Mengenal Mamaos atau Tembang Cianjuran Ciptaan Dalem Pancaniti

5226
Mamaos atau Tembang Cianjuran
Pertunjukan mamaos atau tembang cianjuran. (Foto: Validnews.id) jelajahsenisunda.blogspot.com)

1001indonesia.net – Mamaos atau tembang cianjuran adalah seni vokal Sunda dengan iringan alat musik kacapi indung, kacapi rincik, suling, dan atau rebab. Budaya asli Kota Taoco ini pertama kali diciptakan Bupati Cianjur R. Aria Adipati Kusumahningrat atau yang dikenal dengan sebutan Dalem Pancaniti.

Di wilayah Cianjur, kesenian ini dikenal dengan nama mamaos yang berarti bacaan. Ketika mamaos menyebar ke daerah lain dan lagu-lagu yang menggunakan pola pupuh telah banyak, masyarakat di luar Cianjur (dan beberapa perkumpulan di Cianjur) menyebut mamaos dengan nama tembang Sunda atau tembang cianjuran.

Nama tembang sunda cianjuran mulai digunakan sejak tahun 1930-an. Nama itu kemudian dikukuhkan tahun 1962 ketika diadakan Musyawarah Tembang Sunda sa-Pasundan di Bandung. Pada 1930-an, Radio NIROM Bandung menyiarkan kesenian ini dan menyebutnya dengan nama tembang cianjuran.

Cikal bakal mamaos adalah seni pantun di era Kerajaan Pajajaran. Pada masa itu, seni pantun atau syair tembang ditujukan sebagai doa berdasarkan kepercayaan yang dianut masyarakat Sunda saat itu.

Namun, oleh Dalem Pancaniti, seni pantun itu kemudian dikembangkan menjadi seni mamaos dengan iringan alat musik berupa kecapi indung (kecapi besar) dan kecapi rincik (kecapi kecil) serta sebuah suling.

Berbeda dengan pantun Sunda, syair mamaos ini lebih banyak mengungkapkan puji-pujian akan kebesaran Tuhan dengan segala hasil ciptaan-Nya. Mamaos juga digunakan Dalem Pancaniti untuk menyiarkan agama Islam.

Awalnya kesenian ini hanya dinyanyikan oleh kaum pria. Baru pada perempat pertama abad ke-20, mamaos bisa dipelajari oleh kaum wanita. Hal itu terbukti dengan munculnya para juru mamaos wanita, seperti Rd. Siti Sarah, Rd. Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu O’oh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah.

Bahan mamaos berasal dari berbagai seni suara Sunda, seperti pantun, beluk, degung, serta tembang macapat Jawa yang disebut pupuh. Lagu-lagu mamaos yang diambil dari vokal seni pantun dinamakan lagu pantun atau papantunan, atau disebut pula lagu Pajajaran. Sedangkan lagu-lagu yang berasal dari bahan pupuh disebut tembang.

Baca juga: Mamaca, Menengok Tradisi Sastra Lisan di Madura

Keduanya menunjukan kepada peraturan rumpaka (teks). Sedangkan teknik vokal keduanya menggunakan bahan-bahan olahan vokal Sunda. Namun pada akhirnya kedua teknik pembuatan rumpaka ini ada yang digabungkan. Lagu-lagu papantunan pun banyak yang dibuat dengan aturan pupuh.

Pada masa awal penciptaannya, tembang cianjuran merupakan revitalisasi dari seni Pantun. Kacapi dan teknik memainkannya masih jelas dari seni pantun. Begitu pula lagu-lagunya hampir semuanya dari sajian seni pantun. Rumpaka lagunya pun mengambil dari cerita pantun Mundinglaya Dikusumah.

Pada masa pemerintahan bupati RAA. Prawiradiredja II (1864‒1910) kesenian mamaos mulai menyebar ke daerah lain. Salah satu tokoh yang berjasa menyebarkannya adalah Rd. Etje Madjid Natawiredja (1853‒1928).

Tembang cianjuran berisi tentang nasihat kehidupan, mengajarkan bagaimana harus bertingkah laku dan saling menghormati antara sesama makhluk. Manusia harus bisa belajar menerima segala kekurangan dan perbedaan dari siapa pun yang ditemuinya sehingga hidup bisa saling melengkapi dan menghindarkan dari perpecahan.

Tembang cianjuran juga berupaya mengajak para pendengar untuk menghormati sejarah. Maksudnya adalah para leluhur yang telah menciptakan warisan seni maupun budaya sehingga bisa dipakai hingga saat ini.

Di masa sekarang masyarakat sudah mulai jarang mementaskan kesenian olah vokal Sunda unik tersebut. Para pelakunya pun sangat sedikit dan didominasi oleh generasi tua. Sementara generasi muda Cianjur disebut banyak yang tidak tahu seni mamaos.

Namun, kesenian ini masih dimanfaatkan sebagai alat silaturahmi bagi kalangan budayawan setempat. Saat ini mamaos juga telah bertransformasi menjadi seni hiburan, seperti pada acara hajatan perkawinan, khitanan, dan berbagai acara lainnya. Pada 2015, tembang cianjuran ditetapkan Warisan Budaya Takbenda Indonesia.

Baca juga: Pepaosan, Tradisi Pembacaan Sastra Kuno Suku Sasak di Lombok

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

fourteen − 8 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.