1001indonesia.net – Raden Mas Panji Sosrokartono dikenal sebagai ahli kebatinan yang sangat dihormati di Kota Kembang. Beliau adalah seorang sarjana dengan kemampuan 26 bahasa asing dan 10 bahasa Nusantara. Termasuk mahasiswa Indonesia generasi awal yang belajar di negeri Belanda. Selama studi di Belanda, kakak dari R.A. Kartini ini aktif sebagai aktivis di Indische Vereniging yang merupakan cikal bakal Perhimpunan Indonesia.
R.M.P. Sosrokratono lahir di Mayong pada Rabu Pahing, 10 April 1877. Saat itu, ayahnya masih menjabat sebagai wedana Mayong, dan kemudian diangkat sebagai bupati Jepara tiga tahun kemudian dengan gelar R.M. Adipati Ario Sosroningrat.
Sosrokartono memulai pendidikannya di Eropesche Lagere School (ELS) di Jepara. Kemudian, melanjutkan pendidikan di HBS Semarang. Karena nilainya di HBS sangat bagus, ia berkesempatan untuk meneruskan pendidikannya ke negeri Belanda. Mula-mula masuk di Sekolah Teknik Tinggi di Leiden. Karena merasa tidak cocok, ia kemudian pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesastraan Timur.
Di Belanda, bersama Noto Suroto, Sosrokartono ikut menyusun anggaran dasar Indische Vereniging, dan tercatat sebagai anggota sampai tahun 1918. Awalnya, organisasi ini bertujuan untuk membantu para mahasiswa Indonesia yang ingin belajar di Belanda. Perkembangan organisasi ini bisa dibilang cukup pesat hingga pada September 1922, nama Indische Vereniging diubah menjadi Indonische Vereniging.
Lulus kuliah, berbekal gelar Docterandus in de Oostersche dari Perguruan Tinggi Leiden, Sosrokartono menjelajahi benua Eropa, melakoni berbagai macam pekerjaan.
Selama Perang Dunia I, beliau bekerja sebagai wartawan perang pada koran New York Herald. Guna memperlancar tugasnya di medan perang, ia diberi pangkat mayor oleh pihak sekutu. Tapi ia menolak membawa senjata, dengan alasan tidak memerlukannya karena ia tidak bermaksud untuk menyakiti siapa pun.
Setelah perang usai, beliau menjadi penerjemah di Wina. Kemudian pindah lagi, bekerja sebagai ahli bahasa pada kedutaan Prancis di Den Haag. Akhirnya, ia pindah ke Jenewa. Berbekal penguasaan berbagai bahasa, Sosrokartono bekerja sebagai penerjemah di Liga Bangsa-Bangsa.
Menjadi Pembicara di Kongres Bahasa dan Sastra Belanda
Profesor Dr. J.H.C. Kern, dosen pembimbingnya di Universitas Leiden, pernah mengundang Sosrokartono untuk menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke-25 di Ghent, Belgia, pada 1899. Dalam kongres yang membicarakan masalah bahasa dan sastra di pelbagai negara itu, Sosrokartono mempersoalkan hak-hak kaum pribumi di Hindia Belanda yang tak dipenuhi pemerintah kolonial.
Dalam pidatonya yang berjudul “Het Nederlandsch in Indie” (Bahasa Belanda di Hindia), Sosrokartono antara lain mengungkapkan:
Dengan tegas saya menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapa pun yang membikin kita (Hindia Belanda) menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan yang luhur lagi suci. Selama matahari dan rembulan bersinar, mereka akan saya lawan.
Sosrokartono bukannya anti budaya asing karena dalam kongres tersebut, ia secara gamblang menuntut diadakannya pelajaran Bahasa Belanda bagi kaum pribumi sebagai pintu menuju pengetahuan.
Baginya, penting bagi bangsa Indonesia untuk belajar ilmu pengetahuan Barat, namun tetap berakar pada jiwa kepribadian bangsanya. Pengetahuan Barat berguna untuk memperkaya dan mengembangkan diri, bukan untuk mengubah diri menjadi orang Barat.
