1001indonesia.net – TB Simatupang dikenal sebagai jenderal cerdas. Ia banyak menyumbangkan pemikirannya pada masalah-masalah mendasar soal militer dan peperangan pada masa-masa awal pembentukan tentara Indonesia. Di masa pensiunnya, ia aktif menulis buku, menjadi pengurus organisasi gereja, dan turut mencetuskan pendirian sekolah tinggi manajemen di Jakarta.
Pahlawan nasional bernama lengkap Tahi Bonar Simatupang ini dilahirkan di Sidikalang, Sumatra Utara, pada 28 Januari 1920. Ia merupakan anak kedua dari delapan bersaudara dari pasangan Simon Mangaraja Soaduon dan Mina Boru Sibutar. Ayahnya merupakan seorang ambtenaar yang bekerja di Kantor Pos dan Telegraf.
Bonar, demikian ia dipanggil waktu kecil, menempuh pendidikan dasar (HIS) di Pematang Siantar dan lulus tahun 1934. Ia kemudian menempuh pendidikan menengah pertamanya di Christelijke MULO Tarutung, dan pendidikan menengah atas di Christelijke AMS Batavia. Simatupang kemudian masuk Akademi Militer Hindia (KMA) Belanda di Bandung. Ia lulus tahun 1942 dengan prestasi tinggi di bidang teori.
Pada masa Jepang berkuasa, Simatupang lebih banyak bergerak di luar lembaga resmi yang banyak didirikan oleh pasukan pendudukan. Sebagai upaya mempersiapkan diri menghadapi masa mendatang, ia banyak mempelajari masalah perang dan revolusi lewat buku-buku (Julius Pour, 2010).
Itu sebabnya, saat terbentuk Angkatan Perang Republik pada awal Oktober 1945, Simatupang langsung tampil menjadi salah seorang pemimpin yang menonjol, khususnya dalam bidang perkembangan teori militer, organisasi, dan pendidikan.
Di antara jasa Pak Sim, demikian panggilan akrabnya, dalam dunia militer Indonesia adalah idenya mengenai sumpah prajurit dan Sapta Marga.
Pada 1948-1949, Simatupang diangkat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Di bawah kepemimpinan Jenderal Soedirman sebagai panglima, dan Letjen Urip Sumoharjo sebagai Kepala Staf Umum, Simatupang ikut membantu pembangunan Tentara Nasional Indonesia, khususnya dalam bidang strategi dan soal-soal organisasi yang menjadi bidang keahliannya.
Pada 1949, TB Simatupang yang saat itu berpangkat Kolonel ikut dalam rombongan delegasi Indonesia sebagai wakil dari angkatan bersenjata dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Misi utama mereka adalah mendesak Belanda menghapus Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL), dan menjadikan TNI sebagai inti kekuatan tentara Indonesia.
Hasil perundingan tersebut adalah Belanda mengakui Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka. Tentara Kerajaan Belanda sesegera mungkin ditarik mundur. Sementara itu, KNIL akan dibubarkan dengan catatan bahwa para anggotanya yang diperlukan akan dimasukkan dalam kesatuan TNI.
Puncak karier kemiliteran Pak Sim adalah saat dia diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) pada 1950. Dia diangkat menjadi KSAP setelah Jenderal Soedirman wafat dan Letjen Urip Sumoharjo mengundurkan diri. Saat itu, usia Pak Sim baru 29 tahun.
Kritik terhadap Presiden Sukarno
Setidaknya dua kali Jenderal TB Simatupang berselisih paham dengan Presiden Sukarno. Peristiwa pertama, saat ia keberatan terhadap seragam militer yang dikenakan Bung Karno. Simatupang menganggap penggunaan seragam militer dapat menjadi stigma di masyarakat.
Simatupang khawatir akan terbentuk mentalitas bahwa hanya orang yang berseragam yang patut dihormati. Dia mengambil contoh para kaisar di dunia yang selalu berfoto dengan pakaian kebesaran dan tak mau menemui rakyat kalau tak mengenakan uniform. Namun, Bung Karno tak bisa menerima penjelasan Simatupang dan sempat marah atas kritikan itu.
Peristiwa kedua terjadi pada pertengahan Juli 1952. Kisahnya bermula dari laporan Komandan Candradimuka Bambang Supeno kepada Presiden Sukarno. Dia meminta kepada Presiden agar mengganti Kolonel AH Nasution dari kedudukannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Alasan dari permintaan tersebut adalah karena banyak perwira kurang berkenan dengan tindakan Nasution melibatkan Misi Militer Belanda (MMB) dalam meningkatkan mutu tentara dalam segi-segi teknis. Presiden Sukarno memberi restu. Syaratnya, jika para panglima di daerah juga setuju dengan mengumpulkan tanda tangan.
