Koffo, Kain Tenun Khas Sangihe Talaud yang Unik

1869
Kain Koffo
Terbuat dari serat pohon pisang abaka atau hote, kain koffo merupakan salah satu kekayaan wastra Nusantara yang harus dilestarikan. (Foto: cerdikindonesia.pikiran-rakyat.com)

1001indonesia.net – Indonesia dikenal dengan kekayaan wastranya. Salah satunya adalah koffo, kain tenun tradisional khas Sangihe Talaud. Kain yang telah diakui sebagai warisan budaya takbenda Indonesia ini terbuat dari serat pisang abaka, yang oleh masyarakat setempat disebut hote.

Hote merupakan spesies pisang yang tumbuh di wilayah kepulauan yang terletak di bagian utara Provinsi Sulawesi Utara ini. Oleh masyarakat setempat, hote banyak manfaatnya. Salah satunya digunakan sebagai material pembuatan rumah.

Kain koffo memiliki sejarah yang panjang. Sejak 1519, kain ini telah digunakan sebagai ritual adat maupun upacara keagamaan masyarakat Sangihe. Di masa silam, kain ini dikerjakan oleh putra-putri Raja di Sangihe Talaud.

Pada akhir abad ke-19, atas perintah kolonial Belanda pernah memerintahkan masyarakat Sangihe Talaud untuk menghancurkan pisang Abaka, untuk digantikan dengan tanaman kopi, tebu, dan kapas.

Meski demikian, masyarakat setempat tetap menanam pisang hote dan meneruskan kerajinan warisan leluhur ini.

Hingga pada 1924, Kerajaan Tabukan mengirimkan kain koffo untuk ikut dipamerkan di Pekalongan. Di sana, koffo mendapatkan penghargaan Erediploma.

Motif dan warna kain, serta makna yang terkandung di dalamnya

Koffo memiliki motif yang unik, yang diadaptasi dari kekhasan budaya Sangihe. Beberepa jenis ragam hias yang berlaku di Sangihe Talaud, antara lain Sohi, Isin Kemboleng, Kakunsi Tiwatu, Kui, Salikuku, Mallhuge, Papoahiang, Nalang u anging, Nihiabe, Taluke, Lombang, Luwu atau Sasikome, dan Dalombo.

Ragam-ragam hias itu kemudian diadaptasi dan menjadi motif koffo. Di antaranya yang paling populer adalah motif Kakunsi Tiwatu (Anak Kunci Utuh). Motif ini berdasarkan geometri, sosok kunci kakunsi, yang dianggap sebagai kesenian paling primitif dari suku tertua di Indonesia.

Motif Kakunsi Tiwatu juga digunakan sebagai motif rumah masyarakat suku Sangihe zaman dulu. Motif itu mengandung arti kehormatan, kemapanan, kesuksesan, dan jiwa pelindung rakyatnya.

Warna yang digunakan koffo pun mengandung makna tersendiri. Suku Sangihe mengenal beberapa warna yang mencolok, seperti warna kuning, ungu, merah, putih, dan hijau.

Warna kuning melambangkan kesucian dan keagungan. Warna ungu bermakna kesetiaan. Merah melambangkan keberanian. Putih bermakna kesucian. Sedangkan warna hijau melambangkan ketenangan dan kesabaran.

Dibuat dari serat dan pewarna alami

Kain koffo dibuat dari tanaman abaka atau hote serta menggunakan pewarna alami. Hote diolah dengan cara dijemur kemudian dipintal menjadi benang-benang halus lalu ditenun hingga menjadi kain tenun Koffo.

Sementara pewarnanya diambil dari berbagai tumbuhan. Warna kuning diambil dari kunyit. Warna ungu dan cokelat diambil dari mengkudu dan bakau. Sementara warna merah didapat dengan merebus umbi kunyit yang dicampur dengan kapus dan warna hijau dengan merebus daun.

Penggunaan kain koffo

Kain koffo yang sudah jadi digunakan untuk pakaian pria dan wanita atau disebut dengan laku tepu. Laku tepu pria dewasa terdiri atas celana panjang, kemeja (baniang) lengan tanpa kerah, dilengkapi dengan ikat pinggang (papegong) dan penutup kepala (paporong).

Pengikat kepala atau paporong menggunakan bahan dari kain kofo dengan ukuran 1 x 1 meter. Kain itu dibentuk segitiga sama sisi, alasnya dilipat tiga kali dengan Iebar 3-5 centimeter.

Paporong diikat pada bagian kepala menutupi dahi. Ada dua jenis paporong, yaitu paporong kawawantuge (untuk kalangan bangsawan) dan paporong lingkaheng (untuk rakyat biasa).

Adapun popehe atau ikat pinggang digunakan untuk memperindah laku tepu sekaligus mengatur laku tepu apabila kepanjangan. Popehe bermakna untuk membangkitkan semangat dalam melaksanakan tugas maupun untuk menghadapi tantangan.

Sementara untuk pakaian wanita modelnya terusan sampai ke lutut dengan tangan kebaya lengan panjang, dilengkapi dengan pakaian dalam atau kahiwu yang dilingkarkan di bagian perut dan selendang atau bawandang.

Adapun pakaian untuk anak-anak disebut kringking-krongkong. Kingking atau kemeja untuk anak tidak memakai kerah dan lengan, dan dilengkapi ikat pinggang. Sedangkan kongkong atau celana, panjangnya sampai bawah lutut, memakai tali gantung untuk disampirkan di pundak sampai belakang hingga berbentuk silang.

Selain digunakan sebagai bahan pakaian, kain Koffo juga digunakan untuk bahan sarung, selempang, tirai, ikat pinggang, dan sebagainya.

Kain koffo saat ini

Kain koffo memang dipamerkan di Pekalongan dan mendapatkan penghargaan Erediploma. Akan tetapi, sejak tahun 1970, penenunan kain tradisional ini mulai surut dan menghilang.

Surutnya pembuatan kain tenun tradisional khas Sangihe Talaud ini diakibatkan oleh pergeseran selera masyarakat. Ketika itu, kain-kain dari luar wilayah mulai menjamah masyarakat setempat. Itu sebabnya, kain tenun yang pernah menjadi primadona ini mulai luntur pamornya. Kain koffo mengalami ancaman kepunahan.

Ancaman itu kemudian menimbulkan keprihatinan dari berbagai pihak. Salah satu pihak yang peduli untuk merevitalisasi kain koffo adalah Cindy Wowor, pendiri COFO, yang didukung sepenuhnya oleh Pemerintah Kabupaten Sangihe.

Program revitalisasi itu dilakukan melalui pengembangan dan pelestarian dengan menggunakan bahan kapas dan modern lainnya dengan mempertahankan ragam hias asli Koffo serta modifikasi baru yang dikembangkan sebagaimana aslinya pada masa lalu.

Baca juga: Tenun Serat Gamplong, Kerajinan Tenun Tradisional dari Serat Alami

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

fourteen − 10 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.