Joglo, Rumah Tradisional Jawa dan Filosofinya

5018
Rumah Adat Jawa Joglo
Rumah adat Jawa yang disebut Omah Joglo. Foto diambil dari sebuah kompleks rumah makan khas Jawa di bilangan Jakarta Selatan.

1001indonesia.net – Bagi orang Jawa, rumah tidak sekadar tempat tinggal. Rumah juga menjadi simbol harkat, martabat, dan juga kesempurnaan sebagai manusia. Rumah sebagai tempat kembali juga mengingatkan manusia bahwa nanti pada saatnya ia akan pulang ke asalnya pada Gusti Yang Maha Memiliki.

Sebab itu, bangunan rumah tidak hanya memenuhi fungsi materialnya saja. Rumah juga menjadi perwujudan spritualitas manusia yang tinggal di dalamnya. Dari persiapan, proses pembangunannya, hingga saat akan menempati, semua di-petung dengan saksama dan diupacarai sehingga orang yang menempati rumah tersebut dapat hidup dengan damai dan selaras.

Atap

Salah satu bagian terpenting dalam arsitektur rumah tradisional Jawa adalah atapnya. Atap rumah tradisional Jawa mengambil bentuk gunung yang diberi nama dengan atap tajug. Bagi masyarakat Jawa tradisional, gunung merupakan tempat yang suci dan sakral, tempat bersemayamnya para Dewa.

Atap tajug kemudian mengalami perkembangan menjadi atap joglolimasan, dan kampung. Dari ketiga jenis atap itu, yang paling sederhana adalah atap rumah kampung. Kemudian atap rumah limasan yang merupakan rumah keluarga Jawa yang berkedudukan lebih tinggi memiliki struktur atap yang lebih rumit daripada rumah kampung. Ketiga dan yang paling rumit adalah atap rumah joglo. Jenis atap ini biasanya digunakan oleh kalangan bangsawan atau orang yang berpunya saja karena biaya pembuatannya sangat mahal.

Sementara atap tajuk tidak digunakan sebagai atap tempat tinggal. Atap tajuk digunakan untuk bangunan-bangunan sakral saja, seperti tempat ibadah.

Arsitektur

Menurut Asti Musman dalam bukunya Filosofi Rumah Jawa (Pustaka Jawi, 2017), bagian tengah atap joglo memiliki kemiringan yang curam. Atap utama ini didukung oleh empat tiang utama dengan konstruksi balok berlapis-lapis (tumpang sari). Rumah joglo dapat diperluas dengan menambah tiang-tiang dan meneruskan atap ke arah luar sehingga membentuk atap yang bertingkat-tingkat.

Lebih lanjut ia menjelaskan, rumah joglo disebut juga rumah tikelan (tikel: patah) karena atap rumah itu seolah-olah patah menjadi tiga bagian. Bagian yang teratas itulah yang disebut sebagai joglo atau brunjung. Bagian ini ditopang oleh 4 batang tiang lainnya yang disebut saka guru.

Empat tiang utama atau saka guru merupakan tiang rumah yang terpanjang dan terbesar, berdiri di atas landasan (ompak) yang terbuat dari batu. Selain 4 tiang utama, ada 12 saka penanggap, dan 20 saka rawa. Total semuanya ada 36 tiang.

Pada dasarnya, rumah joglo berdenah bujur sangkar dengan 4 pokok tiang di tengah dan blandar bersusun (tumpangsari). Bagian utama ini, kemudian diberi tambahan-tambahan pada bagian-bagian samping. Dengan demikian, tiang ditambah sesuai keinginan.

Bagian-bagian dari rumah joglo yang memiliki struktur lengkap meliputi pendapa, peringgitan, dan dalem.

Pendapa

Pendapa merupakan bagian terdepan rumah, tempat menerima tamu dan mengadakan upacara-upacara adat. Pada umumnya, pendapa selalu terbuka yang menyimbolkan sifat keterbukaan tuan rumah. Kalaupun memakai penutup, maka yang digunakan adalah dinding kayu (gebyok) yang mudah dibuka.

