1001indonesia.net – Bisa jadi Ernest Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi tidak berdarah asli Indonesia. Namun, semangatnya untuk memerdekakan bangsa ini lebih menggelora dari kebanyakan orang bumiputra. Pemerintah kolonial bahkan menganggapnya sebagai agitator berbahaya. Setiap perkataan dan tulisannya dicurigai. Ia dikhawatirkan akan menghasut rakyat untuk membangkang.
Douwes Dekker telah memiliki gagasan mengenai revolusi yang melampaui zamannya. Ia sudah membicarakan pengertian Indonesia sebagai bangsa yang merdeka saat orang-orang di organisasi lain masih berkutat dengan identitas kelompok dan kesukuan. Ia menggelorakan semangat kebangsaan pada para pemuda melalui berbagai tulisan dan partai yang ia dirikan, Indische Partij, yang merupakan partai politik pertama di Hindia-Belanda.
Tur propagandanya menginspirasi Tjokroaminoto dalam menghimpun massa. Konsep nasionalismenya turut memengaruhi pemikiran Sukarno yang kemudian mendirikan Partai Nasional Indonesia. Bersama Cipto Mangunkusumo, Douwes Dekker adalah guru bagi Sukarno.
Riwayat Ernest Douwes Dekker
Berdarah campuran Eropa-Jawa, Ernest François Eugène Douwes Dekker lahir di Pasuruan pada 8 Oktober 1979. Pendidikan dasar ditempuh di Pasuruan. Nest, demikian ia dipanggil, kemudian melanjutkan ke HBS di Surabaya, lalu pindah ke Gymnasium Koning Willem III School, sekolah elite setingkat HBS di Batavia. Selepas lulus sekolah, pada 1897, ia bekerja di perkebunan kopi “Soember Doeren” di lereng gunung Semeru, Malang, Jawa Timur.
Di perkebunan itu, ia sering membela para pekerja yang diperlakukan semena-mena. Teman-teman kerjanya kurang suka atas tindakannya. Sebaliknya, ia dicintai oleh para buruh. Akibat konflik dengan manajernya, ia kemudian mengundurkan diri. Saat pergi meninggalkan perkebunan, Douwes Dekker diantar puluhan buruh yang berjalan di sampingnya sampai empat jam lebih. Para pekerja yang begitu mencintainya ini baru kembali setelah Douwes Dekker sampai di Dampit, kota terdekat dari perkebunan.
Ia kemudian bekerja di Pabrik Gula Padjarakan di Probolinggo sebagai ahli kimia. Sekali lagi, dia terlibat konflik dengan manajemen pabrik. Douwes Dekker memprotes kebijakan pabriknya yang mengalihkan air irigasi dari sawah penduduk ke kebun tebu mereka. Akibat ulah pabrik ini, sawah warga mengalami kekeringan dan mengalami kerusakan. Protes Douwes Dekker membuat pihak manajemen pabrik berang. Akibatnya, ia kehilangan pekerjaan untuk kedua kalinya.
Menganggur dan kematian mendadak ibunya, membuat Douwes Dekker bersama kedua saudaranya memutuskan berangkat ke Afrika Selatan pada 1899. Keberangkatannya juga disebabkan oleh keprihatinannya atas nasib para petani Republik Transvaal yang sedang melawan penjajah Inggris. Di Transvaal, ia ikut dalam Perang Boer Kedua melawan Inggris. Atas keberaniannya, ia dianugerahi gelar penghormatan dan bintang jasa oleh Jenderal De la Rey selaku pimpinan perang.
Pada 19 Juli 1900, Douwes Dekker tertangkap oleh pihak Inggris. Ia ditawan di sel Pretoria, Afrika Selatan, lalu dipindahkan ke Kolombo, Sri Lanka. Tak lama kemudian, ia dipindahkan ke Diyatamala yang terletak di puncak pegunungan dengan ketinggian 4.000 meter.
Dalam tahanan, ia masih punya kesempatan untuk membaca buku yang diperoleh dari dermawan Belanda, Prancis, dan Jerman. Di tengah waktu luangnya, ia menulis pengalamannya di Afrika Selatan dan pengasingan di Sri Lanka dalam surat-surat pada keluarganya. Surat-surat tersebut di terbitkan dalam The News of the Day dan surat kabar ternama di Batavia.
