1001indonesia.net – Pohon sagu (Metroxylon sago) merupakan salah satu tanaman pangan yang paling tua di Asia Tenggara dan Mikronesia. Nadirman Haska dalam laporan Antara News menyebutkan pohon sagu merupakan tanaman asli Indonesia, berbeda dengan padi, jagung, singkong, dan gandum yang datang dari luar.
Relief Candi Borobudur memperkuat argumen ini. Sagu merupakan satu dari empat jenis pohon yang tergambar dalam relief Palma Kehidupan di Candi Borobudur, selain lontar, aren, dan nyiur
Sagu menjadi makanan pokok masyarakat Maluku dan Papua karena memang di dua daerah tersebut tanaman ini banyak tumbuh secara alami. Habitatnya sendiri tersebar di Pulau Mentawai sampai Thailand Selatan, Filipina Selatan, dan pulau-pulau di bagian barat Pasifik.
Tanaman sagu mempunyai keuntungan bersaing melebihi pohon rawa lainnya karena kemampuannya beradaptasi dengan air asin. Papua sekarang dianggap sebagai pusat kekayaan tanaman ini. Luas hamparan sagu di Papua merupakan 85% total luas lahan tanaman sagu di Indonesia, dan diperkirakan yang terluas di dunia.
Tanaman ini tumbuh berumpun. Ketika biji berkecambah, daun roset terbentuk tanpa batang. Daun mulai tumbuh dari pusat, sementara daun yang paling luar mati. Daun lambat laun bertambah, baik dalam jumlah maupun ukuran. Dalam keadaan terbaik, setelah tiga setengah tahun, titik tumbuh cukup besar untuk mulai pembentukan batang.
Tepung disimpan dalam batang untuk selanjutnya digunakan dalam pembentukan susunan bunga yang besar. Perbungaan menunjukkan gejala kematian sagu. Ukuran perbungaan dan jumlah biji yang dihasilkan tergantung pada jumlah tepung yang disimpan dalam batang.
Panen Sagu
Penduduk Maluku dan Papua mendapat karbohidrat dari batang sagu dengan menggunakan tepung empulur sebagai makanan pokok. Pada keadaan lembap luar biasa, pohon liar yang tumbuh secara alami biasanya menghasilkan 100 kg tepung kering.
Jika melalui proses seleksi pembibitan, beberapa pohon dapat menghasilkan 600 kg tepung kering dari batang tunggal. Pohon-pohon ini dibudidayakan di tanah kering, sementara pohon lain dirubuhkan agar tidak menutupi yang muda. Pada pohonnya terdapat batang asli dan batang yang membentuk tunas yang mempunyai genetika sama seperti tanaman induknya. Tunas yang besar dipilih sebagai bibit penanaman.
Proses memanen sagu relatif sederhana. Pohon ditebang dan dikuliti sampai bagian lunak. Empulur tengah dilumatkan dan dicuci dalam saringan yang besar untuk memindahkan tepung yang terkumpul setelah mengendap. Tepung biasanya putih atau tidak berwarna (mirip dengan tepung tapioka), disimpan dalam wadah daun.
Seluruh proses pemanenan memerlukan satu keluarga yang terdiri atas empat orang untuk dua atau tiga hari, tidak termasuk waktu pencapaian tempat itu. Dengan hasil 200 kg tepung dari batang agak baik, tepung menyediakan karbohidrat yang cukup untuk satu keluarga dengan empat anggota selama 100 hari.
Jika tepung disimpan tanpa dikeringkan, tepung cepat rusak dan berbau asam laktat. Hal ini dapat dicegah dengan penyimpanan di bawah air untuk mengurangi oksigen sehingga tidak cepat rusak. Sagu sendiri dapat dijual sebagai tepung curah maupun dipadatkan dan dikemas dengan daun pisang
Masyarakat Maluku dan Papua mengolah sagu dengan berbagai cara. Misalnya, diaduk dengan air panas dan dimakan seperti bubur mirip lem (papeda). Atau, dipanggang dalam daun sagu berbentuk batang kecil yang ketika masih panas rasanya seperti roti, tetapi kurang enak jika tidak segera dimakan. Juga dapat dikukus dalam daun pisang bersama makanan lain, misalnya ikan atau biji kenari.
Jika batang dipanen sebelum bunga mekar, empulur yang besar, lunak, dan titik tumbuh manis dapat dimakan.
