Matrilinealitas Minangkabau dan Budaya Merantau

oleh Siti Muniroh

3079
Rumah Gadang Minangkabau

1001indonesia.net – Bila terdapat suatu suku di mana penerus generasi mereka digariskan klan-nya berdasarkan suku asal sang ibu, maka suku tersebut dapat dikenali sebagai salah satu dari sekian banyak suku di Minangkabau. Minangkabau berada di wilayah Sumatra Barat. Daerah ini terkenal dengan adat matrilinealitasnya; suatu sistem kekerabatan yang digariskan dari keturunan sang ibu.

Seorang ayah tidak dapat memasukkan anak-anaknya ke dalam sukunya. Maka, bila sepasang suami istri tidak memiliki anak perempuan, satu suku bakal terancam punah. Oleh karenanya, menurut sejarawan yang berasal dari Padang, Taufik Abdullah, bila sepasang suami-istri Minangkabau tengah menantikan anak pertama mereka, mereka berharap yang lahir adalah anak perempuan.

Tidak hanya itu, perempuan dalam adat matrilineal ini adalah pemilik segala kekayaan yang keluarganya miliki. Meski begitu, pihak yang sebenarnya berkuasa dalam penentuan keputusan hal keseharian dan lingkungan adalah saudara laki-laki tertua dalam keluarga tersebut yang disebut sebagai mamak. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.

Kekuasaan perempuan Minangkabau terlihat ketika digelar suatu diskusi bersama para lelaki di dalam keluarga besar mereka, biasanya mengenai persoalan kekayaan mereka maupun acara seperti syukuran atau acara-acara adat lainnya. Meskipun para perempuan duduk di belakang para lelaki, mereka ikut berpartisipasti. Pun para lelaki tidak dapat melaksanakan suatu tindakan tanpa konsensus dari pasangan-pasangan (perempuan) mereka. Lebih lagi dalam aktivitas sehari-hari, seperti dalam pembicaraan informal mengenai anggaran belanja rumah tangga, pengaturan tata hidup sehari-hari, dan pendidikan anak, perempuan yang memimpin.

Lalu di manakah peran laki-laki setelah kekuasaan sang mamak? Mereka berperan di wilayah-wilayah publik. Baik di masyarakat maupun di masjid-masjid. Dalam pembagian peran keseharian ini (sebagai suatu penglihatan di permukaan, yang jelas dapat dikenali) antara laki-laki dan perempuan, menurut Danielle Shapiro, yang pernah mengunjungi tanah Minang dan mewawancarai beberapa orang yang berasal dari daerah ini, tidaklah ada kesetaraan.

Namun, Evelyn Blackwood, seorang professor antropolog Universitas Purdue yang mempublikasikan bukunya dengan judul Webs of Power: Women, Kin and Community in a Sumatran Village di tahun 2000, berkata bahwa satu alasan mengapa ia pergi ke sana (Sumatra) adalah untuk mempelajari sistem di mana para lelaki tidak memiliki kekuasaan seperti  para lelaki di Barat.

“Betul bahwa mereka punya kekuasaan publik, mewakili komunitas di hadapan negara mau pun di masjid-masjid, tetapi di dalam klan mereka sendiri, kekuasaan dimiliki oleh lelaki tertua, terutama yang memiliki gelar datuk, namun tidaklah lebih penting dari perempuan tertua. Kepemilikian perempuan atas rumah dan tanah, pengaturan hidup keseharian dan pendidikan anak adalah suatu kekuasaan yang setara laki-laki,” tulis Blackwood.

Puti Reno Raudha Thaib, seorang Professor Agrikultur Universitas Andalas (Padang) yang juga dikenal sebagai bundo kanduang mengatakan, “Hal ini mengisyaratkan bahwa hanya sedikit persaingan di antara laki-laki dan perempuan minang, keduanya adalah seperti satu koin yang mempunyai dua sisi mata uang (satu sama lain sama posisinya. Penulis).”

Merantau

Lantaran laki-laki tidak memiliki kekayaan keluarga, maka konsekuensinya, laki-laki dituntut untuk meninggalkan kampungnya atau yang dikenal dengan budaya merantau.