Setelah setahun ditawan, Douwes Dekker dipulangkan ke Hindia Belanda. Ia kemudian bekerja sebagai agen pengiriman KPM, perusahaan pengiriman milik negara. Penghasilannya yang lumayan membuatnya berani melamar Clara Charlotte Deije, putri seorang dokter asal Jerman yang tinggal di Hindia Belanda, pada 1904. Mereka dikaruniai lima anak. Di kemudian hari, pasangan ini bercerai pada 1919.
Kegiatan Jurnalistik
Sejak kecil, Douwes Dekker sudah mencintai kegiatan tulis-menulis. Kemungkinan besar kegemaran menulis ini terinspirasi oleh Eduard Douwes Dekker, penulis Max Havelaar dengan nama pena Multatuli, yang merupakan adik dari kekeknya. Sebab itu, meski sudah berganti-ganti pekerjaan, dunia jurnalistik-lah yang kemudian ia tekuni.
Laporan perangnya yang dimuat di surat kabar terkemuka membuat ia ditawari menjadi reporter koran Semarang terkemuka, De Locomotief pada 1907. Ia lalu pindah ke Soerabaia Handelsblad. Pengalamannya dalam meliput berita ke berbagai tempat, seperti ke perkebunan di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu, membuatnya semakin kritis terhadap kebijakan kolonial. Pada tahun yang sama, Douwes Dekker mulai aktif di Insulinde. Di sinilah, ia mulai merintis kemampuannya dalam berorganisasi.
Pada 1908, ia menerbitkan seri tulisan yang bernada kritis terhadap kehidupan pemerintah di surat kabar Belanda Nieuwe Arnhemsche Courant. Artikel pertama dimuat Februari 1908 berjudul “Kebangkrutan prinsip etis di Hindia Belanda. Artikel kedua muncul pada akhir Agustus berjudul “Bagaimana Belanda Paling Cepat Bisa kehilangan Tanah jajahannya?”. Kedua artikel ini mengkritik kebijakan politik etis pemerintah kolonial Belanda. Tulisan-tulisan ini membuatnya mulai masuk dalam pengawasan pemerintah kolonial.
Sadar akan adanya ancaman dari pihak kolonial, Douwes Dekker menggunakan nama inisialnya DD jika ia menulis untuk koran yang terbit di Belanda. Inisial ini melekat terus pada dirinya, hingga keluarganya mengganti panggilan akrab “Nest” dengan DD.
Pada saat yang sama, rumahnya yang terletak di dekat STOVIA menjadi tempat berkumpul para perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo, untuk belajar dan berdiskusi.
Boedi Oetomo (BO), organisasi yang diklaim sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas bantuannya. Ia bahkan menghadiri kongres pertama BO di Yogyakarta. Dalam kongres tersebut ia menyarankan pentingnya perhimpunan memiliki media massa.
Pada 1909, Douwes Dekker menjadi redaktur Bataviaasch Nieuwsblad. Di tahun yang sama, ia pergi ke Belanda dan berkeliling Eropa, bertemu dengan tokoh pergerakan. Setahun kemudian, ia menerbitkan majalah Het Tijdschrift di Bandung.
Ketika ia menjadi redaktur Bataviaasch Nieuwsblad, tulisan-tulisannya menjadi semakin pro kaum Indo dan bumiputra. Ia bahkan memanfaatkan posisinya sebagai redaktur Bataviaasch Nieuwsblad untuk menyalurkan pandangan politiknya, yaitu mengupayakan bergabungnya kaum Indo dengan pribumi untuk memperjuangkan hak-haknya.
Karena kelakuannya ini, ia bersitegang dengan pemilik Bataviaasch Nieuwsblad, Zaalberg, yang cenderung memperjuangkan nasib kaum Indo. Douwes Dekker kemudian memilih keluar dan menerbitkan koran sendiri.
Pada 1912, Douwes Dekker menerbitkan De Express. Ia menjadi pemimpin redaksi dan Cipto Mangunkusumo sebagai wakilnya. Dalam pengantarnya, De Express menyatakan bahwa menjadi tugasnya untuk mendukung kepentingan ekonomi agar tidak memihak.
