Implementasi Budaya Gotong Royong pada Pembentukan Negara Indonesia

1415
Implementasi Budaya Gotong Royong pada Pembentukan Negara Indonesia
Semangat gotong royong sangat terasa pada awal berdirinya negara Indonesia. Kemerdekaan yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 merupakan upaya bersama seluruh elemen bangsa yang mengedepankan kepentingan bersama ketimbang kelompok, golongan, ataupun individual.

1001indonesia.net – Dari waktu ke waktu, gotong royong telah menjadi kebiasaan atau budaya yang terinternalisasi dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Budaya gotong royong menempati posisi penting karena dianggap mampu menciptakan harmoni dan memperkuat jalinan persaudaraan antarwarga.

Mari kita tengok sejenak sejarah kelahiran bangsa Indonesia di mana budaya gotong
royong berperan sebagai pengikat setiap elemen bangsa. Menengok berbagai catatan sejarah perjalanan bangsa, kemerdekaan Republik Indonesia yang diraih rakyat merupakan buah dari kerja sama apik seluruh komponen bangsa, bukan kepentingan golongan apalagi
perseorangan.

Dengan kata lain, kemerdekaan yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 merupakan upaya bersama seluruh elemen bangsa yang mengedepankan kepentingan bersama ketimbang kelompok, golongan atau individual. Upaya bersama itu kemudian kita sebut sebagai gotong royong yang merupakan wujud nyata dari nasionalisme dan patriotisme yang dimiliki segenap warga bangsa dalam perjuangan mereka.

Sebelum era Kebangkitan Nasional, perjuangan melawan penjajah masih tersekat pada suku dan golongan masing-masing, belum terpusat dikarenakan belum ada ideologi pemersatu. Dengan perkataan lain, perjuangan kala itu masih bersifat kedaerahan,
bergantung kepada pemimpin, belum terorganisasi dengan tujuan perjuangan yang jelas.

Selanjutnya, ketika era Kebangkitan Nasional tiba, perlawanan terhadap musuh mulai dilakukan secara terorganisasi. Pendirian organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908 merupakan titik mula munculnya pergerakan nasional di Indonesia serta lahirnya kesadaran bersama untuk memperjuangkan nasib dan masa depan bangsa.

Sejak itu, budaya gotong royong menjadi napas dari setiap langkah dan upaya setiap warga bangsa demi mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih baik.

Dalam momen-momen penting perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sebagaimana ditulis Yudi Latif dalam karyanya Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (2014), jiwa
gotong royong telah menjelma sebagai ruh dari setiap rangkaian rencana dan tindakan para pendiri bangsa. Proses penyusunan Teks Proklamasi, misalnya, ditulis langsung oleh Bung Karno, namun didiktekan oleh Bung Hatta untuk selanjutnya diketik oleh Sayuti
Melik, wartawan asal Yogyakarta (Latif 2014: 304).

Semangat gotong royong pun tampak dalam upaya para pemuda menyiarkan secara langsung pembacaan Teks Proklamasi melalui pemancar luar negeri di Studio Djakarta
Hosyo Kioko. Meski tidak berhasil, para pemuda tak patah semangat.

Adam Malik lantas berangkat ke Kantor Berita Domei untuk mencari kemungkinan
pembacaan Teks Proklamasi dapat disiarkan secara langsung. Hasilnya, Kemerdekaan Indonesia menjadi berita resmi Kantor Berita Domei ke semua cabang di Indonesia dan luar negeri.

Tak ketinggalan, para seniman Jakarta yang bermarkas di Pasar Senen membuat poster dan tulisan-tulisan (mural) di berbagai tempat, termasuk dinding kota dan kereta api, untuk menyebarkan berita Proklamasi.

Tidak berhenti di situ, para aktivis pemuda masa itu yang kerap berkumpul di Jalan Menteng 31 bergotong royong menyebarkan berita gembira berupa stensilan Teks Proklamasi itu ke pelosok negeri hingga dunia.

Di antara para aktivis itu, misalnya, ada anggota Barisan Pemuda Gerindo, M. Zaelani, yang siap dikirim ke Sumatra dan juga Masri yang berangkat ke Kalimantan, serta sejumlah pemuda lain yang dikirim ke Sulawesi dan Jawa. Misi membawa berita gembira itu tentu saja harus melalui perjalanan yang kurang nyaman.

Namun, semangat gotong royong yang telah merasuki jiwa mereka telah mengalahkan semuanya. Para tokoh bangsa lintas etnis dan iman, dari kalangan sipil dan militer, pun ikut terus memupuk semangat gotong royong sebagaimana ditunjukkan selama era revolusi kemerdekaan di Yogyakarta.

Semangat kebersamaan dengan mengesampingkan perbedaan agama, ras, suku, bahasa menjadikan Yogyakarta sebagai miniatur Indonesia di tanah Jawa. Para tokoh agama dengan latar pandangan berbeda seperti Ki Bagoes Hadikoesoemo (Muhammadiyah), K.H. Wahid Hasjim (Nahdlatul Ulama), Mohammad Natsir (Persatuan Islam), Sayyid Shah Muhammad Al-Jaeni (Ahmadiyah), I.J. Kasimo (Katolik) begitu apik membangun pergaulan dan komunikasi untuk Indonesia yang lebih besar (Latif 2014: 305–307).

Perbedaan pandangan dan keyakinan agama serta pendapat politik tidak membuat mereka
saling menjatuhkan, apalagi saling melenyapkan. Perbedaan telah menjadikan mereka lebih kaya dan membuat keyakinan mereka menjadi semakin kuat. Perbedaan tidak menjadi alasan bagi mereka untuk saling mencaci, saling membenci, tidak menghormati dan tidak bergaul sebagai sesama ciptaan Tuhan.

Tengok saja pengakuan Mohammad Natsir selama tinggal di Yogyakarta ketika era revolusi kemerdekaan. Polemik dan perbedaannya dengan Sukarno menyangkut Dasar Negara telah diketahui publik luas. Namun, perbedaan pandangan yang sangat tajam antara tahun 1930-an itu dia lupakan ketika panggilan revolusi harus diutamakan. Bahkan Natsir mengakui, dia adalah salah satu menteri yang memiliki hubungan paling dekat dengan Sukarno selama di Yogyakarta (Latif 2014: 310).

Baca Juga: Gedung Agung, Istana Kepresidenan Yogyakarta

Selain itu, sistem pertahanan dan bela negara juga didasarkan pada semangat gotong royong segenap komponen bangsa melalui kemanunggalan antara rakyat dan tentara, yang dikenal dengan Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata).
Dengan peralatan terbatas dan pasukan yang kurang terlatih dan teratur, sistem ini dilahirkan untuk menghadang serangan musuh.

Sejarah menunjukkan, berkat semangat gotong royong mengembangkan Sishankamrata, Belanda yang bermodalkan senjata canggih dan tentara yang terlatih dibuat kocar-kacir
sehingga memaksa pemerintah Belanda untuk kembali ke meja perundingan. Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), pemerintah Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.

*) Tulisan ini merupakan bagian dari buku Indonesia, Zamrud ToleransiDimuatnya kembali tulisan ini dalam situs 1001 Indonesia sebagai upaya untuk menyebarkan ide-ide yang terdapat dalam buku tersebut pada khalayak yang lebih luas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

16 − 7 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.