Karia, Tradisi Pingitan untuk Para Gadis Muda Muna

2058
Ritual Karia
Lima gadis muda Muda menjalani ritual Karia. (Foto: Asdar Zuula/iNews)

1001indonesia.net – Masyarakat Muna memiliki cara tersendiri untuk mempersiapkan para gadis memasuki usia dewasa atau masa peralihan sebelum hidup berumah tangga.

Para gadis tersebut akan menjalani ritual Karia atau pingitan sebagai sarana pembersihan diri sekaligus sebagai persiapan memasuki kehidupan bermasyarakat dan rumah tangga.

Muna merupakan salah satu suku di Sulawesi Tenggara, selain Tolaki, Buton, dan Morenene. Dalam pandangan masyarakat Muna, kaum perempuan merupakan tonggak dalam kehidupan rumah tangga. Itu sebabnya, seorang gadis perlu mempersiapkan diri sebelum memasuki jenjang pernikahan.

Salah satu yang harus dilakukan seorang gadis muda saat memasuki usia dewasa dan sebelum memasuki rumah tangga adalah menjalani ritual Karia. Dalam ritual tersebut, si anak perempuan mendapatkan pelatihan untuk memperkuat mental dan fisiknya. Ia juga mendapat pelajaran mengenai beragam pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan yang dibutuhkan seorang wanita untuk menjalani perannya sebagai anggota masyarakat serta istri dan ibu bagi keluarganya.

Dengan menjalani ritual ini, diharapkan kelak ketika hidup di masyarakat dan berumah tangga, ia dapat menjalankan perannya dengan baik. Mampu membawa manfaat bagi kehidupan bersama, dan dapat menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu dengan baik sehingga dapat menciptakan kebahagiaan dan kedamaian bagi keluarganya.

Baca juga: Sorongi’is, Ritual Potong Gigi Wanita di Flores

Apa itu Karia?

Menurut Asliah Zainal (2012), ada beragam pandangan mengenai usul dan makna Karia. Ada yang berpendapat istilah karia berasal dari kata kari yang berarti sikat atau pembersih, dan bisa juga berarti penuh atau sesak.

Pendapat tersebut didasarkan atas fungsi ritual Karia sebagai proses pembersihan anak dari dosa dan kesalahan sebelumnya, terutama terhadap orangtua dan anggota keluarga lain.

Makna pembersihan juga menunjukkan upaya penyucian diri, baik secara fisik maupun mental, bagi seorang gadis sebelum berumah tangga. Bagi masyarakat Muna, proses penyucian lahir dan batin ini menjadi syarat bagi seorang perempuan untuk memasuki jenjang pernikahan.

Suriata dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Nilai-nilai Budaya Karia dan Implikasinya dalam Layanan Bimbingan dan Konseling” (2013) mengungkapkan, merupakan tanggung jawab bagi setiap orangtua di Muna untuk mendidik anak perempuannya tentang kecakapan hidup sebelum memasuki masa dewasa dan kehidupan berumah tangga.

Tanggung jawab orangtua ini tercermin dalam sebuah ujaran, “Kadekiho polambu, ane paeho omandehao kofatawalahae ghabu,” yang berarti jangan engkau menikah sebelum engkau memahami empat penjuru/sisi dapur.

Ungkapan itu memberikan penegasan betapa pentingnya memberikan kepada seorang anak pengetahuan dasar mengenai kecakapan hidup yang dibutuhkannya kelak, baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai seorang istri dan ibu.

Pendapat lain mengungkapkan, Karia bermakna ramai atau keramaian, yaitu perayaan besar-besaran yang diadakan oleh orangtua untuk anak perempuannya sebagai tanda bahwa ia telah mencapai kedewasaan.

Selain sebagai upacara kedewasaan, upacara adat Karia juga berfungsi sebagai sarana sosialisasi orangtua bahwa anak perempuannya telah memasuki status baru sebagai anak gadis (kalambe) yang siap dipersunting sebagai istri.

Ritual Karia menjadi sarana untuk membentuk kematangan pribadi seorang gadis. Dalam ritual ini, gadis ditempa fisik dan mentalnya, serta diberi pendidikan kebersihan, pendidikan kesucian, dan pendidikan akhlak melalui beberapa tahapan dalam ritual tersebut (Ardin dkk., 2017).

