Peranan Inteligensia dalam Membangun Keindonesiaan

1160
Peranan Inteligensia dalam Membangun Keindonesiaan
Mohammad Hatta dan Rachmi. Hatta memberikan buku Alam Pikiran Yunani yang ditulisnya kepada istrinya Rachmi sebagai mas kawin.

1001indonesia.net – Inteligensia Indonesia membentuk fondasi kebangsaan Indonesia di mana toleransi menjadi tulang punggungnya. Inteligensia memainkan peran penting dalam proses kebangsaan Indonesia, terutama dalam pembentukan tradisi “bertukar pikiran” dan memahami dilema-dilema dalam hidup bermasyarakat.

Peranan inteligensia Indonesia dalam membangun keindonesiaan setidaknya dibahas dalam 2 karya penting. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20 karya Yudi Latif (2003) memberikan gambaran pembentukan lapisan inteligensia di Indonesia.

Meskipun karya tersebut secara khusus dimaksudkan untuk membahas inteligensia muslim, tetapi dibahas pula persoalan inteligensia Indonesia secara umum beserta kelahiran dan liku-liku berbagai jenis gerakannya.

Berikutnya adalah karya penting Menjadi Indonesia tulisan Parakitri T. Simbolon (1995). Di sini dibahas secara pendek mengenai beberapa aspek penting dari peran inteligensia dalam membentuk Indonesia.

Secara umum, peranan inteligensia di Indonesia tidaklah unik karena merupakan gejala umum yang terdapat dalam gerakan-gerakan kebangsaan dan peradaban di dunia sepanjang abad XVIII–XIX. Dunia melihat peran yang amat kuat dari gerakan parlementer di Eropa yang digalang oleh kalangan inteligensia dan akar rumput.

Mohammad Hatta, salah satu pendiri bangsa, mengenyam pendidikan di Belanda dan melihat peran yang konstruktif dari parlemen. Dalam parlemen bukan hanya terjadi proses pengawasan dan perimbangan (checks and balances) pada kekuasaan eksekutif, tetapi juga terjadi proses berdiskusi (parler) atau diskursus (discourse) menyangkut gagasan kebangsaan dan perbaikan taraf hidup masyarakat.

Dalam hal ini, “diskusi” adalah buah pencermatan dan pikiran. Di Indonesia, Mohammad Hatta selalu menekankan proses yang menjadi ciri penting inteligensia ini. Salah satu contoh yang bisa dirujuk tentang betapa Hatta menempatkan inteligensia Indonesia di posisi sangat penting dalam hidupnya adalah ketika dia memberikan buku Alam Pikiran Yunani yang ditulisnya kepada istrinya Rachmi sebagai mas kawin.

Gambaran ini merupakan wujud penting dari Keindonesiaan, bahwa yang menjadi seseorang atau suatu peristiwa di dalam “Indonesia” adalah wujud “bangsawan pikiran”. Penyebutan ini untuk membedakannya dengan “bangsawan usul”, suatu pencirian kebangsaan yang didasarkan pada akar primordial.

Dalam Inteligensia Muslim dan Kuasa (Yudi Latif 2003), hal ini juga dibahas secara mencolok. Penggambarannya sendiri juga didukung oleh generasi kontemporer, semisal Rosihan Anwar, sebagai berikut:

Dr. Abdul Rivai

Dokter Abdul Rivai yang juga wartawan pada awal abad ke-20 memperkenalkan istilah “bangsawan pikiran”. Istilah ini dibedakannya dengan “bangsawan usul”.

Pada edisi perdana (1902) majalah Bintang Hindia, Abdul Rivai menulis, “Tak ada gunanya lagi membicarakan “bangsawan usul”, sebab kehadirannya merupakan takdir. Jika nenek moyang kita keturunan bangsawan, maka kita pun disebut bangsawan, meskipun pengetahuan dan capaian kita bagaikan katak dalam tempurung.

Saat ini, pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan kehormatan seseorang. Situasi inilah yang melahirkan “bangsawan pikiran” …. Para “bangsawan pikiran” telah mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan, memimpin perjuangan menegakkan proklamasi kemerdekaan memperoleh pengakuan internasional atas keberadaan RI dan selanjutnya selalu ada di tengah perkembangan negeri ini (Rosihan Anwar 2007).

Pada saat yang sama inteligensia di negara dunia ketiga dibentuk oleh dilema mereka. Di sini, pikiran-pikiran Soedjatmoko dalam membangun gambaran mengenai interelasi di atas perlu dikutip. Kutipan ini menyorot konteks Indonesia pasca-merdeka, di mana klaim “bangsa yang baru lahir” harus dikonfrontasi dengan persoalan-persoalan kekuasaan, pranata, sosial-ekonomi, dan keterbatasan sebuah kekuasaan pemerintah.

… Satu hal yang berubah dalam konteks pengalaman pasca-kemerdekaan adalah kesadaran kaum cendekia akan kekuasaan, pengaruh, batas-batasnya, serta sifat-sifatnya. Kini di antara kaum cendekia terdapat kesadaran yang lebih besar terhadap kebutuhan akan pemerintah pusat yang kuat, yang mampu mengejar tujuan pembinaan-bangsa (nation building) dan pembangunan ekonomi, di hadapan rintangan-rintangan besar yang ditimbulkan oleh tradisi, kebodohan, dan keterbelakangan.

Terdapat juga kesadaran yang lebih besar akan kebutuhan untuk membangun dan menumbuhkembangkan kekuatan-kekuatan tandingan di dalam masyarakat untuk membatasi penyalahgunaan kekuasaan dan menjamin inisiatif, organisasi maupun partisipasi rakyat secara sukarela. Kaum cendekia di negara berkembang menempatkan dirinya pada kedua sisi pandang di atas….

Kesulitan untuk menggerakkan pembangunan ekonomi, khususnya di negara berkembang, telah membuat kaum cendekia sadar bahwa kekuasaan bukan merupakan komoditas yang netral yang dapat diterapkan pada semua persoalan dan semua pekerjaan… (Soedjatmoko 1994: 5).

Sekarang, peran untuk memahami dan menjawab dilema masyarakat ini dilakukan secara lebih luas oleh bentuk-bentuk inteligensia yang ada. Memahami adanya dilema ini tidak berarti para inteligensia hanya diam dan meratapi situasi, melainkan secara aktif membangun simpul-simpul di tingkat lokal maupun nasional sehingga komunikasi dan tindakan sosial-politik yang perlu bisa terlaksana.

*) Tulisan ini merupakan bagian dari buku Indonesia, Zamrud ToleransiDimuatnya kembali tulisan ini dalam situs 1001 Indonesia sebagai upaya untuk menyebarkan ide-ide yang terdapat dalam buku tersebut pada khalayak yang lebih luas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

nineteen + eleven =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.