Profil 4 Penerima Gelar Pahlawan Nasional Tahun 2021

1193
Empat Tokoh yang Ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional
Empat tokoh dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada Rabu (10/11/2021). (Foto: SINDOnews)

1001indonesia.net – Pada Rabu (10/11/2021) bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, Presiden RI Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada empat orang tokoh.

Keempat tokoh yang mendapat gelar Pahlawan Nasional tahun ini adalah Usmar Ismail (DKI Jakarta), Raden Aria Wangsakara (Banten), Tombolotutu (Sulawesi Tengah), dan Sultan Aji Muhammad Idris (Kalimantan Timur).

Berikut profil keempat tokoh yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun ini.

Usmar Ismail

Usmar Ismail
Usmar Ismail (Foto: Kenangan.com)

Usmar Ismail dikenal sebagai Bapak Film Indonesia. Ia adalah sutradara pertama yang memproduksi film Indonesia dengan semua kru orang Indonesia lewat film Darah dan Doa (1950). Hari pertama pengambilan gambar film tersebut ditetapkan sebagai Hari Film Nasional.

Usmar Ismail lahir di Bukittinggi pada 20 Maret 1921. Usmar adalah putra dari pasangan Datuk Tumenggung Ismail, guru Sekolah Kedokteran di Padang, dan Siti Fatimah. Salah seorang kakaknya terjun ke dunia sastra, yakni Dr. Abu Hanifah yang menggunakan nama pena El Hakim.

Usmar memulai kegiatan berkeseniannya di dunia teater. Pada 1943, Usmar Ismail bersama El Hakim, Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, serta H.B. Jassin mendirikan kelompok sandiwara dengan nama Maya. Kelompok kesenian tersebut mementaskan sandiwara berdasarkan teknik teater Barat, dan menjadi tonggak lahirnya teater modern di Indonesia. 

Pada 1950, Usmar mendirikan perusahaan film pribumi bernama N.V. Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) yang kemudian membuat film Darah dan Doa (The Long March of Siliwangi).

Pada 1962, Usmar Ismail aktif mendirikan organisasi Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) di bawah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai wadah kegiatan kebudayaan, pendidikan, dan penanaman nilai-nilai nasionalisme kepada masyarakat.

Beberapa film buatan Umar Ismail memuat nilai-nilai nasionalisme, antara lain Darah dan Doa (1950), Enam Jam di Jogja (1961), Kafedo (1953), Lewat Djam Malam (1954), dan Pedjuang (1960).

Selain itu, film Tamu Agung (1956) karyanya mendapatkan penghargaan film komedi terbaik di Festival Film Asia Pasifik di Hong Kong tahun 1956.

Usmar wafat tanggal 2 Januari 1971 dan dimakamkan di Pekuburan Karet, Jakarta. Untuk mengenang jasanya, namanya diabadikan sebagai nama sebuah gedung perfilman, yaitu Pusat Perfilman Usmar Ismail yang terletak di daerah Kuningan, Jakarta.

Baca juga: Usmar Ismail, Kiprah Pelopor Perfilman Indonesia

Raden Aria Wangsakara

Raden Aria Wangsakara (Foto: Kompas.com)

Raden Aria Wangsakara lahir di Sumedang tahun 1615. Di Kesultanan Banten, Wangsakara menjadi tokoh keagamaan sekaligus tokoh politik dan pemimpin militer yang terus berjuang melawan penjajah. Ia juga dikenal sebagai pendiri wilayah Tangerang.

Semasa Kesultanan Banten diperintah oleh Sultan Abul Mufakhir dan Sultan Ageng Tirtayasa, Wangsakara menegaskan perannya dalam perjuangan melawan penjajah (VOC).

Pada 1654, ketika terjadi peperangan di Batavia antara Kesultanan Banten dan VOC, Wangsakara mewakili Kesultanan Banten sebagai juru runding yang membuahkan kesepakatan penghentian perang. Daerah yang dikuasai masing-masing tetap dipertahankan.

Pada 1658-1659, Wangsakara mendapat mandat dari Sultan Ageng Tirtayasa untuk memimpin perang melawan VOC. Perang tersebut berujung pada perjanjian damai tanggal 5 Juli 1659. Pascaperang, Wangsakara mengubah strategi pertahanan dengan membuat permukiman dan kanal sehingga menjangkau daerah Tangerang pedalaman.

Wangsakara wafat pada 15 Agustus 1681 dan dimakamkan di Lengkong, Pagedangan, Tangerang atau Taman Makam Pahlawan Kabupaten Tangerang.

Tombolotutu

Tombolututu (Foto: Tribun Pontianak)

Tombolotutu lahir di Moutong, Sulawesi Tengah, pada 1857. Ia memimpin perjuangan rakyat Moutong yang hak-haknya dirampas oleh kaum penjajah.

Semasa hidupnya, Tombo Lotutu konsisten menentang penjajahan Belanda. la menolak menandatangani “Lang Contract”, sebuah perjanjian yang diajukan Belanda, karena dinilai merugikan masyarakat.

Tombolotutu wafat pada 17 Februari 1901. Ia dimakamkan di Desa Padang Kecamatan Toribulu, Moutong, Sulawesi Tengah.

Sultan Aji Muhammad Idris

Sultan Aji Muhammad Idris (Foto: Beritakaltim.co)

Sultan Aji Muhammad Idris merupakan Sultan ke-14 Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Sultan Aji merupakan sultan pertama yang memiliki nama Islami, paling tidak sejak masuknya penyebaran agama Islam di Kesultanan Kutai Kartanegara abad XVII.

Sultan Aji Muhammad Idris merupakan cucu menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng, Sulawesi Selatan. Saat di Wajo, Muhammad Idris turut bertempur bersama rakyat Bugis melawan Veerenigde Oostindische Compagnie (VOC), Belanda.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

19 − twelve =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.