1001indonesia.net – Museum Negeri Aceh menyimpan beragam koleksi peninggalan sejarah masyarakat Aceh sejak era prasejarah. Museum ini didirikan pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh, Jendral H.N.A. Swart pada 31 Juli 1915.
F.W. Stammeshaus ditunjuk sebagai kepala Museum Negeri Aceh sekaligus kurator hingga tahun 1931. Kala itu, Museum Negeri Aceh masih berupa Rumoh Aceh yang berbentuk rumah panggung dan konstruksinya bisa dibongkar pasang.
Bangunan Rumoh Aceh berasal dari Paviliun Aceh (diorama atau tiruan dari rumah adat Aceh) yang sebelumnya ditempatkan di arena pameran kolonial (De Koloniale Tentoonsteling). Pameran tersebut diselenggarakan di Semarang pada 13 Agustus sampai 15 November 1914.
Dalam pameran tersebut, kebanyakan koleksi di Paviliun Aceh merupakan koleksi pribadi Stammeshaus ditambah berbagai koleksi benda pusaka peninggalan Kesultanan Aceh. Dalam pameran ini, Rumoh Aceh memperoleh anugerah sebagai paviliun terbaik dengan perolehan 4 medali emas, 11 perak, serta 3 perunggu untuk berbagai kategori.
Ketika Indonesia merdeka, museum ini menjadi milik Aceh sepenuhnya. T. Hamzah Bendahara lalu mengusulkan museum ini dipindahkan ke samping pendopo gubernur Aceh yang berada di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah, Banda Aceh.
Selain memiliki sejumlah koleksi benda-benda bersejarah khas Aceh, museum ini juga memiliki koleksi berbagai manuskrip kuno, maket Masjid Raya Baiturrahman dari masa ke masa, kepingan emas masa Kerajaan Aceh, prasasti-prasasti, dan batu nisan raja-raja Aceh. Koleksi-koleksi itu dipajang di ruangan tengah museum.
Baca juga: Masjid Raya Baiturrahman, Bangunan Megah yang Menjadi Ikon Aceh
Selain itu, para pengunjung juga bisa melihat foto-foto dari para pahlawan Aceh serta foto tentang perjuangan masyarakat Aceh mengusir Belanda. Terdapat beragam koleksi senjata yang digunakan para pejuang Aceh di museum ini, seperti pistol kuno, rencong, meriam serta beragam senjata tradisional lainnya.
Museum Negeri Aceh juga menyimpan sebuah benda yang menjadi bukti harmonisasi kebudayaan antara suku Melayu yang diwakili Kerajaan Samudera Pasai dan kemudian Kesultanan Aceh Darussalam dengan negeri Tiongkok yang diwakili oleh Laksamana Cheng Ho. Wujud harmonisasi itu adalah sebuah lonceng yang bernama Cakra Donya.
Lonceng Cakra Donya berbentuk stupa dengan tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Dibuat pada 1409, lonceng ini merupakan hadiah dari Kaisar Yongle kepada Kerajaan Samudera Pasai sebagai bukti persahabatan.
Pada Lonceng Cakra Donya terdapat tulisan berbahasa mandarin serta Arab. Tulisan dalam bahasa mandarin berbunyi: Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo, yang artinya Sultan Sing Fang, telah diselesaikan pada bulan ke-12 tahun kelima. Sementara tulisan Arab sudah kabur dimakan usia.
Pada masa Kesultanan Aceh, di bawah Sultan Iskandar Muda (1607-1636), lonceng tersebut kerap digunakan dalam Kapal Perang Kesultanan Aceh. Kapal yang bernama Cakra Donya itu mampu menampung sekitar 800 prajurit.