1001indonesia.net – Dalam catatan administratif, tertulis bahwa W.R. Supratman dilahirkan tanggal 9 Maret 1903, di Jatinegara, Jakarta. Tempat dan tanggal lahir W.R. Supratman ini masih menjadi perdebatan.
Data terbaru mengungkapkan bahwa sebenarnya Supratman tidak dilahirkan di Jakarta, tapi di Dusun Trembelang, Desa Somongari, Kaligesing, Purworejo pada 19 Maret 1903.
Supratman adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Ia satu-satunya anak lelaki di keluarganya. Nama “Wage” ia dapatkan karena ia lahir pada hari Senin Wage. Nama “Rudolf” ia dapatkan dari kakak iparnya W.M. van Eldik, keturunan Belanda. Nama itu dilekatkan padanya agar ia lebih mudah masuk sekolah yang diperuntukkan khusus bagi anak-anak Belanda.
Ayah Supratman, Djoemeno Senen Sastrosoehardjo alias Abdoelmoein, adalah seorang sersan pelatih tentara Belanda KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger). Ayahnya yang juga seorang seniman tari dan tembang (lagu Jawa) melatih tari pada tentara KNIL di waktu senggangnya. Supratman juga sering mendapat pelajaran seni dari ayahnya.
Kakeknya, Mas Ngabehi Notosoedirdjo, adalah seorang yang terkenal ahli di bidang seni tembang. Jadi, dalam diri Supratman mengalir darah seni, dan ia sendiri sudah terbiasa dengan seni sejak kecilnya.
Setelah usia 6 tahun, Supratman masuk sekolah Budi Utomo di Cimahi. Ia menjadi anak yatim ketika ibunya meninggal dunia pada 1912. Ia kemudian pindah ke rumah keluarga van Eldik yang tinggal di Makassar. Ia memang diangkat sebagai anak oleh kakak iparnya ini.
Di rumah kakak iparnya, Supratman mendapatkan pelajaran musik. Karena pada dasarnya ia berbakat di bidang musik, sebentar saja ia sudah pandai memainkan alat musik, baik gitar maupun biola. Bahkan Supratman mampu menggubah lagu.
Supratman pernah mengenyam pendidikan di sekolah yang diperuntukkan khusus untuk anak-anak Belanda. Namun, tidak lama. Segera setelah diketahui bahwa ia bukan anak kandung van Eldik, ia dikeluarkan dari sekolah. Ia akhirnya melanjutkan pendidikan di Sekolah Melayu dan lulus tahun 1917. Di malam hari, ia mengikuti kursus bahasa Belanda.
Supratman kemudian mengikuti ujian KAE (Klein Ambtenaar Examen) atau ujian untuk menjadi pegawai kecil. Ia lulus dengan hasil amat memuaskan, terutama dalam bidang bahasa Belanda. Namun, alih-alih menjadi pegawai, ia masih ingin melanjutkan pendidikannya.
Ia kemudian masuk sekolah Nasional atau Normal School yang mendidik calon guru. Tamat sekolah ini, ia diangkat menjadi guru di Makassar. Ia berhenti menjadi guru saat ia akan dipindah ke Singkang yang tidak disetujui oleh kakaknya. Ia kemudian menjadi pengacara.
Pada 1920, van Eldik dan Supratman mendirikan kelompok musik jazz yang bernama Black and White Jazz Band. Kala itu musik jazz sedang berkembang dengan sangat pesat di Hindia Belanda. Lama-kelamaan band yang mereka dirikan terkenal di kota Makassar.
Masuklah Supratman dalam lingkungan baru. Hidupnya penuh dengan musik, dansa-dansi, foya-foya, dan banyak bergaul dengan gadis-gadis Indo-Belanda. Tapi, lama-lama ia bosan juga dengan cara hidup seperti itu.
Kemudian, ia mulai mengalihkan perhatiannya pada bidang yang sangat berbahaya waktu itu, yaitu politik. Di kantor pengacara tempatnya bekerja, ia banyak membaca koran. Setelah mengikuti berbagai berita mengenai pergerakan kebangsaan, terdorong hasratnya untuk turut pergerakan tersebut. Untuk itulah, pada 1924, ia berangkat ke Pulau Jawa setelah 10 tahun tinggal di Makassar.
Ia kemudian menekuni dunia jurnalistik. Ia menjadi wartawan di koran Kaoem Moeda, di mana para pejuang, seperti Soewardi Soeryaningrat (Ki Hajar Dewantara), Wignjadisastra, dan Abdul Muis, ikut bekerja. Tidak lama kemudian ia pindah bekerja sebagai pemusik di Kamar Bola Societeit Bandung.
Keluar dari Societeit, ia bekerja di koran Tionghoa Sin Po. Bekerja sebagai wartawan Sin Po membuat pergaulannya meluas. Ia berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan dan pemimpin kalangan muda yang sedang memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan.
Merasa terpanggil oleh cita-cita pergerakan tersebut, ia ingin menyumbangkan sesuatu. Mendengar akan diadakannya Kongres Pemuda II pada bulan Oktober 1928, W.R. Supratman terdorong untuk menyempurnakan lagu perjuangan yang sebenarnya sudah ia olah sejak 1927.
Awalnya lagu tersebut berjudul INDONESIA. Namun, karena judul itu dirasa masih kurang mencakup pengertian tanah air Indonesia yang agung maka diubah menjadi INDONESIA RAYA. Lagu ini kemudian dikumandangkan pada penutupan Kongres Pemuda II pukul 23.00, sesaat setelah pengucapan ikrar Sumpah Pemuda.
Umumnya orang hanya mengenal W.R. Supratman sebagai penggubah lagu Indonesia Raya. Sebenarnya, ia menciptakan banyak lagu perjuangan, seperti Bendera Kita, Indonesia Ibuku, Ibu Kita Kartini, Mars Kepanduan Bangsa Indonesia, dan lain-lain.
Ia juga pengarang buku-buku cerita. Salah satu karyanya, Perawan Desa, berisi tentang kritik sosial terhadap kesenjangan yang terjadi antara kaum kaya dan kaum miskin. Buku ini dilarang beredar oleh Pemerintah Pendudukan Belanda. Buku lainnya yang ia karang adalah Darah Muda dan Kaum Panatik.
W.R. Supratman dikenal sebagai pekerja keras. Namun, fisik W.R. Supratman berbanding terbalik dengan semangatnya yang menggebu. Ia terkena penyakit paru-paru, dan suaranya pun serak. Dalam keadaan tersebut, ia hidup dengan sederhana.
Pada 1930-an, ia tinggal di daerah Rawangmangun, di tengah sawah. Rumahnya berupa bilik dengan banyak lubang. Atapnya terbuat dari alang-alang, dan bocor. Lantainya berupa tanah liat, menjadi lembab kala hujan—yang membuat batuknya makin parah— dan merekah saat musim kering.
Merasa penyakitnya makin parah, ia mengundurkan diri dari koran Sin Po pada November 1933. Ia kemudian tinggal di Cimahi, kemudian di Palembang, dan terakhir di Surabaya.
W.R. Supratman akhirnya meninggal dunia pada 17 Agustus 1938, tepat tujuh tahun menjelang kemerdekaan Republik Indonesia. Ia wafat di usia 35 tahun, dan dimakamkan di Surabaya.