Ritual Karia identik dengan pingitan (kaghombo). Anak perempuan menjalani proses pingitan selama empat hari empat malam. Waktu pingitan ini jauh lebih singkat daripada aslinya di masa lampau, yaitu selama 40 hari 40 malam.

Konon, 40 hari 40 malam adalah lama waktu yang dipakai putri Kamomono Kamba (cikal bakal kerajaan Muna) ketika akan menikah. Empat puluh hari empat puluh malam juga merupakan masa tumbuhnya embrio manusia dalam rahim ibunya.

Di masa silam, lamanya waktu itu juga dipilih dengan pertimbangan kebutuhan waktu bagi seorang perempuan untuk belajar segala hal tentang kehidupan berumah tangga.

Dalam perkembagannya, 40 hari 40 malam dipersingkat menjadi 4 hari 4 malam dengan alasan kepraktisan dan keefisienan tanpa mengurangi substansinya. Waktu 4 hari 4 malam merupakan simbol empat unsur kehidupan (air, angin, tanah, dan api).

Selama menjalani masa pingitan, sang gadis akan ditempatkan dalam satu ruang gelap atau minim cahaya sebagai simbol suasana kegelapan dan ketenangan dalam kandungan ibu. Dalam ruangan tertutup itu, ia akan menerima berbagai petuah dan ajaran tentang kehidupan, baik sebagai seorang anak, anggota masyarakat, maupun sebagai calon istri dan ibu.

Setelah menjalani ritual Karia, anak perempuan akan dianggap sebagai kertas putih yang telah mengalami proses pembersihan diri dan memiliki bekal kekuatan dan kebajikan hidup yang cukup. Ini menunjukkan, ritual ini berfungsi sebagai sarana untuk melatih fisik maupun mental para gadis sebagai bekal untuk memasuki kehidupan dan statusnya yang baru.

Baca juga: Tradisi Kerik Gigi Suku Mentawai

Proses pelaksanaan ritual Karia

Pelaksanaan ritual Karia dipimpin oleh seorang pamontoro (pegawai syara), biasanya adalah ibu-ibu usia lanjut yang dianggap memiliki keahlian dalam mantra dan doa serta mengajarkan nilai-nilai filosofis kehidupan berumah tangga dan etika bermasyarakat.

Dikutip dari Asliah Zainal (2012), berikut proses pelaksanaan Karia dewasa ini.