Indische Partij
Karena BO terbatas pada masalah kebudayaan yang bersifat tulen Jawa, Douwes Dekker tidak banyak terlibat di dalamnya. Di sisi lain, terdapat keluhan dari orang Indo yang merasa terdiskriminasi oleh orang Belanda totok. Orang Indo merasa dinomorduakan. Mereka tidak dapat menempati posisi-posisi kunci di pemerintahan karena tingkat pendidikannya.
Mereka memang dapat mengisi posisi-posisi menengah dengan gaji lumayan tinggi jika dibandingkan dengan gaji yang diterima pribumi. Namun, politik etis mempersulit posisi orang Indo karena pemerintah kolonial mulai memberikan tempat pada orang-orang pribumi untuk posisi-posisi yang biasanya diisi oleh mereka. Pemberi gaji lebih suka memilih orang pribumi karena mereka dibayar lebih rendah.
Keluhan orang Indo ini dimanfaatkan oleh Douwes Dekker untuk memasukkan idenya tentang pemerintahan sendiri Hindia Belanda oleh orang-orang asli Hindia Belanda (Indiërs) yang bercorak inklusif tanpa batasan ras dan suku. Pandangan Douwes Dekker ini original. Pada masa itu, orang-orang masih berkutat pada kelompok ras atau sukunya masing-masing, seperti Boudi Oetomo yang aktivitasnya hanya terbatas pada priayi Jawa saja.
Kepada organisasi yang didirikan kaum Indo, Indische Bond dan Insulinde, ia menyampaikan gagasan suatu “Indië” (Hindia) baru yang dipimpin oleh warganya sendiri, bukan oleh pendatang. Untuk itu, ia menyerukan agar kedua organisasi ini dapat bersatu.
Sayangnya, di kalangan Indo, idenya kurang mendapat sambutan. Sebagian besar golongan Indo lebih suka dengan status quo mereka saat itu. Meskipun kedudukan mereka lebih rendah dari Belanda totok, posisi mereka masih lebih tinggi dari kaum pribumi.
Karena Indische Bond dan Insulinde tidak bisa bersatu, pada 6 September 1912, Douwes Dekker bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan partai berhaluan nasionalis inklusif bernama Indische Partij (“Partai Hindia”).
Pada 15 September sampai 3 Oktober, Douwes Dekker melakukan tur propaganda ke Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Tegal, Cirebon, dan Bandung. Kampanye politik ini mendapat sambutan yang luar biasa.
Dalam waktu singkat, Indische Partij membuka 30 cabang dengan jumlah anggota mencapai 7.300 orang. Semarang mencatat jumlah anggota terbesar, diikuti Bandung. Partai ini sangat populer di kalangan orang Indo, dan diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan pribumi, meskipun tetap dicurigai pula karena gagasannya yang radikal.
Pada 25 Desember 1912, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Indische Partij disahkan pada rapat akbar yang diselenggarakan di Bandung. Kemerdekaan Hindia menjadi tujuan utama partai. Douwes Dekker juga mengumumkan pengurus partai. Cipto Mangunkusumo ditetapkan sebagai wakil ketua.
Pengaruh Gerakan Teosofi
Indische Partij yang menjunjung kesetaraan antara kaum Eropa, indo, dan pribumi sejalan dengan falsafah yang didengungkan oleh Gerakan Teosofi yang berkembang di Hindia saat itu. Pengaruh teosofi ini tampak jelas dalam lambang Indische Partij.
Lambang Indische Partij bergambar Kresna dan Arjuna yang berhadap-hadapan di atas lembaran kuning emas. Kresna dan Arjuna bersama-sama mengangkat tameng lonjong. Di sekeliling tameng tertera tulisan: rawe-rawe rantas, malang-malang poetoeng. Seekor burung garuda dengan kedua bilah keris bertengger di atas cermin. Keris yang berliku dan lurus sebagai peninggalan Majapahit dan Mataram.
Tak sekadar simbol, lambang itu jelas menunjukkan bagaimana aliran teosofi Indonesia memengaruhi Indische Partij yang didirikan oleh Ernest Douwes Dekker. Kresna dan Arjuna adalah tokoh wayang yang paling sering digunakan oleh kalangan teosofi pada masa itu dalam menyampaikan pesan mereka.
