1001indonesia.net – Otto Iskandar di Nata dikenal sebagai sosok yang berani dalam memperjuangkan hak-hak petani kecil yang tertindas sehingga ia dijuluki “Si Jalak Harupat” (burung jalak yang berani).
Dialah yang pertama kali memopulerkan pekik “merdeka”. Ia pulalah yang pertama kali mengusulkan agar Indonesia dipimpin oleh pasangan Soekarno-Hatta pada sidang PPKI 18 Agustus 1945.
Otto Iskandar Di Nata lahir di Bandung pada 31 Maret 1987. Ayahnya bernama Raden Nataatmadja yang menjadi lurah di Bojongsoang, Bandung. Ia menyelesaikan studinya di Sekolah Guru Atas (Hogere Kweekschool) di Purworejo.
Sejak duduk di bangku sekolah, ia sudah sering membaca surat kabar de Express asuhan Ernest Douwes Dekker, yang terlarang dibaca siswa-siswa di sana. Gagasan nasionalisme, radikalisme, kemandirian, dan kemanusiaan yang ada dalam tulisan-tulisan Douwes Dekker rupanya memengaruhi sikap politiknya.
Membela Petani Pekalongan
Sejak 1924, ia menjadi guru di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Negeri Pekalongan. Saat tinggal di Pekalongan, Otto Iskandar di Nata aktif di organisasi Budi Utomo. Ia juga menjadi anggota Dewan Kota (Gemeenteraad) Pekalongan.
Saat menjadi Dewan Kota inilah, ia mulai tampil sebagai sosok pejuang kemanusiaan yang kritis. Saat itu, ia membela para petani yang menjadi korban ketidakadilan. Dalam peristiwa yang dikenal dengan “Peristiwa Bendungan Kemuning” ini, terjadi konspirasi antara penguasa dan pengusaha untuk mengambil secara paksa lahan petani.
Demi perluasan lahan Perkebunan Tebu Wonopringgo, tanah para petani diambil paksa. Pemilik perkebunan tebu bekerja sama dengan residen Pekalongan bekerja sama untuk memaksa petani menyerahkan lahannya. Para petani yang menentang diancam. Bila tidak menyerahkan tanahnya mereka dianggap membangkang perintah penguasa.
Kakek dari Nia Dinata ini menyadari betul bahwa tanah merupakan sumber penghidupan bagi para petani. Oleh sebab itu, ia melihat perilaku penguasa dan pengusaha yang secara paksa merebut tanah petani sebagai ketidakadilan. Demi keserakahan segelintir orang, nasib para petani kecil dikorbankan. Ia kemudian menuntut pengusaha perkebunan mengembalikan tanah petani.
Namun, residen Pekalongan yang terlibat dalam pengambilan paksa lahan petani tersebut balik mengancam Otto. Ia akan dibuang ke Boven Digul jika ia terus menuntut pengembalian lahan. Otto tak gentar terhadap ancaman tersebut. Ia bahkan dengan berani membongkar kasus penyiksaan yang dilakukan kepala polisi terhadap petani.
Ternyata, perjuangan Otto membuahkan hasil. Rakyat bisa memperoleh kembali tanah-tanahnya. Residen Pekalongan dicopot dari jabatannya. Namun, aktivitasnya dalam membela hak-hak petani yang membuat pengaruhnya semakin meluas menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial takut, ia bisa saja mengobarkan semangat pembangkangan terhadap penguasa. Oleh sebab itu, Otto dipindahkan ke Batavia pada 1928.
Di Batavia, ia menjadi guru di HIS Muhammadiyah Batavia dan bergabung dengan Pagoeyoeban Pasoendan. Peran publiknya kian penting setelah ia menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad) antara tahun 1930–1941.
Hidup Otto memang berwarna-warni. Selain bergerak dalam bidang pendidikan dan politik, ia bergelut pula dalam bidang olahraga. Ia menggemari olahraga sepak bola, pernah menjadi pemain dan bahkan menjadi wasit. Kecintaannya pada sepakbola mengantarkannya menjadi pengurus Persib Bandung, perserikatan sepak bola yang semula didirikan untuk tujuan perjuangan.
Kalau Indonesia merdeka boleh ditebus dengan jiwa seorang anak Indonesia, saya telah memajukan diri sebagai kandidat yang pertama untuk pengorbanan ini.
Namun, dari semua bidang yang digelutinya, Otto menunjukkan komitmennya yang lebih besar pada upaya perjuangan kemanusiaan melawan ketidakadilan. Baginya, kemerdekaan merupakan sarana mencapai keadilan dan kemanusiaan.
Tidak mengherankan, ketika menulis di koran Tjahaja, ia seperti berikrar pada apa yang hendak diperjuangkannya. “Kalau Indonesia merdeka boleh ditebus dengan jiwa seorang anak Indonesia, saya telah memajukan diri sebagai kandidat yang pertama untuk pengorbanan ini.”
Otto dikenal sebagai orang yang memopulerkan pekik merdeka sebagai salam kemerdekaan. Otto pulalah yang pertama kali mengusulkan agar Indonesia dipimpin oleh pasangan Sukarno dan Mohammad Hatta dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945.
Di Ujung hayatnya, nasib tragis menimpa pejuang kemanusiaan dan keadilan ini. Ia wafat secara mengenaskan. Konon, ia diculik oleh tentara NICA dan dibunuh di Mauk, Tangerang. Sampai sekarang, keberadaan jasadnya tidak diketahui ada di mana.