1001indonesia.net – Rotan merupakan jenis tumbuhan palem menjalar yang banyak kegunaannya, terutama sebagai bahan baku industri perabotan rumah tangga. Tumbuhan ini melimpah di Indonesia yang menguasai pasar dunia dalam penjualan. Habitat utamanya adalah hutan hujan tropis di Asia Tenggara, juga terdapat di Afrika dan kawasan Australasia.
Di Indonesia, rotan banyak dihasilkan oleh hutan di daerah Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Sebenarnya, hampir seluruh kepulauan Indonesia yang mempunyai hutan alam ditumbuhi rotan.
Sekitar 70 sampai 80 persen pasokan dunia berasal dari Indonesia. Sisanya berasal dari Malaysia, Filipina, Sri Lanka, dan Bangladesh. Data ini menunjukkan bahwa rotan merupakan hasil hutan terpenting setelah kayu.
Dibanding kayu, rotan memiliki keunggulan. Tumbuhan menjalar ini lebih cepat tumbuh serta relatif mudah dipanen dan diangkut. Oleh sebab itu, banyak orang lebih yang lebih suka memanen rotan daripada kayu. Secara tidak langsung, hal ini dianggap membantu dalam menjaga kelestarian hutan.
Struktur rotan
Rotan berbatang panjang beruas-ruas, berdiameter antara 0,5-5 cm, tidak berongga, dan sangat lentur. Dalam keadaan yang sesuai, beberapa jenis dapat tumbuh sangat panjang mencapai ratusan meter. Jenis ini meliputi batang tunggal dan batang majemuk. Batang tungga hanya dapat dipanen sekali, sedangkan batang majemuk dapat dipanen secara berkelanjutan.
Batang rotan ditutupi pelepah daun dan hampir selalu tertutup duri-duri yang keras, panjang, dan tajam. Rotan mempunyai cambuk panjang yang berada di antara pelepah atau ujung daun. Cambuk ini dipenuhi dengan sekelompok duri yang bertindak sebagai pelindung.
Namun, peran utama duri adalah mendukung rotan agar dapat menjalar pada pohon penopang karena tanaman ini tidak memiliki sulur. Cambuk dan duri ini menyulitkan para peneliti yang ingin mempelajari tumbuhan menjalar ini.
Jika ditebas, batangnya akan mengeluarkan air, biasanya digunakan sebagai cara untuk bertahan hidup di hutan belantara. Diketahui juga, badak jawa menjadikan tanaman ini sebagai salah satu makanannya.
Sementara itu, masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah memanfaatkan rotan muda sebagai bahan sayuran.
Panen dari hutan
Untuk mendapatkan rotan yang bermutu bagus, perlu dilakukan tebang pilih. Hanya tanaman yang berumur tua yang ditebang. Tanda tanaman yang sudah tua adalah pelepah daunnya sudah kering dan mengelupas dari batangnya, atau batangnya telah menguning.
Rotan yang tumbuh tunggal, pemanenan hanya dilakukan sekali setelah berumur 20-30 tahun. Sedangkan yang tumbuh berumpun, pemanenan dilakukan setelah berumur 10-15 tahun. Pemanenan berikutnya dilakukan selang 2-4 tahun.
Rotan dipanen dengan menarik batangnya ke bawah, membawa serta pelepah berduri, daun, dan cambuknya, untuk memperoleh batang telanjang. Usaha ini lebih berbahaya ketika cabang mati ikut tercabut karena semut dan kumbang yang merasa terganggu akan menyerang orang yang memanen.
Batang bergaris-garis ini kemudian dibawa keluar hutan dan sebagian dibuang untuk mengurangi kelembapan dan untuk menghalangi serangan kumbang. Batang bergaris tengah kecil dijemur dan sering kali diasapi di atas belerang yang dibakar.
Sedang batang besar direbus dalam minyak, biasanya campuran minyak diesel dan minyak palem. Rotan kemudian dijual ke penadah yang meneruskan ke pabrik perkakas rumah tangga.
Perlindungan rotan
Pada masa lalu, banyak batang dipanen secara komersial untuk diekspor ke Singapura, Hong Kong, Jepang, Eropa, dan Amerika. Sekarang, Indonesia memberlakukan larangan ekspor batang mentah untuk mendukung pabrik mebel dalam negeri. Usaha ini menambah nilai ekspor dan membantu menjaga ketersediaan rotan alam yang ada.
Pembatasan Indonesia atas ekspor batang mentah berdampak pada sumber rotan alami negara lain yang tidak memiliki pengawasan. Pada negara tersebut terjadi pemanfaatan yang berlebihan yang menyebabkan menghilangnya sumber rotan alami di beberapa tempat.