Namun, berbeda dengan Indische Partij yang anti kolonial dan mengusahakan kemerdekaan bagi Indonesia, kaum teosofi mengusung politik asosiasi yang memiliki ruang untuk bekerja sama dengan pihak kolonial. Dengan demikian, mereka memiliki pandangan politik yang berseberangan. Hal inilah yang mengakiri kedekatan Douwes Dekker dengan Gerakan Teosofi.
Dicap sebagai Partai Terlarang
Sikap Indische Partij yang bertujuan untuk memerdekan Indonesia ini pula yang membuat permohonan mereka untuk dijadikan berbadan hukum tidak disetujui oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pemerintah bahkan menganggap Indische Partij sebagai partai terlarang karena dianggap akan menimbulkan ancaman keamanan.
Karena statusnya sebagai partai terlarang, Indische Partij kemudian mengadakan kogres dengan menggunakan nama Insulinde pada 21-23 Maret 1913. Keputusan kongres merupakan antiklimaks perjalanan partai ini. Menimbang keselamatan para anggota, Douwes memutuskan membubarkan partai yang dirintisnya. Semua anggota diminta bernaung di bawah Insulinde, organisasi yang diizinkan pemerintah. Maklumat pembubaran dikeluarkan pada 31 Maret 1913.
Meski hanya berumur sekitar 7 bulan, Indische Partij memiliki arti yang sangat penting dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia. Inilah partai yang menjadi motor pergerakan kebangsaan untuk memperjuangkan Indonesia merdeka.
Diasingkan ke Belanda
Pada 1913, terjadilah peristiwa penting. Saat itu, pemerintah Belanda akan merayakan kemerdekaan yang ke-100 tahun setelah lepas dari Prancis dengan biaya dibebankan pada rakyat jajahan. Suwardi yang saat itu baru berumur 24 tahun menyampaikan protesnya melalui tulisan yang berjudul Als ik eens Nederlands was (Andaikan aku seorang Belanda) yang dimuat dalam surat kabar De Expres.
Tulisan Suwardi tersebut kemudian disusul oleh tulisan Cipto Mangunkusumo di harian De Expres pada 26 Juli 1913 dengan judul Kracht of Vrees (Kekuatan atau Ketakutan). Dua hari kemudian Suwardi Suryaningrat menulis di harian yang sama berjudul Een voor Allen, maar ook allen voor Een (Satu untuk semua, tetapi juga semua untuk satu).
Douwes Dekker yang baru pulang dari Belanda memberi apresiasi kepada kedua temannya dalam sebuah tulisan di De Expres pada 5 Agustus 1913 berjudul Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en R.M. Soewardi Suryaningrat (Dua Pahlawan kita: Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat).
Tulisan-tulisan tersebut membuat pemerintah kolonial berang. Pemerintah kolonial kemudian memutuskan untuk menangkap dan mengasingkan ketiganya. Cipto diasingkan ke Banda, Suwardi Suryaningrat ke Bangka, dan Douwes Dekker ke Kupang. Namun, dengan slogan ingin menunjukkan kebesaran hati, pemerintah kolonial memberikan pilihan tempat pembuangan di negeri Belanda.
Ketiganya kemudian memilih pembuangan di Belanda karena diiming-imingi studi. Sebenarnya, tawaran pengasingan di negeri Belanda hanya akal-akalan pemerintah kolonial untuk memutus hubungan ketiganya dengan tanah air.
Sejarah mencatat, upaya pemerintah kolonial ini tidak berhasil. Tiga Serangkai tetap aktif menyuarakan pikiran-pikiran mereka. Mereka sering menghadiri pertemuan dan berpidato di hadapan berbagai partai politik dan organisasi. Kehadiran mereka memicu debat seru, baik di kalangan orang Belanda maupun orang Hindia yang menjadi mahasiswa di negeri Belanda.
Melalui majalah De Indier yang mereka dirikan, ketiganya menuntut pemerintah mencabut larangan terhadap Indische Partij dan juga memulangkan mereka ke Hindia. Upaya ini berakhir dengan penolakan dari pihak Thomas Bastiaan Pleyte selaku Menteri Daerah Jajahan.