Tempayak atau ulat sagu hidup pada batang tua, busuk, dan ditinggalkan setelah proses penepungan. Ulat ini merupakan larva Rhynchophorus ferrugineus yang menjadi makanan berharga bagi petani sagu, terdiri atas 5% protein dan 20% lemak. Batang yang tua kadang-kadang dibelah dan dibuka untuk dapat meletakkan telurnya.
Selain diambil tepungnya, bagian lain dari tanaman ini juga berguna. Daunnya merupakan bahan atap yang paling awet di antara daun palem lainnya. Setelah anak daun dibuang, daun dilipat sekitar batang, dan “dijahit”. Batang daun digunakan sebagai bahan bangunan dan kulit pohonnya dapat digunakan sebagai lantai rumah.
Pertumbuhan Komersial
Dalam 3-4 dekade terakhir, sudah ada perhatian untuk memanfaatkan sagu sebagai tanaman komersial. Tepungnya menemukan pasar sebagai pengganti tepung gandum impor, dan dapat digunakan untuk berbagai makanan, seperti mie, biskuit, bahkan roti.
Sagu juga dapat digunakan dalam industri kertas, pakaian, pengobatan, bahan lem, dan sirup berfruktosa tinggi. Juga dapat digunakan untuk pembuatan bahan bakar alkohol.
Namun, karena harga bahan dasar fosil terlalu rendah maka produksi bahan bakar alkohol tidak menguntungkan. Di sisi lain, produk tepung lebih menguntungkan karena dapat mencapai harga tinggi di pasar.
Digerakkan oleh kemungkinan ekonomi, usaha yang dilakukan untuk budidaya sagu ukuran besar dimulai di tanah gambut di Serawak dan pemanfaatan tegakan sagu alami sebagai usaha perdagangan di Halmahera dan Kepala Burung, Papua. Banyak kendala dalam proses ini, termasuk masalah cepatnya penurunan nilai gizi karena proses pemindahan batang dari lahan sampai ke pabrik serta mencari cara terbaik untuk mengangkut batang.
Pada masa lalu, sagu dianggap sebagai “tanaman orang miskin” dan hanya digunakan sebagai tanaman pangan di beberapa daerah terpencil. Akibatnya, sampai pertengahan tahun 1970-an, sedikit perhatian diberikan untuk tanaman ini.
Kandungan Nutrisi dalam Sagu
Bahan makanan yang menjadi salah satu makanan pokok masyarakat Indonesia ini memiliki kandungan nutrisi yang relatif lengkap. Sagu mengandung karbohidrat murni dalam jumlah yang cukup banyak. Selain itu, dalam sagu terdapat protein, vitamin, dan mineral, meski jumlahnya tidak banyak.
Detailnya, dalam 100 gram sagu kering, 94 gram darinya merupakan karbohidrat, 0,2 gram protein, 0,5 gram serat makanan, 10 mg kalsium, dan 1,2 mg zat besi. Sementara kalori yang dihasilkan 100 gram sagu sebanyak 355 kalori. Sagu juga mengandung lemak, karoten, dan asam askorbat, tetapi jumlahnya sangat sedikit sehingga sering kali diabaikan.
Saat ini, Indonesia menjadi penghasil sagu terbesar di dunia. Namun, negara yang paling serius mengembangkan sagu adalah Jepang. Selain karena tingginya kandungan karbohidratnya, ada kisah heroik di balik ketertarikan Jepang pada bahan pangan ini.
Dulu, prajurit Jepang mampu bertahan hidup dan sehat selama 35 tahun di pedalaman belantara Halmahera karena makan sagu yang tumbuh alami di sana. Kisah dan beberapa fakta dari prajurit inilah yang membuat Jepang tertarik untuk meneliti dan mengembangkan tanaman asli Indonesia ini.
Indonesia, terutama Papua, memiliki banyak sekali potensi dari sagu yang belum termanfaatkan. Tercatat, Papua memiliki sekitar 1,2 juta pohon sagu, 95 persen di antaranya tumbuh alami dan belum dimanfaatkan. Kualitas pohonnya sangat bagus dan jika dikelola dengan baik, sagu dapat menjadi solusi jitu bagi persoalan ketahanan pangan di Kepulauan Indonesia, khususnya untuk Indonesia bagian timur. Apalagi, sudah banyak pemanfaatan lain selain sebagai bahan makanan pokok.
Sumber
- http://www.alodokter.com/manfaat-sagu-mulai-dari-makanan-pokok-hingga-industri-tekstil
- http://www.antaranews.com/berita/537801/kisah-sagu-papua
- Tony Whitten dan Jane Whitten, Tetumbuhan: Indonesian Heritage IV, Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.