1001indonesia.net – Peristiwa meletusnya Gunung Tambora pada 11 April 1815 memang tidak begitu dikenal dibandingkan peristiwa meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883.
Namun, kekuatan letusan dan dampak yang diakibatkan letusan gunung yang berada di Sumbawa ini jauh lebih dahsyat dibandingkan letusan Gunung Krakatau. Tercatat, letusan Gunung Tambora 4 kali lebih kuat daripada letusan gunung Krakatau.
Menurut laporan yang dibuat oleh Thomas Stanford Raffles yang saat itu menjabat sebagai letnan-gubernur-jenderal pemerintah pendudukan Inggris, tanda-tanda akan terjadinya letusan gunung tersebut sudah mulai dirasakan masyarakat pulau Jawa sejak 5 April. Kala itu mulai terdengar ledakan dari Pulau Jawa bagian timur.
Letusan pertama terdengar di pulau ini pada sore hari tanggal 5 April, mereka menyadarinya setiap seperempat jam, dan terus berlanjut dengan jarak waktu sampai hari selanjutnya. Suaranya, pada contoh pertama, hampir dianggap suara meriam; sangat banyak sehingga sebuah detasemen tentara bergerak dari Yogyakarta, dengan perkiraan bahwa pos terdekat diserang, dan sepanjang pesisir, perahu-perahu dikirimkan pada dua kesempatan dalam pencarian sebuah kapal yang semestinya berada dalam keadaan darurat.
Awalnya, ledakan tersebut disangka sebagai suara meriam yang ditembakkan. Sebuah pasukan dikirim ke Yogya oleh pemerintah pendudukan Inggris karena disangka sebuah pos militer di daerah itu sedang diserang.
Mulai tanggal 6 April keadaan menjadi lebih gelap karena hujan debu. Pada 10 April, ledakan menjadi semakin keras yang terdengar sampai daerah Cirebon. Dilaporkan terjadi gempa bumi yang menakutkan di Solo dan Rembang yang terus berlangsung hingga esok harinya.
Siang hari tanggal 11 April keadaan gelap gulita. Gunung Tambora meletus. Suara letusannya yang begitu dahsyat terdengar hingga pulau Sumatra yang berjarak 2000 km lebih.
Dampak letusan Gunung Tambora yang berlangsung hingga 15 Juli 1815 ini begitu dahsyat. Diperkirakan 11.000 orang meninggal akibat erupsi langsung, dan 49.000 orang meninggal baik karena epidemi maupun karena kelaparan akibat hangusnya daerah sekitar tempat tinggal mereka akibat lava maupun hujan abu panas. Sekitar 36.275 orang meninggalkan Pulau Sumbawa.
Letusan gunung tersebut bahkan meluluhlantakkan dua kerajaan, yakni Pekat di bawah pemerintahan Raja Muhammad dan Tambora di bawah Raja Abdul Gafar. Selama tiga tahun, kapal bebas berlayar di daerah bekas kerajaan Tambora karena daerah itu tidak dikuasai oleh siapa pun.
Akibat letusan dari gunung yang secara administratif berada di Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima ini juga dirasakan oleh daerah lain. Hujan abu vulkanik terjadi di Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Maluku. Di Bugis-Makassar, hujan abu yang berlangsung sehari semalam ini membuat tanah yang tadinya kurang subur menjadi subur sehingga produksi padi daerah tersebut meningkat drastis.
Letusan yang mengakibatkan goncangan luar biasa ini juga mengganggu keteraturan iklim global waktu itu. Benua Eropa dan Amerika mengalami perubahan cuaca yang drastis. Masa satu tahun setelah letusan sering disebut sebagai Tahun tanpa musim panas. Akibat perubahan iklim ini, belahan bumi utara banyak yang mengalami gagal panen dan kematian ternak sehingga terjadi persoalan kelaparan yang terburuk pada abad ke-19.
Pascaletusan yang tercatat sebagai letusan terbesar dalam sejarah modern ini terbentuklah kaldera kering di Gunung Tambora. Ketinggian gunung yang pernah menjadi salah satu gunung tertinggi di Nusantara ini berkurang, dari 4300 m dpl menjadi 2850 m dpl.
Baca Juga: Fenomena Letusan Gunung Toba