Pendapa rumah tradisional Jawa selalu berada di depan. Segala pemecahan persoalan sosial diselesaikan di sini sehingga menjadi simbol asas keteraturan, keseimbangan, dan keselarasan. Pendapa juga menjadi tempat pertemuan antara priayi dan para abdi dalem-nya sehingga menjadi lambang perlindungan antara penguasa terhadap orang-orang di bawahnya.

Biasanya, pendapa tidak di beri meja ataupun kursi. Para tamu yang datang duduk di atas tikar bersama tuan rumah sehingga yang terbangun adalah kesetaraan di antara kedua belah pihak. Ini membuat pembicaraan terasa akrab dan menggambarkan lancarnya komunikasi antara tuan rumah dan tamunya.

Peringgitan

Peringgitan pada zaman dahulu biasanya digunakan sebagai tempat pertunjukan wayang kulit (ringgit). Pertunjukan wayang kulit menjadi sarana dalam upacara ruwatan sukerta untuk membersihkan sekaligus mencegah diri dari malapetaka.

Lokasinya terletak di antara pendapa dan dalem, menjadi penghubung antara keduanya. Ruangan ini biasanya juga digunakan sebagai ruang tamu. Peringgitan dengan pendapa biasanya dibatasi dengan seketsel, dan dengan dalem dibatasi dengan gebyok.

Dalem

Dalem merupakan bagian utama sebuah kompleks joglo. Bagian ini merupakan ruang pribadi keluarga si empunya rumah. Di sinilah seluruh aktivitas kegiatan rumah tangga berpusat.

Di bagian belakang dalem terdapat 3 bilik, yakni senthong tengah, senthong kiwo, dan senthong tengenSenthong kiwa (kiwa: kiri) digunakan untuk menyimpan hasil-hasil pertanian, seperti padi, kelapa, tembakau, kopi, dan sebagainya. Ruang ini memang lebih dekat dengan ruang gandok (ruang makan) dan pawon (dapur), sehingga secara fungsional memudahkan aktivitas mengambil dan menyimpan bahan pertanian untuk diolah menjadi makanan.

Ruang senthong tengen (tengen: kanan) relatif lebih bervariasi fungsinya. Bagi masyarakat yang mempunyai kedudukan, seperti pegawai negeri dan priayi, senthong tengen digunakan untuk menyimpan benda-benda keperluan acara resmi (seperti pakaian adat, pakaian kebesaran, dan perhiasan), benda-benda sarana upacara (seperti dupa, kemenyan, dan wangi-wangian), atau benda-benda pusaka (seperti keris, tombak, dan batu bertuah). Bagi masyarakat petani yang pada umumnya tidak mempunyai benda-benda semacam itu, ruang senthong tengen digunakan untuk ruang tidur orangtua.

Bagi sebagian masyarakat Jawa lain, senthong tengen dan senthong kiwa difungsikan sebagai kamar tidur. Senthong tengen digunakan sebagai kamar tidur anak laki-laki, sedangkan senthong kiwa sebagai tempat tidur anak perempuan.

Sementara senthong tengah yang disebut juga krobongan merupakan ruang sakral yang digunakan sebagai tempat pemujaan. Ruangan menggambarkan budaya pemujaan terhadap padi yang dimiliki masyarakat agraris di Pulau Jawa. Tempat ini menjadi penghormatan terhadap Dewi Sri sebagai dewi kesuburan dan pelindung padi. Untuk menghormati Dewi Sri dan para leluhur, seminggu sekali dibakar kemenyan di ruang ini.

Struktur bangunan utama ini ditambah gandhok, gadri, dan pakiwon yang mengitari sisi kanan, kiri, dan bagian belakang. Rumah joglo dengan struktur yang lengkap ini dipastikan membutuhkan lahan yang luas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

five × four =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.