Pulang ke Indonesia
Suatu ketika, Sosrokartono mendengar berita tentang seorang anak kenalannya yang berumur sekitar 12 tahun sedang sakit keras. Sakit anak itu tak kunjung sembuh meski sudah diobati oleh beberapa dokter.
Ia kemudian datang menjenguknya. Sesampainya di sana, ia meletakkan tangannya di atas dahi anak itu dan memberinya minum air putih. Lalu terjadilah sebuah keajaiban. Sakit si anak mulai berkurang dalam hitungan detik. Hari itu juga, anak tersebut sembuh.
Kejadian itu membuat orang-orang yang hadir terheran-heran. Seorang ahli psychiatrie dan hypnose kemudian menjelaskan bahwa Sosrokartono mempunyai daya persoonlijke magnetisme yang besar sekali yang tak disadari olehnya.
Mendengar penjelasan tersebut, akhirnya beliau memutuskan menghentikan pekerjaannya di Jenewa dan pergi ke Paris untuk belajar Psychometrie dan Psychotecniek di sebuah perguruan tinggi di kota itu.
Akan tetapi, ia tidak bisa mengikuti semua mata kuliah yang diajarkan sebab studi tersebut dikhususkan bagi mahasiswa yang telah lulus kedokteran. Sementara Sosrokartono lulusan bahasa dan kesastraan Timur. Hal ini membuatnya kecewa. Ia kemudian memutuskan untuk kembali saja dan mengabdikan dirinya untuk tanah airnya.
Setelah 27 tahun menjelajahi Eropa, akhirnya pada 1925, Soerokartono pulang ke tanah air. Ia kemudian bertempat tinggal di Bandung, dan bekerja di Taman Siswa Bandung. Pada 1930, ia keluar dari Taman Siswa dan mendirikan Darussalam.
Darussalam merupakan rumah pengobatan yang bersifat sosial dan digunakan menolong golongan menengah ke bawah. Di rumah itu terdapat paguyuban bernama Keluarga Manasuka yang bertugas merawat wisma Darussalam dan keperluannya.
Keluarga Manasuka ini terdiri dari sahabat dan orang yang ingin mengabdikan dirinya bersama Sosrokartono. Di Darussalam inilah, bersama keluarga Manasuka Sosrokartono mengabdikan hidupnya sampai akhir hayatnya.
Selain sebagai rumah pengobatan, Darussalam juga merupakan perpustakaan. Buku-buku perpustakaan itu disumbang oleh dua orang insinyur perusahaan kereta api Staats Spoorwegen, tiga orang partikelir bangsa Belanda, dua orang wanita Belanda, tiga orang Jawa, dan seorang Tionghoa. “Semboyannya ‘tanpo rupo tanpo sworo’, yang berarti tidak berwarna, tiada perbedaan, tiada perselisihan,” ucap Sosrokartono.
Sosrokartono meninggalkan karya monumental berupa falsafah hidup. Falsafah ini disampaikan Sosrokartono tidak secara langsung sehingga pengagumnya memiliki interpretasi sendiri-sendiri. Tata hidupnya, sikap dan tingkah lakunya, pendiriannya dan segala sesuatu dari kehidupan pribadinya tercermin dalam filosofi Catur Murti, yaitu satunya pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan.
Ia pun mengajarkan ilmu kantong bolong. Inti ajarannya merupakan sikap cinta-kasih kepada manusia dan Tuhan. Cinta kasih sempurna adalah antusiasme dan empati untuk menolong sesama manusia dalam mengatasi derita, rasa sakit, dan duka. Cinta-kasih adalah ekspresi pengabdian kepada Tuhan.
Ada lagi hasil pemikirannya, yaitu simbol Alif. Huruf Alif yang diambil dari huruf Arab yang bermakna Allah. Dalam keseharian simbol Alif digunakan sebagai sarana pengobatan alternatif yang digunakan Sosrokartono di rumah pengobatan Darussalam.
Dari rumah Darussalam inilah nantinya muncul Yayasan Sosrokartanan yang berasal dari para kolega dan pencinta Sosrokartono. Yayasan yang muncul setelah Sosrokartono meninggal ini bertujuan untuk tetap melestarikan ajaran luhurnya.