Setelah pengumpulan tanda tangan para panglima divisi selesai, Bambang Supeno lantas menyampaikan surat permintaan pemberhentian Nasution kepada KSAP. Pak Sim kemudian meminta penjelasan tentang maksud Bambang Supeno. Pertemuan keduanya berkembang menjadi perdebatan sengit. Beberapa hari kemudian, Bambang Supeno diberhentikan dari segala jabatannya.
Simatupang lantas menghadap Presiden Sukarno di Istana Negara. Pak Sim didampingi Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan KSAD. Di istana terjadilah percakapan yang kemudian berbuntut pada ketegangan dalam hubungan keduanya.
Kepada Simatupang, Sukarno tak menampik campur tangannya dalam pengumpulan tanda tangan para panglima divisi. Ia mengemukakan keinginan para panglima daerah yang menghendaki pergantian KSAD.
Simatupang menentang tindakan tersebut. Menurut Pak Sim, jika pengumpulan tanda tangan di antara para komandan resimen untuk memberhentikan KSAD ini dibiarkan maka ini akan menjadi preseden buruk. Para pemimpin bisa dicopot dari jabatannya karena pengaduan dari bawahannya. Dengan demikian, di kemudian hari akan muncul pemimpin militer yang begitu takut akan kehilangan kedudukannya. Mereka akan melindungi diri dengan menunjukkan loyalitas mutlak kepada presiden.
Simatupang berujar, ia tak akan membiarkan hal itu terjadi selama ia menjadi Kepala Staf Angkatan Perang. Pembicaraan itu kemudian berlangsung dalam suasana panas, sarat emosi, dan tak bersahabat. Pertemuan pun berakhir tanpa solusi.
Sementara itu, ketegangan di kalangan TNI AD terus bergolak. Konflik tersebut kemudian mengundang reaksi dari parlemen. Pada 15 Oktober 1952, parlemen mengeluarkan mosi. Isinya, tuntutan kepada Angkatan Perang untuk mengakhiri Misi Militer Belanda di Indonesia, serta reorganisasi dan mutasi pimpinan Angkatan Perang dan Kementerian Pertahanan.
Militer tidak terima dengan keluarnya mosi dari parlemen tersebut. Parlemen dinilai terlalu mencampuri urusan militer, khususnya Angkatan Darat. Konflik tersebut kemudian bermuara pada Peristiwa 17 Oktober 1952 tatkala KSAD dan tujuh panglima daerah menuntut pembubaran parlemen (DPRS).
Akibat peristiwa itu, Nasution dan Simatupang dicopot dari jabatannya sebagai KSAD dan KSAP. Setelah itu, dinas aktif militer Simatupang hanya dibatasi selaku penasihat militer di Departemen Pertahanan. Dia sebenarnya sempat dua kali ditawari untuk menjadi duta besar. Namun, dia menolak tawaran itu karena tak lebih sebagai bentuk pengasingan dirinya.
Dari rekannya Friderich Silaban, arsitek Masjid Istiqlal, Simatupang mengetahui, Sukarno telah memupus kesempatan bagi Simatupang untuk memegang suatu jabatan penting dalam pemerintahan.
Puncaknya, pada 21 Juli 1959, Simatupang dipensiunkan dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal. Saat itu, usianya baru 39 tahun. Selepas pensiun, Simatupang aktif menulis buku, baik dalam bidang militer maupun teologi.
Beberapa karya yang ditulisnya adalah autobiografi di masa revolusi Laporan dari Banaran (1960), Pengantar Ilmu Perang di Indonesia (1969), Peranan Angkatan Perang dalam Negara Pancasila yang Membangun (1980), Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai (1981), Iman Kristen dan Pancasila (1984), Harapan, Keprihatinan dan Tekad: Angkatan 45 Merampungkan Tugas Sejarahnya (1985), dan Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos: Menelusuri Makna Pengalaman Seorang Prajurit Generasi Pembebas Bagi Masa Depan Masyarakat, Bangsa, dan Negara (1991).
Pak Sim juga aktif di gereja dan menjadi pengurus di Dewan Gereja-gereja Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan PGI, Ketua Dewan Gereja se-Asia (CCA), dan Ketua Dewan Gereja se-Dunia (WCC).
Dalam dunia pendidikan, peraih gelar doktor kehormatan (honoris causa) dari Universitas Tulsa, AS, pada 1969 ini pernah menjabat sebagai Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, salah satu pendiri Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM) Jakarta, selain tetap mengajar di lembaga pendidikan militer, seperti Seskoad dan Akademi Hukum Militer
TB Simatupang wafat pada 1 Januari 1990 pada usia 70 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas jasa-jasanya, Pemerintah RI menganugerahinya tanda jasa Bintang Mahaputra Adipradana pada 1995. Pada 6 November 2013, berdasarkan Keppres Nomor 68 TK 2013, TB Simatupang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Namanya diabadikan menjadi salah satu jalan utama di Jakarta Selatan. Gambarnya juga terdapat dalam uang logam pecahan Rp500 tahun 2016.