Pada saat yang sama, terjadinya perusakan hutan hujan dunia sejak beberapa waktu lalu mengakibatkan berkurangnya hutan yang menjadi habitat alami rotan secara besar-besaran sehingga cadangan rotan alami tinggal sedikit.
Menyadari hal tersebut, pada pertengahan 1970-an, Departemen Kehutanan negara-negara Asia Tenggara memulai penelitian yang bertujuan melindungi rotan jangka panjang. Budidaya yang telah ada merupakan harapan baik untuk masa depan dan dijadikan sebagai awal untuk pengembangan pembudidayaan lebih lanjut.
Di satu daerah kecil di Kalimantan, rotan telah dibudidayakan. Letak perkebunannya persis bersebelahan dengan sungai yang menjadi sasaran banjir yang hebat dan lama. Tanah di area ini tidak cocok untuk pertanian apa pun sebab lamanya masa penggenangan dan mempunyai keasaman yang tinggi. Namun, tanah tersebut cocok untuk budidaya jenis rotan irit (Calamus trachycoleus) yang merupakan tanaman endemik Kalimantan.
Di tempat lain di Kalimantan, rotan sega (Calamus caesius) ditanam selama masa paceklik dari daur budidaya tebang bakar. Kecambahnya ditanam setelah panen padi dan batangnya dibiarkan di hutan sekunder. Setelah 14 sampai 15 tahun, petani pemilik kembali, memanen rotan, menebang hutan sekunder, membakar ladang, dan memulai daur dengan menanam padi lagi. Cara budidaya setempat ini digunakan sebagai contoh di tempat lain.
Calamus trachycoleus dan C. caesius merupakan rotan berbatang kecil (6-12 mm) dan bermutu terbagus. Namun, untuk membuat pinggiran mebel rotan diperlukan batang yang besar (lebih dari 18 mm).
Oleh karena itu, bagaimana memperoleh rotan bergaris tengah besar yang cocok didomestifikasi dan dibudidayakan di berbagai macam habitat menjadi perhatian utama penelitian. Dengan lebih 600 jenis pilihan dan daerah, geografi yang luas, ketinggian dan ekologi, menentukan batang yang sesuai dengan habitat yang cocok merupakan proses yang rumit.
Keterangan lebih rinci mengenai ekologi dan klasifikasi rotan diperlukan lebih lanjut untuk pengembangan dan mengurangi tekanan pada jenis yang terancam. Perhatian utama sekarang diberikan pada jenis bergaris tengah besar, seperti C. manan, C. zollingeri, dan C. subinermis, yang sangat menjanjikan untuk budidaya di masa mendatang.
Penanaman Komersial
Perkebunan rotan komersial telah dibangun di Indonesia dan di Asia Tenggara. Angka pertumbuhannya sangat menjanjikan: batang bergaris tengah besar terbaik, C. manan, dan batang bergaris tengah kecil, C. trachycoleus, tumbuh lebih dari enam meter per tahun. Beberapa perkebunan di luar Indonesia telah mencapai masa panen dan kembalinya modal dari perkebunan ini tampak menjanjikan.
Juga terdapat keuntungan yang tidak diduga dari perkebunan ini. Agar tumbuh dengan baik, rotan harus ditanam di bawah pohon pelindung, seperti hutan tebangan, hutan sekunder, kebun buah, perkebunan, dan bahkan perkebunan karet.
Penanaman ini melestarikan pohon pelindung pada hutan semi-alami, juga satwa liar setempat dilindungi. Salah satu jumlah orang utan tertinggi di Kalimantan sekarang berada di perkebunan rotan.
Perkebunan komersial menawarkan masa depan yang menarik untuk penggunaan lahan yang bijaksana, memperkecil gangguan terhadap tanaman, sampai membentuk vegetasi. Jenis batang kecil dapat ditanam dalam ukuran kecil di bawah pohon buah atau kebun karet, membuat pemilik perkebunan kecil dapat memperbesar keuntungan, sementara itu juga dapat mengurangi tekanan pada hutan.
Saat ini telah dikembangkan rotan sintetik dari bahan High Density Polyethylene (HDPE) sebagai bahan baku industri furnitur. Banyak keunggulan dari jenis ini. Bahannya tahan lama dan bisa didaur ulang. Juga terdapat banyak pilihan warna dan bentuk pada jenis sintetis ini sehingga memudahkan para desainer untuk menciptakan berbagai model.
Adanya jenis sintetis ini tentu menjadi saingan yang sangat berat bagi rotan alami. Apalagi semakin banyak industri mebel yang memilih untuk menggunakan jenis ini daripada yang jenis alami. Di sisi lain, perkembangan ini membawa dampak positif juga, terutama bagi perlindungan hutan alami.
Sumber:
- http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/07/rotan-sintetik-untuk-bumi-yang-hijau
- Tony Whitten dan Jane Whitten, Tetumbuhan: Indonesian Heritage IV, Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.