Douwes Dekker kemudian mengambil program doktor di Universitas Zürich, Swiss, dengan bidang studi ekonomi politik. Di Zürich, ia meneruskan kegiatannya memperjuangkan kemerdekaan bangsa-bangsa yang tertindas. Kali ini, ia berhubungan dengan tokoh perjuangan yang melawan kolonialisme Inggris.
Douwes Dekker kemudian ditangkap di Hong Kong dan dijatuhi hukuman mati. Ia sempat menjalani hukuman penjara di beberapa negara. Pada 1917, hukuman matinya dibatalkan oleh Komandan Tertinggi Inggris di Singapura, Jenderal Ridout.
Kembali ke Tanah Air
Pada 1918, Douwes Dekker kembali ke tanah air. Bersama Cipto, ia aktif kembali dalam dunia jurnalistik dan organisasi. Ia menjadi redaktur organ informasi Insulinde yang bernama De Beweging. Ia menulis beberapa seri artikel yang banyak menyindir kalangan pro-koloni serta sikap kebanyakan kaum Indo, kaumnya sendiri.
Targetnya sebetulnya adalah menyadarkan orang Indo bahwa masa depan mereka berada di pihak pribumi, bukan seperti sikap mereka saat itu yang berpihak ke Belanda. Ia mengkritik organisasi kaum Indo yang baru dibentuk, Indisch Europeesch Verbond (IEV), melalui dua tulisan, De tien geboden (Sepuluh Perintah Tuhan) dan Njo Indrik (Sinyo Hendrik). Pada tulisan yang terakhir, ia menyebut IEV sebagai “liga yang konyol dan kekanak-kanakan”.
Selain itu, ia juga menulis beberapa pamflet lepas, di antaranya Een Natie in de maak (Suatu bangsa tengah terbentuk) dan Ons volk en het buitenlandsche kapitaal (Bangsa kita dan modal asing).
Pada rentang masa ini, ia mengubah Insulinde Semarang menjadi Nationaal Indische Partij (NIP), sebagai organisasi pelanjut Indische Partij yang telah dilarang. Pembentukan NIP menimbulkan perpecahan di kalangan anggota Insulinde. Sebagian anggota bersikap moderat terhadap pemerintah Belanda (kebanyakan kalangan Indo). Sebagian lagi (kebanyakan kalangan pribumi) bersikap progresif, yaitu menginginkan pemerintahan sendiri. NIP akhirnya bernasib sama seperti IP. Partai ini dinyatakan sebagai partai terlarang oleh Pemerintah pada 1922.
Pada 1919, Douwes Dekker terlibat dalam peristiwa pemogokan buruh tani di perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Ia tersangkut kasus ini karena dianggap mengompori para petani untuk mogok dalam pertemuan mereka dengan orang-orang Insulinde cabang Surakarta, yaitu Mohammad Misbach dan Cipto Mangunkusumo.
Pengadilan yang dilakukan pada 1920 di Semarang membebaskannya dari segala tuntutan. Namun, kasus baru menyusul dari Batavia. Ia dituduh menulis hasutan di surat kabar yang dipimpinnya. Kali ini ia harus melindungi seseorang (sebagai redaktur De Beweging) yang menulis suatu komentar yang di dalamnya tertulis, “Membebaskan negeri ini adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!”
Yang membuat Douwes Dekker kecewa adalah alasan penyelidikan bukanlah semata isi dari tulisan itu, melainkan “mentalitas” sang penulis (yang dituduhkan padanya). Setelah melalui pembelaan yang panjang, Douwes Dekker divonis bebas oleh pengadilan.
Aktivitas pendidikan dan Ksatrian Instituut
Atas dorongan Suwardi Suryaningrat yang saat itu sudah mendirikan Perguruan Taman Siswa, Douwes Dekker kemudian ikut dalam dunia pendidikan. Pada 1922, Douwes Dekker menjadi guru di sekolah Nyonya Meyer Elenbaas di Kebon Kelapa, Bandung.
Setahun kemudian, ia bersama 7 orang lainnya mendirikan yayasan pendidikan bernama Schoolvereeniging Het Ksatrian Instituut (KI) di Bandung. Sebagian pendirinya merupakan mantan pemimpin Indische Partij. Sekolah ini sendiri bertujuan untuk “mempersiapkan para kesatria bagi Indonesia Merdeka.”
