1001indonesia.net – Tercatat ada enam istana kepresidenan yang dimiliki Indonesia. Gedung Agung merupakan satu di antara istana-istana tersebut. Perannya sangat penting dalam perjuangan bangsa mempertahankan kedaulatan RI saat kemerdekaan baru saja diraih. Bangunan ini menjadi istana presiden kala Indonesia beribu kota di Yogyakarta.
Pemindahan pusat pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta dilakukan karena situasi Jakarta yang tidak aman sebagai pusat pemerintahan. Pasukan Sekutu yang diboncengi tentara Belanda (NICA) mulai melakukan razia-razia dan penangkapan atas pejuang kemerdekaan Indonesia. Sering terjadi kontak senjata antara pejuang dengan pasukan Sekutu, terutama di daerah perbatasan kota. Meski tidak sebesar pertempuran Surabaya di bulan November, kontak senjata selalu terjadi di Jakarta selama akhir 1945.
Pasukan Jepang juga masih belum ditarik sepenuhnya dari Jakarta. Mereka justru diminta mendukung operasi pengamanan ibu kota. Belum lagi muncul beberapa konflik antarpemimpin perjuangan yang membuat suasana semakin keruh.
Di Jakarta juga banyak terjadi penculikan dan pembunuhan. Penjarahan dan perampokan terjadi di mana-mana. Bahkan beberapa kali terjadi upaya penculikan dan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno dan pejabat tinggi pemerintah RI lainnya, baik oleh pasukan NICA maupun laskar-laskar rakyat yang tidak sepenuhnya tunduk kepada pemerintahan baru. Jakarta menjadi tempat yang sangat tidak aman bagi Pemerintah RI.
Pada 2 Januari 1946, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Pakualam VIII mengirimkan surat melalui kurir. Isinya mempersilakan apabila Pemerintah RI ingin memindahkan ibu kota RI ke Yogyakarta mengingat situasi Jakarta yang tidak kondusif. Sri Sultan dan Sri Paku Alam bersedia menjamin keselamatan Pemerintah RI di Yogyakarta. Tawaran ini pun segera disambut baik oleh Bung Karno dan kawan-kawan. Mereka membahas persiapannya keesokan harinya dalam sidang kabinet tertutup.
Presiden Sukarno menerima tawaran Sri Sultan untuk memindahkan ibu kota ke Yogyakarta dengan beberapa pertimbangan. Yogyakarta dipilih sebagai pusat pemerintahan baru karena daerah itu dianggap aman. Kota ini juga dipilih karena yang paling siap menerima kemerdekaan RI. Sultan dan Paku Alam merupakan pemimpin daerah pertama yang mengakui kemerdekaan RI dan mendukung penuh pemerintahan Sukarno-Hatta. Mereka dianggap sebagai republikan dan pribadi yang revolusioner.
Tiba di Yogyakarta
Namun, memindahkan presiden dan wakil presiden dari Jakarta ke Yogyakarta tidaklah mudah. Seluruh kota telah diawasi oleh tentara Sekutu dan NICA dengan ketat. Demi keamanan, alat transportasi yang digunakan menuju Yogyakarta adalah kereta api. Dalam perjalanan yang penuh ketegangan, mereka akhirnya selamat tiba di tujuan.
Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta tiba di Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Sri Pakualam VIII, Panglima TKR Jenderal Soedirman, para pejabat tinggi negara yang sudah lebih dahulu berada di Yogyakarta, dan segenap rakyat Yogyakarta menyambut datangnya presiden dan wakil presiden di stasiun tugu.
Awalnya Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohhamad Hatta tinggal di Kompleks Pakualaman, sekitar 1,6 kilometer dari Gedung Agung yang kemudian menjadi Istana Kepresidenan Yogyakarta. Saat itu, gedung yang dibangun tahun 1824 ini belum layak ditempati. Rumah di Jalan Reksoyudan yang akan ditinggali Bung Hatta pun belum siap. Dua tempat itu harus dibersihkan dan ditata dengan cepat. Meski difungsikan sebagai tempat tinggal presiden, saat itu Gedung Agung juga menjadi tempat persinggahan pejuang yang belum mendapatkan tempat tinggal di Yogyakarta.