  1. Kafoluku
    Anak perempuan dimasukkan dalam tempat khusus dengan cahaya yang sangat minim. Dalam ruangan ini, anak perempuan dilatih untuk mempersedikit makan-minum dan gerak. Pada tahap ini, mereka berbaring dalam posisi menyamping menindih kanan, dengan kepala menghadap ke barat.
  2. Kabansule
    Pada tahap ini posisi anak perempuan yang dipingit diubah. Jika awalnya posisi kepala di sebelah barat maka berubah menjadi di sebelah timur dengan posisi badan menyamping menindih kiri. Makna simbolis dari posisi ini adalah perpindahan manusia dari alam arwah (rahim ibu) ke alam aj’sam.
  3. Kalempagi
    Ini adalah tahap pembukaan pintu ruang pingitan. Tahap ini menyimbolkan berpindahnya manusia dari alam aj’sam ke alam insani, yaitu bersamaan dengan proses kelahiran bayi dari kandungan ibunya. Dalam proses ini anak perempuan dirias (dibindhu) sebagai simbol keindahan dukun rias. Proses ini menandakan siap ditanggalkannya status anak-anak, berikut sifat kekanak-kanakan, memasuki jenjang kedewasaan.
  4. Kafosampu
    Tahap ini adalah tahap pemindahan anak perempuan dari tempat pingitan ke ruang yang lebih terbuka (biasanya berupa panggung). Pada saat pemindahan tersebut, mereka belum diperkenankan untuk menginjak tanah. Biasanya mereka dipindahkan dengan cara dipanggul (soda). Dalam kondisi ini, anak perempuan tidak boleh melakukan gerakan apa pun sampai melewati tahap berikutnya.
  5. Katandano wite
    Tahap ini adalah tahap penyentuhan tanah oleh pamontoto yang bertugas memimpin ritual. Tanah diambil secara khusus, diletakkan pada piring putih dan diusapkan pada semua peserta ritual mulai dahi ke seluruh wajah dengan membentuk huruf alif sebagai simbol rahasia Tuhan dalam diri manusia. Selanjutnya tanah tersebut diusapkan sampai menyentuh 17 titik pada tubuh manusia sebagai simbol 17 rakaat sholat bagi umat muslim. Katandano wite merupakan simpul pertemuan tanah (Adam) dengan manusia atau perempuan yang dipingit (Hawa) sebagai analog bagi bolehnya para peserta menyentuh/menginjak tanah.
  6. Tari Linda
    Tari Linda disajikan pada puncak upacara ritual Karia. Pertunjukan tarian ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada para penonton yang telah membantu kelancaran acara, rasa syukur kepada para peserta Karia yang telah melewati tahapan ritual yang begitu rumit, dan sebagai simbol pembersihan diri bagi gadis-gadis Karia.
  7. Kahapui
    Tahap ini adalah perayaan lebih lanjut dari tari Linda. Dalam tahap ini disajikan tari Mangaro (semacam tarian perang dalam masyarakat Muna) dengan pohon pisang sebagai sentral tarian. Masing-masing penari yang terdiri atas para pemuda berusaha menjaga, menebas, dan melukai batang pisang tersebut dengan senjata di tangan.
  8. Kafolantono bhansa
    Ini adalah tahap akhir dari ritual Karia. Anak perempuan yang telah di-karia dituntun pamontoto menuju sungai mengalir bersama-sama dengan keluarga dan masyarakat lain untuk menghanyutkan pinang. Pinang yang selama dalam pingitan digunakan untuk memukul badan gadis yang dipingit diberi mantra oleh pamontoto kemudian dihanyutkan dalam sungai. Masyarakat suku Muna percaya, jika pinang tersebut cepat timbul kembali ke permukaan air dan menepi maka anak gadis tersebut akan cepat mendapatkan jodoh. Sebaliknya, jika pinang itu tidak terapung maka pertanda bahwa jodoh bagi si gadis tersebut akan lama dan umurnya tidak akan panjang. Sekarang tahap ini sudah mulai ditinggalkan sebab menimbulkan keresahan bagi peserta dan keluarganya.

Sarana ritual yang butuhkan

Sarana yang digunakan dalam ritual Karia antara lain mayang pinang (bhansa), oensuli (air yang diambil dari kali/sungai yang berarus balik), kain dan sarung putih, bantal besi/kayu, serta saluntaru (wadah lampu lilin). Masing-masing sarana tersebut mengandung makna tersendiri.

Buah pinang melambangkan penghormatan, penghargaan, dan persahabatan. Seperti beberapa daerah lain di Indonesia, buah pinang menjadi sarana yang penting dalam upacara adat masyarakat suku Muna, termasuk dalam ritual karia.

Dalam ritual Karia, mayang pinang menjadi simbol gadis remaja yang baru mekar, memasuki masa kedewasaan, serta siap memanggul tanggung jawabnya sesuai perannya, baik dalam keluarga maupun masyarakat.

Baca juga: Sirih Pinang, Sejarah dan Maknanya dalam Budaya Nusantara

Kain dan sarung putih menyimbolkan kesucian, dengan harapan agar gadis yang di-karia agar selalu menjalani kehidupan dalam keadaan suci.

Bantal besi sebagai alas tidur dimaksudkan sebagai simbol iman yang kuat sekeras besi dalam menghadapi cobaan hidup. Bantal besi merupakan sarana latihan keprihatinan dalam mengarungi kehidupan.

Demikian pula dengan makan minum yang sedikit dan serba dibatasi adalah upaya melatih anak perempuan agar senatiasa tabah menghadapi kondisi ksulitan hidup kelak. Latihan ini dilanjutkan dengan wejangan yang diberikan oleh pamontoto tentang tugas dan kewajiban sebagai istri, ibu, dan anggota masyarakat.

Saluntaru (wadah lilin) merupakan perlambang cahaya atau nur Ilahi yang akan menjadi penuntun atau penerang jalan anak gadis yang di-karia, mulai dari awal kelahirannya sampai meninggal nantinya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

17 − 1 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.