan satu area khusus yang digunakan untuk menampung waruga yang dikumpulkan dari halaman rumah penduduk pada awal 1900-an. Konon, waruga yang tertua berusia 1.200 tahun dan terbaru kira-kira 400 tahun.

Orang Minahasa memulai tradisi memakamkan orang dengan kubur batu pada sekitar abad IX. Tidak seperti peti mati yang meletakkan jenazah dengan telentang, jenazah dimasukkan ke waruga dengan posisi menyerupai janin ketika di dalam kandungan. Jenazah didudukkan dengan tumit kaki menempel pada pantat dan kepala mencium lutut. Waruga tidak terkubur di dalam tanah, tapi berada di atas permukaan tanah dan diletakkan menghadap ke utara. Menurut kepercayaan orang Minahasa, nenek moyang mereka berasal dari utara.

Kubur batu ini terdiri atas dua bagian, rongga batu berbentuk balok dan cungkup atau penutupnya. Satu rongga biasanya bisa berisi lebih dari 10 jenazah dari keluarga yang sama. Jumlah orang yang dikuburkan di dalam satu waruga bisa diketahui dari jumlah garis yang ditorehkan di cungkup waruga. Cungkup juga kerap diukir berdasarkan pekerjaan orang itu ketika masih hidup, bisa juga melambangkan daerah asal orang yang meninggal.

Konon, jasad yang disimpan dalam kubur batu ini setelah mengalami pembusukan akan menjadi abu. Ini dikarenakan panasnya batu akibat terbakar sinar matahari sehingga jasad yang ada didalamnya akan terpanggang menjadi abu. Itu sebabnya, satu peti batu bisa menampung lebih dari 10 jenazah.

Selain jasad orang yang meninggal, peti juga berisi barang-barang yang disukai oleh orang-orang yang meninggal dalam kubur batu itu. Contoh dari barang-barang ini dapat dilihat di museum yang berada di sekitar pintu masuk kompleks.

Foto: seputarsulut.com
Foto: seputarsulut.com

Orang Minahasa sudah tidak lagi membuat waruga sejak pemerintah Belanda melarang penguburan jasad dengan cara itu. Sebab, jasad yang disimpan dalam peti itu kemudian membusuk dan menyebabkan penyakit kolera menyebar di Minahasa. Ingat, kubur batu tersebut berada di atas permukaan tanah.

Belanda kemudian mengumpulkan sebagian waruga milik masyarakat di satu areal, sebagian lagi masih dapat kita temukan di rumah-rumah peduduk pedesaan. Sampai sekarang, makam leluhur ini masih dihormati oleh sebagian warga Minahasa.

Sumber: 

  • http://regional.kompas.com/read/2016/03/17/22360011/Waruga.Sejarah.Orang. Minahasa
  • http://www.seputarsulut.com/waruga-sawangan-lokasi-wisata-sejarah-zaman-megalitik/

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

11 + 15 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.