1001indonesia.net – Kiai Haji Hasjim Asy’ari merupakan salah satu ulama paling terkemuka di Indonesia. Kakek dari Adurrahman Wahid ini merupakan pendiri sekaligus ketua pertama dari organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Ialah pendiri pesantren Tebu Ireng yang para alumninya banyak memainkan peran penting baik dalam bidang agama, sosial, maupun politik di Indonesia.
Kiai Haji Hasjim Asy’ari lahir pada 1871 di Pondok Pesantren Ngedang yang saat ini masuk dalam wilayah Kabupaten Jombang. Pesantren tersebut dipimpin oleh kakeknya dari sisi ibu, Kiai Usman. Suatu kali, ayahnya, seorang santri yang berasal dari Demak, singgah di Ngedang ketika dia “keliling Jawa”. Berkeliling ke berbagai daerah untuk meluaskan ilmu merupakan suatu hal yang biasa dilakukan oleh santri-santri saat itu. K. Usman yang melihat kelebihan pemuda tersebut kemudian menikahkan putrinya, Halimah, kepadanya.
Konon ceritanya, ibu Halimah sendiri adalah keturunan Jaka Tingkir, sosok legendaris yang menjadi sultan di kerajaan Pajang. Kelahiran Hasjim Asy’ari kecil, anak ketiga dari sebelas bersaudara, diiringi dengan tanda-tanda luar biasa. Halimah bermimpi bulan jatuh dari langit dan hinggap di atas dirinya. Hasjim Asy’ari sendiri baru lahir pada bulan keempat belas.
Sebagai anak dan cucu kiai, jalan Hasjim Asy’ari sudah jelas. Setelah ia menamatkan pendidikan dasar di Ngedang, ia berangkat berkeliling untuk memperluas pengalamannya sebagai santri, meski saat itu umurnya belum genap 15 tahun. Ia memperdalam ilmunya dari satu pondok ke pondok yang lain. Sebagai bekal hidupnya, Hasjim Asy’ari berdagang saat waktu luang.
Dalam pengembaraannya, ia mengunjungi Wonokoyo (dekat Probolinggo), Pelangitan, Trenggilis, dan tinggal beberapa waktu di Madura. Ia kemudian singgah di pondok Siwalan Panji, dekat Sidoharjo yang dipimpin oleh Kiai Yakub. Di situ, ia menikah dengan anak Kiai Yakub, Khadijah, pada 1892.
Pada tahun yang sama, mereka pergi ke Mekkah. Akan tetapi, tidak lama sesudah mereka tiba di Tanah Suci, Khadijah meninggal bersama anak mereka yang pertama. Hasjim Asy’ari sangat terpukul oleh peristiwa itu. Ia kemudian memutuskan untuk hidup seorang diri dan melanjutkan pelajarannya selama tujuh tahun.
Hasjim Asy’ari kembali ke Jawa melalui Johor pada 1899. Ia kemudian memutuskan untuk mendirikan pesantren baru. Ia memilih Tebuireng sebagai tempat untuk mendirikan pesantren. Saat itu, daerah yang letaknya sekitar 8 km di selatan Kota Jombang itu dikenal sebagai daerah yang buruk. Diambil dari lokasinya, pesantren baru tersebut dinamakan Pesantren Tebuireng.
Pada awal pendiriannya, Pesantren Tebuireng banyak menerima gangguan dan teror dari para pencuri dan penjudi yang kurang senang melihat kesalehan menetap di depan pintu mereka. Gangguan tersebut berlangsung selama dua setengah tahun. Karena kondisinya semakin membahayakan para santrinya, Kiai Hasjim kemudian minta pertolongan kepada beberapa kiai dari Cirebon yang memiliki keahlian di bidang silat untuk datang mengajarkan seni bela diri kepada santri-santrinya dan kepada dirinya sendiri sehingga pada akhirnya berbagai gangguan tersebut bisa diatasi.