Gedung Agung berada di tempat yang sangat strategis. Lokasinya berada di tengah-tengah pusat budaya, organisasi kemasyarakatan, serta perdagangan, tepatnya di ujung selatan Jalan Ahmad Yani yang dulu dikenal sebagai Jalan Margomulyo. Sekitar 1 kilometer di selatan bangunan ini berdiri Keraton Yogyakarta yang kini menjadi tempat tinggal Sultan Hamengkubuwono X yang juga menjabat sebagai gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Di sebelah barat daya Gedung Agung terdapat Kampung Kauman. Kampung ini menjadi tempat pendirian Persyarikatan Muhammadiyah oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan pada 1912. Kampung ini juga menjadi pusat kegiatan persyarikatan tersebut.
Di awal menempati Gedung Agung, Presiden Sukarno dan keluarganya hidup dalam keterbatasan. Mereka tidak merasakan layanan seperti kehidupan istana kepresidenan saat ini. Kurang dari tiga pekan setelah Sukarno dan keluarganya tinggal di Gedung Agung, Ibu Negara Fatmawati melahirkan anak keduanya. Dyah Permata Megawati Sukarnoputri lahir pada 23 Januari 1946. Ketika melahirkan Megawati, kamar persalinan Fatmawati bocor. Air hujan mengucur di dalam kamar.
Saat itu, sebagian genteng Gedung Agung juga rontok. Padahal, di Gedung Agung, sejumlah perwakilan negara sahabat tengah datang untuk memberi pengakuan kedaulatan RI. Mereka yang datang adalah delegasi dari India yang menginap di Hotel Merdeka (kini Hotel Garuda) yang ada di ujung utara Jalan Malioboro.
Dukungan Rakyat dan Sultan
Namun, di tengah segala keterbatasan, Pemerintah RI tidak patah semangat. Semua unsur masyarakat juga terlibat dalam membantu jalannya pemerintahan negara yang baru merdeka ini. Salah satu perwujudan kerja sama dalam perjuangan itu adalah hadirnya dapur umum. Warga Yogyakarta menyumbangkan apa yang mereka punya untuk keperluan perjuangan.
Mereka juga menyediakan tempat tinggal bagi para pejabat Pemerintah RI. Beberapa rumah di kompleks keraton dan rumah-rumah penduduk digunakan sebagai tempat tinggal sekaligus kantor bagi para menteri. Bendera merah putih dipasang di tiang bambu pada setiap pekarangan kantor darurat itu.
Pakualaman dan Kasultanan Yogyakarta memainkan peran penting di masa itu. Tidak hanya memberi jaminan keamanan. Selama Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, Sultan dan Paku Alam menyediakan banyak keperluan untuk presiden dan wakilnya serta jajarannya, mulai dari urusan rumah tangga pejabat sampai urusan operasional pemerintahan. Keraton Yogyakarta menanggung seluruh biaya operasional pemerintahan. Bahkan saat Sukarno-Hatta diasingkan ke Pulau Bangka pada 1948-1949, Sultan Hamengkubuwono IX yang diberi kepercayaan untuk memimpin perlawanan terhadap Belanda.
Menjadi Saksi Perjuangan
Di antara 6 istana kepresidenan yang dimiliki Republik Indonesia, Gedung Agung yang memiliki luas 43.585 meter persegi adalah yang terkecil. Meski demikian, perannya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia sangat besar.
Sampai saat ini, Gedung Agung masih terawat dengan baik. Kondisi gedung, fasilitas, dan koleksi benda-benda seninya tetap terjaga. Untuk mengingat perjuangan masa lalu, pengelola istana membuka program wisata istana untuk rakyat (Istura). Program yang diminati banyak pelajar itu diharapkan dapat membantu mereka memahami sejarah perjuangan para pendiri bangsa.
Istana Kepresidenan Yogyakarta ini menjadi saksi gelora semangat perjuangan tanpa pamrih para pemimpin bangsa di awal kemerdekaan untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia. Mereka melakukannya dalam segala keterbatasan yang ada, tidak seperti yang dinikmati para politisi saat ini. Di tengah kemudahan dan segala fasilitas yang diterima pejabat negara saat ini, sikap kenegarawanan dan prestasi kerja mereka sangat jauh di bawah para pendahulu. Ironis.