1001indonesia.net – Candi Bubrah terletak di dalam Kawasan Wisata Prambanan, tepatnya di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Diyakini candi ini dibangun semasa dengan Candi Lumbung dan Candi Sewu.
Menurut BPCB Jateng, Candi Bubrah terbuat dari batu andesit dengan denah dasar persegi panjang. Pada saat ditemukan, candi berukuran 12×12 meter itu sudah sangat rusak. Candi hanya tersisa reruntuhan setinggi dua meter. Itu sebabnya masyarakat menyebutnya Candi Bubrah. Dalam bahasa Jawa, bubrah berarti hancur berantakan.
Setelah melalui proses pemugaran selama empat tahun dengan biaya Rp 13,13 miliar, Candi Bubrah kini tidak bubrah lagi. Candi yang semula nyaris rata dengan tanah ini kembali utuh dan tampak sangat cantik.
Didirikan semasa dengan Candi Sewu dan Candi Lumbung, diyakini ketiganya menjadi satu kesatuan mandala bercorak Buddhis. Kompleks tempat pemujaan ini dibangun Rakai Panangkaran yang giat membangun candi-candi beraliran Buddha Mahayana di dataran Prambanan.
Rakai Panangkaran membangun Candi Kalasan sebagai persembahan untuk Dewi Tara. Selain itu, ia membangun Candi Sari dan Candi Sewu. Namun, saat semua bangunan suci itu selesai didirikan, Rakai Panangkaran sudah wafat. Peresmian dilakukan penggantinya, Rakai Panaraban.
Candi Bubrah mula-mula dikenali dari laporan pada abad ke-17 saat FC Lons, seorang utusan VOC, mengunjungi wilayah Keraton Mataram. Sesudah itu, keberadaannya terabaikan hingga 1807 saat HC Cornelius, seorang Belanda, membuat gambar Candi Sewu dan candi-candi sekitarnya, termasuk Candi Bubrah. Karya Cornelius itu dipublikasikan Raffles pada 1817 melalui buku History of Java.
Kemudian terjadi kerusakan besar saat berkecamuknya Perang Jawa (1825-1830). Batu-batu candi dan arca-arca yang jumlahnya sangat banyak, diambil dan digunakan untuk membangun benteng pertahanan.
Pada 1913, Candi Bubrah kembali disebut dalam Rapporten Oudheidkundige Dienst (ROD). Di laporan itu terdapat keterangan bahwa Candi Bubrah dalam keadaan runtuh dan berantakan.
Keadaan candi itu tetap sama hingga tahun 2011 ketika ada upaya rintisan pemilahan batu. Upaya itu mengindikasikan bahwa candi bisa dipugar dan dikembalikan dalam bentuk yang utuh. Perlu waktu dua tahun untuk persiapan pemugaran.
Pemugaran mulai dilakukan pada 2013. Diawali pembongkaran menyeluruh, penelitian arkeologi, pemasangan kembali pondasi dan kaki. Saat pembongkaran ini ditemukan fragmen sandaran arca dari bahan logam. Sandaran arca itu berbentuk nyala api di bagian tepi luarnya.
Pada 2014, dilanjutkan pemugaran tahap kedua. Tahap ini didukung penelitian kekuatan atau daya dukung tanah, guna menentukan struktur penguat apa yang paling tepat supaya landasan candi bisa kokoh dan bertahan dalam jangka lama.
Tahap ketiga dilanjutkan pada 2015 dengan target utama menyusun tubuh bagian bawah. Tahun berikutnya dilanjutkan pemugaran bagian tubuh dan atap. Kesulitan utama di tahap ini adalah pemasangan arca Dhyani Buddha di relung tubuh candi.
Problem diselesaikan dengan cara pemasangan arca bersamaan penyusunan tubuh candi. Tahap terakhir dilakukan 2017 dengan target penyelesaian pemasangan atap, pagar langkan, dan gapura.
Bagian terakhir yang dituntaskan adalah pemasangan stupa puncak dan Yasti kemuncak. Ini menandai tuntasnya pemugaran bangunan peninggalan kerajaan Mataram Hindu ini.
Candi Bubrah merupakan bangunan tunggal menghadap ke timur, sama halnya dengan Kompleks Candi Prambanan yang juga menghadap ke timur. Bangunannya terkesan tinggi ramping dengan atap stupa menjadi simbol Gunung Meru.
Di bagian luar tubuh candi ada relung-relung berisi arca Dhyani Buddha. Relung utara berisi Dhyani Buddha Amogasiddhi menghadap utara. Relung barat Dhyani Buddha Amitabha. Relung selatan berisi arca Dhyani Buddha Ratnasambhawa.
Adapun sisi timur relungnya berisi arca Dhyani Buddha Aksobhya. Perbedaan di antara arca Dhyani Buddha itu ada salah satunya pada posisi duduk dan tangannya.
Candi Bubrah memiliki keunikan yang tidak dimiliki candi-candi Buddha lainnya. Antara lain, motif hiasan taman teratai yang mengisi lapik di bawah padmasana pada Dhyani Buddha.
Berbagai motif juga menghiasi bidang lain, seperti pada kaki, tubuh, atap, dan pagar langkan. Satu motif hias yang khas Candi Bubrah adalah hiasan ceplok bunga yang mengisi pagar langkan sisi luar.
Meski sudah tidak lengkap, masih dapat dirunut gambaran keindahannya pada masa dulu. Motif hiasan ini pula yang kini dijadikan motif batik khas Candi Bubrah, dan diproduksi warga sekitar untuk suvenir.
Hiasan menarik lain juga terlihat di jaladwara, yang berfungsi sebagai saluran pembuangan air (drainase). Jaladwara digambarkan berbentuk makhluk bergigi taring, memiliki belalai, bersurai serta bergelung dalam posisi membuka mulut.
Selain itu, Candi Bubrah ini memiliki simbol yang unik, yang tidak dimiliki candi mana pun, yaitu simbolisasi dua konsep mandala, Vajradhatu Mandala dan Garbhadhatu Mandala. Dalam khazanah Hindu, konsep ini dikenal dengan Lingga dan Yoni, yang melambangkan maskulinitas dan feminimitas. Perlambang kehidupan semesta yang selalu diwarnai dua hal.
Konsep Vajradatu diwakili oleh arca Dhyani Buddha dari empat arah mata angin. Sedangkan Garbhadhatu diwakili oleh altar dan relung untuk Tri Ratna. Sebuah penggambaran teratai dengan 16 kelopak perlambang 16 Boddhisattwa utama.
Penyatuan dua konsep mandala di satu bangunan ini menimbulkan berbagai intrepretasi. Diyakini visualisasi konsep itu merupakan perwujudan Yab Yum, dewa dewi yang dianggap wujud Adi Buddha. Yab Yum berasal dari bahasa Tibet. Yab artinya ayah yang agung, sedangkan Yum berarti ibu yang agung. Dengan kata lain, merekalah orangtua semesta, asal muasal semua kehidupan di dunia.
Sebagai satu kesatuan mandala Buddha, bisa ditafsirkan bahwa tahap ritual keagamaan pada masa kuno diawali di Candi Sewu sebagai perlambang konsep Vajradhatu Mandala.
Sesudah itu, ritual dilanjutkan ke Candi Lumbung yang jadi perlambang konsep Garbhadhatu Mandala. Upacara akan diakhiri di Candi Bubrah yang melambangkan penyatuan dua komponen semesta.