Ruwatan Sukerta, Ritus Orang Jawa dalam Mengupayakan Keselamatan

6460
Ruwatan Sukerta
Pagelaran wayang dengan lakon Murwakala menjadi bagian utama upacara ruwatan sukerta. (Foto: world-of-wayang-purwa.blogspot.co.id)

1001indonesia.net – Ruwatan sukerta adalah tradisi ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa untuk membersihkan sekaligus mencegah diri dari malapetaka. Ruwatan dilaksanakan dengan menanggap dalang khusus yang berpengalaman dan menguasai ritual ruwatan.

Oleh karena itu, dibutuhkan dalang yang mumpuni untuk melaksanakan ruwatan ini. Hanya sedikit saja dalang yang masuk dalam kategori ini. Salah satu dalang yang berpengalaman melaksanakan ritual ruwatan adalah alm. Ki Timbul Hadi Prayitno.

Istilah ruwatan berarti luwar saka panandhang, luwar saka wewujudan kang salah (terbebas dari penderitaan, terbebas dari wujud yang salah). Yang dimaksudkan dengan wujud yang salah adalah orang-orang yang salah kelahirannya.

Orang-orang ini di antaranya adalah anak tunggal (ontang-anting), dua bersaudara lelaki-perempuan (kendhana-kendhini), anak kembar, lima bersaudara lelaki semua atau perempuan semua (pandhawa), anak lelaki diapit perempuan atau anak perempuan diapit lelaki, dan lain sebagainya.

Orang Jawa percaya bahwa orang-orang dalam kategori ini akan tidak selamat atau menjadi “santapan” Batara kala. Orang-orang ini disebut sebagai wong sukerta. Untuk menghilangkan pengaruh buruk tersebut tersebut diadakanlah ruwatan sukerta.

Selain untuk meruwat orang yang salah kelahirannya, ruwatan sukerta juga digunakan sebagai sarana penyucian diri dan penyelamatan dari kesalahan yang dilakukan seseorang dalam hidupnya.

Upacara ruwatan dilaksanakan dengan menggelar cerita wayang kulit purwa dengan lakon Murwakala yang menceritakan kelahiran Bathara Kala yang salah kedaden (menyalahi aturan). Lakon Murwakala ini dianggap lakon yang bersifat sakral dan hanya dipentaskan saat upacara ruwatan. Lakon ini secara simbolis menggambarkan upaya manusia untuk melepaskan diri dari kesulitan besar yang dihadapinya.

Ringkasnya, lakon ini menceritakan Batara Guru yang tak dapat menahan berahinya terhadap Batari Uma, istrinya, ketika sedang berkeliling dunia. Karena waktunya tidak tepat maka Batari Uma menolak hasrat suaminya. Akibatnya, kama (mani) Batara Guru keluar dan jatuh ke samudra.

“Kama salah” Batara Guru yang jatuh lalu berubah menjadi raksasa yang dinamakan Batara Kala. Kelahiran Batara Kala menggoncangkan kahyangan. Batara Kala lalu pergi ke kahyangan untuk bertemu Batara Guru dan menanyakan siapa ayahnya.

Batara Guru memberi tahu bahwa dialah ayahnya dan menempatkannya di Nusakambangan untuk merajai para makhluk halus. Batara Kala menyanggupi asal diberikan jatah makanan. Oleh ayahnya, Batara Kala diberikan jatah makanan, yaitu manusia yang tergolong sukerta.

Sepeninggal Batara Kala, Batara Narada menegur Batara Guru. Janji Batara Guru untuk memberikan jatah makan kepada Batara Kala dalam bentuk orang sukerta akan membuat kacau dunia. Batara Guru sadar akan kesalahannya. Sebagai gantinya, ia mengubah diri menjadi Dalang Kandhabuwana dan menggagalkan rencana Batara Kala untuk memangsa manusia.

Lakon inilah yang digunakan dalang ruwat sebagai pemimpin upacara untuk meruwat. Mantram yang dibacakan Sang Dalang saat dirinya memerankan Dalang Kanhabuwana dipercaya mampu mengusir kutukan Batara Kala yang dimiliki oleh orang sukerta.

Terlepas dari percaya tidaknya kita akan manfaat ritus ruwatan, ada pelajaran yang bisa dipetik. Lakon Murwakala berkisah bagaimana akibatnya jika seorang anak lahir dari proses yang salah. Batara Guru memaksa istrinya untuk melayaninya. Nafsu berahi yang tak terkendali inilah yang mewujud sebagai Batara Kala.

Hal ini memberi pesan bahwa hubungan intim suami-istri adalah peristiwa yang sakral yang harus berlandaskan pada cinta di kedua belah pihak. Hubungan yang hanya dilandaskan pada nafsu badaniah semata akan menghasilkan anak yang wataknya kurang baik.

Ritus ruwatan juga mengajarkan manusia untuk selalu mawas diri. Kesalahan yang kita buat, baik yang disadari maupun yang tidak, akan berakibat buruk pada kehidupan kita di kemudian hari. Mawas diri membawa kita pada kehati-hatian dalam bertindak. Sebaliknya, sikap grusa-grusu (bertindak tanpa pikir panjang) akan membuat kita celaka/tidak selamat.

Acara ruwatan yang sudah ada sejak zaman Majapahit, seperti yang tergambar pada relief candi Sukuh di Jawa Tengah dan candi Tegowangi di Jawa Timur, sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa. Menurut Sri Teddy Rusdy dalam bukunya Ruwatan Sukerta dan Ki Timbul Hadiprayitno, bertahannya upacara ruwatan  menjadi gambaran bagaimana sebagian orang Jawa masih menghidupi tradisinya. (cs)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

fifteen − 11 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.