Dalam kebudayaan Minangkabau, terdapat perbedaan antara merantau dan bermigrasi. Migrasi berarti perpindahan orang atau golongan bangsa secara besar-besaran menuju daerah-daerah baru. Penyebabnya bermacam-macam, bisa karena kepadatan penduduk, bencana alam dan perubahan ilmiah, tekanan ekonomi, politik, ataupun keagamaan.

Sedangkan merantau, berasal kata dari rantau, secara bahasa diartikan sebagai daerah pesisir. Maka merantau berarti pergi ke daerah rantau atau ke daerah pesisir, meninggalkan kampung halaman. Kepergian ini selain untuk mencari kebutuhan materi, juga untuk mencari pasangan (menikah) dari suku lain (yang dikenal sebagai eksogami). Sebab, budaya Minang melarang pernikahan satu suku yang sama. Bila hal yang dilarang ini terjadi, maka pasangan tersebut akan dikenakan hukum adat yang ada seperti dikucilkan dari pergaulan. Adapun adat perkawinan Minangkabau sendiri bersifat matrilokal, yakni suami yang mengunjungi istrinya.

Asal Mula Adat Matrilineal dan Merantau

Asal-usul sistem matrilineal dan merantau sampai saat ini belum dapat dijelaskan dengan bukti empiris dan hanya dapat dijawab oleh cerita-cerita mitos. Ada yang memprediksi bahwa dua kebiasaan ini sudah ada di Sumatra Barat sejak abad ke-16. Ada pula yang mengatakan bahwa adat ini adalah warisan kepercayaan animisme dan Hindu yang telah ada jauh sebelum kedatangan Islam. Bila demikian, hal ini nampak bertentangan dengan tradisi Islam yang mereka anut sejak kedatangan Islam.

Namun, orang-orang Minang mengatakan tidak tentang hal ini. Mereka mengakomodasi dua tradisi ini dengan membuat distingsi, yakni “Warisan besar” (“High inheritance”) dengan “Warisan kecil” (“Low inheritance”). Istilah pertama dimengerti sebagai kepemilikan properti, termasuk di dalamnya rumah dan tanah yang dimiliki oleh para perempuan. Istilah kedua adalah apa yang dimiliki sang bapak dari hasil pencarian nafkahnya (dari merantau) untuk diberikan kepada anak-anaknya.

“Warisan kecil” ini mengikuti hukum Islam, di mana anak laki-laki mendapat dua kali lipat dari perempuan. Saat ini, ketika sudah banyak pengaruh nilai-nilai keseharian dari suku pulau lain, juga dari perantau Minang yang lama tinggal di kota-kota besar, para pengelola kampung halaman mengkhawatirkan bila “Warisan kecil” akan melebihi jumlah dan besarannya daripada “Warisan Besar”

Kondisi Merantau Saat Ini

Pada awal abad ke-20, kegiatan merantau masyarakat Minangkabau masih berbentuk upaya mencari kekayaan untuk kemudian kembali lagi ke tanah halamannya. Namun, kegiatan ini mengalami perubahan sejak makin besarnya pengaruh kolonialisme Belanda dan Jepang yang membuat para laki-laki perantauan belum tentu berniat untuk kembali lagi ke kampungnya. Mereka merantau dengan membawa istri dan anak-anaknya. Orang-orang yang mencari ilmu dan berkuliah telah terpikat dengan daerah rantaunya. Kampung halaman hanya dikunjungi pada saat-saat tertentu saja. Ini dikarenakan, setidaknya secara ekonomi dan pendidikan, tanah kelahiran mereka tersebut kurang menjanjikan.

Kini, pola merantau untuk alasan-alasan ekonomi lebih menjadi alasan utama daripada pola merantau yang dulunya didasarkan kepada tujuan untuk mengembangkan kampung (nagari).

Sumber:

  • http://www.beastudiindonesia.net/budaya-matrilineal-dan-merantau-dalam-suku-minangkabau/
  • http://www.thedailybeast.com/articles/2011/09/04/indonesia-s-minangkabau-the-world-s-largest-matrilineal-society.html

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

fourteen − 1 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.