Kerajaan Tanah Hitu, Sejarah Kerajaan Islam di Maluku

oleh Siti Muniroh

6527
Taman Nasional Taka Bonerate
Masjid Wapauwe dibangun oleh Perdana Jamilu, salah satu dari Kelompok Empat Perdana yang menjadi cikal bakal Kerajaan Tanah Hitu. (Foto: wisataindonesia.biz)

1001indonesia.net – Dahulu kala, terdapat suatu daerah yang sedari awal terbentuk masyarakatnya telah menjalankan nilai-nilai demokratis. Masyarakat di dalamnya juga beragam. Daerah tersebut bernama Kerajaan Tanah Hitu. Mayoritas penghuninya beragama Islam. Kerajaan ini berada di Pulau Ambon. Sekarang, pulau yang menjadi bagian dari Kepulauan Maluku ini mayoritas penduduknya beragama Protestan.

Kerajaan Islam di Indonesia Timur ini berdiri sebelum kedatangan Belanda ke daerah tersebut, yakni sejak tahun 1470 Masehi (hingga 1682 M). Mula berdirinya berasal dari musyawarah para penghuni yang pada awalnya adalah pendatang-pendatang dari Arab, Persia, Jawa, Melayu, Tiongkok yang berdagang rempah-rempah ke wilayah tersebut. Pendatang lainnya berasal dari Ternate, Jailolo, Obi, Makian, dan Seram.

Para pendatang ini disebut sebagai Empat Kelompok Perdana. Kata perdana berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya pertama. Sementara kelompok dalam bahasa Ambon disebut hitu.

Adapun berita tentang kedatangan mereka ini ditulis dalam berbagai versi, yakni oleh sejarawan pribumi tua seperti, Imam Ridjali, Imam Lamhitu, dan Imam Kulaba, maupun oleh sejarawan Belanda, seperti Holeman, Rumphius, dan Valentijn.

Nilai-nilai demokratis yang telah diterapkan, menurut hemat penulis, adalah ketika para pendatang ini melakukan urun rembuk untuk membangun sebuah kota yang mereka orientasikan menjadi ibu kota wilayah mereka. Ibu kota yang kemudian mereka namakan Negeri Hitu ini lantas menjadi pusat kegiatan Kerajaan Tanah Hitu.

Apabila pembaca hendak menelusuri keberadaannya, dapat melihat suatu bukti sejarah yang sampai sekarang masih ada, yakni adanya fondasi masjid yang bernama Masjid Pangkat Tujuh. Nama ini didasarkan pada struktur fondasinya yang berjumlah tujuh lapis.

Setelah selesai mendirikan kota, mereka mengadakan musyawarah yang disebut tatalo guru (duduk guru). Dua kata ini memiliki arti yakni kedudukan adat atas petunjuk Upuhatala (Allah Ta’ala). Kata ini juga adalah metafor bahasa dari dewa agama Kakehang, yaitu agama pribumi bangsa Seram.

Pertemuan ini dilakukan guna membicarakan soal siapa pemimpin mereka yang perlu diangkat dari kumpulan mereka sendiri.

Pada akhirnya disepakati bahwa pemimpin mereka adalah salah seorang anak muda yang cerdas dari keturunan Empat Perdana, yaitu anak dari Pattituri. Pattituri adalah adik kandung Perdana Pattikawa atau Perdana Tanah Hitu yang bernama Zainal Abidin.

Nama yang disebut terakhir ini berpangkat Abubakar Na Sidiq, seorang raja Kerajaan Tanah Hitu pertama yang bergelar Upu Latu Sitania pada 1470. Latu Sitania dalam bahasa Hitu kuno, terdiri dari dua kata yaitu Latu yang artinya adalah raja dan Sitania adalah pembendaharaan dari kata ile isainyia yang artinya dia sendiri. Jadi Latu Sitania artinya “dia sendiri seorang raja” di Tanah Hitu atau raja penguasa tunggal.

Namun, dalam versi Hikayat Tanah Hitu karya Imam Ridzali, Latu berarti raja dan Sitania (tanya, ite panyia) berarti “tempat mencari kegunaan baik dan buruknya memiliki raja”.