Pada awalnya, pondok pesantren itu sangat kecil, berukuran hanya 6 x 8 meter dan terbuat dari anyaman bambu. Tiga puluhan anak muda hidup bersama dalam sebuah balai yang dibagi menjadi dua bagian. Di sisi yang satu digunakan sebagai ruang sembahyang dan tempat mengajar. Di sisi lainnya, digunakan sebagai ruang tidur merangkap dapur.
Namun, berkat kharisma Sang Kiai yang berpengaruh, sedikit demi sedikit orang berdatangan dari jauh. Para santrinya datang dari Kalimantan, Bima, Sumatra, Madura, Bali, Jakarta, Yogya, Solo, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya, Malang, Madiun, Kediri, dan tempat-tempat lain.
Kiai Hasjim Asy’ari memberi contoh suatu kehidupan yang teratur. Ia hanya tidur tiga jam semalam dan mulai memberi pelajaran pada pukul 6.30 pagi. Akan tetapi, pada hari Selasa dan Jumat, ia meliburkan murid-muridnya supaya dapat menyelesaikan urusannya sendiri dan untuk memeriksa ladang dan sawahnya yang dibelinya dari hasil perniagaannya di Jombok, 10 km lebih ke selatan.
Ia beberapa kali menikah lagi, setiap kali dengan anak kiai. Nafiqah memberinya sepuluh anak, di antaranya Abdul Wahid, yang lahir pada tahun 1914 dan kemudian menjadi K.H. Wahid Hasjim yang tersohor. Mashura memberinya empat anak.
Kira-kira tahun 1925–1926, Pondok Pesantren Tebuireng banyak menjadi bahan pembicaraan karena pembaruan-pembaruan yang diadakannya atas dorongan Kiai Ilyas yang muda, seorang keponakan Nafiqah yang telah diangkat anak oleh Kiai Hasjim Asy’ari dan telah mengikuti pelajaran di sekolah Belanda (HIS) di Surabaya sebelum datang menetap di Tebuireng.
Salah satu pembaruan yang dilakukan adalah pemakaian huruf Latin yang terutama dimaksudkan untuk membuka kepustakaan yang lebih luas. Usaha itu menimbulkan perlawanan sengit dari kalangan tradisionalis. Namun, Kiai Hasjim Asy’ari bertahan dan segera tampil sebagai pemimpin.
Kiai Hasjim Asy’ari ikut mendirikan Nahdlatul Ulama dan segera diangkat sebagai Raisul Akbar atau ketuanya. Perlawanannya terhadap bangsa Belanda menjadi legendaris. Ia konon sempat menolak dengan angkuh suatu jabatan sebagai pegawai yang ditawarkan oleh Belanda untuk mengambil hatinya.
Pada 1942, ia ditahan Jepang yang baru saja menduduki Jombang. Akan tetapi, mereka segera menyadari betapa teguhnya pendirian Sang Kiai. Pada akhirnya, pihak Jepang justru mempercayakan pimpinan Shūmubu kepadanya. Kegiatan politiknya kemudian diteruskan oleh putranya, Wahid Hasjim.
Pesantren Tebuireng sampai sekarang masih menjadi salah satu pesantren terpenting di Indonesia. Banyak siswanya kemudian mendirikan pesantren sendiri, di antaranya Pesantren Lasem di Rembang, Pesantren Lirboyo di Kediri, dan Pesantren Asembagus di Situbondo. Semua pesantren tersebut merupakan pesantren-pesantren terkenal yang diilhami oleh pengajaran Kiai Hasjim Asj’ari. Para siswanya juga banyak yang menjadi ulama. Sebagian besar para pemimpin pesantren dan madrasah pada abad ke-20 merupakan alumni dari pesantren ini.
K.H. Hasjim Asy’ari meninggal di Tebuireng pada tahun 1947 akibat serangan jantung, di tengah-tengah perjuangan kemerdekaan. Ketika itu, utusan-utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo datang untuk minta nasihatnya. Ia dimakamkan di dekat masjid pondoknya. Melalui dekrit presiden, ia diangkat menjadi “pahlawan nasional” pada bulan November 1964.
Sumber:
- Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: 2. Jaringan Asia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1996.
- http://tebuireng.org