Riwayat Kehadiran Empat Perdana

Kelompok Pertama

Kelompok Empat Perdana yang datang pertama-tama ke tanah Hitu adalah Pattisilang Binaur. Disebut juga sebagai Perdana Totohatu. Mereka berasal dari Gunung Binaya (suatu daerah di Seram Barat). Masuk melalui wilayah yang bernama Nusaku lalu lanjut ke Tanah Hitu. Tahun kedatangan kelompok ini tidak ditemukan bukti tertulisnya. Mereka lantas menetap di daerah Bukit Paunusa dan menamakan daerah tersebut sebagai Soepele dengan marga Tomu Toto.

Kelompok Kedua

Pendatang berikutnya adalah dua orang Kiai, yakni Kiai Daud dan Kiai Turi (disebut juga Pattikawa dan Pattituri) dengan saudara perempuannya bernama Nyai Mas.

Menurut silsilah “Keturunan Raja Hitu Lama”, mereka ini adalah anak dari Muhammad Taha Bin Baina Mala Bin Baina Urati Bin Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah Bin Muhammad An Naqib, yang silsilahnya dapat dirujuk kepada Ali bin Abi Thalib yang beristrikan anak Rasullah, yakni Fatimah.

Sedangkan ibu mereka berasal dari keluarga Raja Mataram Islam yang tinggal di Kerajaan Tuban dan dibesarkan di sana (menurut Imam Lamhitu salah satu pencatat kedatangan Empat perdana Hitu dengan aksara Arab Melayu 1689).

Seorang cendekiawan Tanah Hitu yang bernama Imam Rijali (1646), dalam karyanya yang berjudul Hikayat Tanah Hitu, menyebutkan bahwa mereka adalah orang Jawa yang datang bersama hulubalangnya yang bernama “Tuban Bessi” (artinya orang kuat atau orang perkasa dari Tuban).

Kedatangan mereka ke Tanah Hitu adalah untuk mencari asal leluhurnya, Saidina Zainal Abidin Baina Sairullah yang diperkirakan datang pada abad X masehi. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Hitu, Saidina Zainal Abidin sudah lama tinggal di Mekkah dan melakukan perjalanan rahasia demi mencari tempat tinggal untuk anak cucunya. Makamnya sendiri berada di batu karang yang bernama Hatu Kursi atau Batu Kadera (kira-kira 1 km dari Hitu).

Makam tersebut hingga saat ini telah menjadi makam keramat. Menurut cerita turun-temurun, Saidina Zainal Abidin datang pada suatu malam di tahun 1440 M. Oleh karenanya, keturunan Saidina ini disebut keturunan Hasamete yang dalam bahasa Hitu kuno berarti hitam gelap gulita.

Adapun Kiai Daud yang nantinya memiliki keturunan yang dinamakan Pattikawa, mendirikan negeri bernama Wapaliti dengan nama marganya adalah Pelu. Namun sayangnya, tidak ada bukti tertulis mengenai kedatangan beliau.

Kelompok Ketiga

Pendatang ketiga yakni Jamilu, berasal dari Kerajaan Jailolo. Tiba di tanah Hitu pada 1465 M. Kelompok ini kemudian kemudian mendirikan negeri bernama Laten dengan marga Lating.

Kelompok Keempat

Kelompok yang datang terakhir yakni Kie Patti dari Gorom pada tahun 1468 M. Diperkirakan tiba di Hitu pada waktu sore hari, yakni saat salat Ashar. Kelompok ini kemudian mendirikan negeri bernama Olong dengan nama marganya adalah Olong. Kie Patti sendiri lantas bergelar Perdana Pattituban.

Hubungan dengan kerajaan lain

Kerajaan ini mempunyai hubungan yang erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa seperti Kesultanan Tuban, Kesultanan Banten, Sunan Giri di Jawa Timur, dan Kesultanan Gowa di Makassar.

Begitu juga dengan kerajaan-kerajaan di Maluku sendiri, mereka memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Huamual (Seram Barat), Kerajaan Iha (Saparua), Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo dan Kerajaan Makian. Hal ini dikisahkan oleh Imam Rijali dalam Hikayat Tanah Hitu.

Tujuh Negeri Hitu

Pada perkembangannya, Empat Perdana ini berubah menjadi Tujuh Negeri Hitu dengan datangnya tiga klan yang bergabung yakni Tomu, Hunut, dan Masapal. Ketujuh klan ini lantas terhimpun dalam satu tatanan adat atau satu Uli (Persekutuan) yang disebut Uli Halawan (Persekutuan Emas). Pemimpin mereka disebut Tujuh Panggawa atau Upu Yitu (sebutan kehormatan).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

10 + five =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.