Sebenarnya, Douwes Dekker pernah aktif dalam bidang pendidikan jauh hari sebelumnya. Pada 1910, ia turut membidani lahirnya Indische Universiteit Vereeniging (IUV), suatu badan penggalang dana untuk memungkinkan dibangunnya lembaga pendidikan tinggi (universitas) di Hindia Belanda. Di dalam IUV terdapat orang Belanda, orang-orang Indo, aristokrat Banten dan perwakilan dari organisasi pendidikan kaum Tionghoa THHK.
KI kemudian mengembangkan pendidikan bisnis, namun di dalamnya diberikan pelajaran sejarah Indonesia dan sejarah dunia yang materinya ditulis oleh Douwes Dekker sendiri.
Namun, masalah kemudian membelit KI. Isi buku dalam pelajaran sejarah dunia dinilai anti-kolonial dan pro-Jepang. Sebab itu, pemerintah Keresidenan Bandung kemudian menyita dan membakar buku-buku pelajaran KI. Izin mengajar Douwes Dekker juga dicabut.
Karena dilarang mengajar, Douwes Dekker kemudian mencari penghasilan dengan bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Jakarta. Ini membuatnya dekat dengan Mohammad Husni Thamrin, seorang wakil pribumi di Volksraad.
Pada saat yang sama, pemerintah Hindia Belanda mengalami berbagai masalah. Satu di antaranya adalah perkembangan fasisme ala Nazi di kalangan warga Eropa (Europaeer). Serbuan Jerman ke Denmark dan Norwegia, dan akhirnya ke Belanda, pada tahun 1940 mengakibatkan ditangkapnya ribuan orang Jerman di Hindia Belanda, berikut orang-orang Eropa lain yang diduga berafiliasi Nazi.
Douwes Dekker yang memang sudah “dipantau”, akhirnya ikut digaruk pada Mei 1941 karena dianggap kolaborator Jepang, yang mulai menyerang Indochina Perancis. Ia juga dituduh komunis. Dia ditahan di Jakarta, kemudian dibawa ke Ngawi, Magelang, dan Madiun.
Pengasingan di Suriname
Pada 1942, Douwes Dekker bersama tawanan lain dibawa ke penjara Fort Nieuw Amsterdam, Suriname. Ia kemudian dipindahkan ke penjara Fort Zeelandia, Jodensavanne, dan berakhir di Paramaribo.
Kondisi kehidupan di kamp sangat memprihatinkan. Sampai-sampai Douwes Dekker, yang waktu itu sudah memasuki usia 60-an, sempat kehilangan kemampuan melihat. Di sini kehidupannya sangat tertekan karena ia sangat merindukan keluarganya. Surat-menyurat dilakukannya melalui Palang Merah Internasional dan harus melalui sensor.
Ketika kabar perang berakhir, para interniran (buangan) di sana tidak segera dibebaskan. Baru menjelang pertengahan tahun 1946 sejumlah orang buangan dikirim ke Belanda, termasuk Douwes Dekker, dengan kapal S.S. Boissevain. Di Belanda ia bertemu dengan Nelly Alberta Kruymel, seorang perawat. Nelly kemudian menemaninya kembali ke Indonesia.
Kepulangan ke Indonesia juga melalui petualangan yang mendebarkan karena Douwes Dekker harus mengganti nama dan menghindari petugas intelijen di Pelabuhan Tanjung Priok. Akhirnya mereka berhasil tiba di Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia pada waktu itu pada tanggal 2 Januari 1947.
Masa-masa Akhir
Pada 4 Januari 1947, Ernest Douwes Dekker berkunjung ke Istana Negara Yogyakarta menemui Presiden Soekarno dan para tokoh lain. Ia mengubah namanya menjadi Danudirja Setiabudi. Pemerintah memberinya berbagai jabatan, di antaranya menteri negara dalam Kabinet Sjahrir III. Sukarno juga mengangkat Douwes Dekker sebagai penasihat pribadinya.
Pada 8 Maret 1947, Danudirja Setiabudi menikah dengan Nelly, yang berganti nama menjadi Harumi Wanasita. Awalnya, Nelly tidak menjawab pinangan. Namun, setelah Presiden Soekarno meminta Nelly untuk mau merawat orang yang sudah berumur dan sakit-sakitan yang memiliki jasa besar pada Indonesia, Nelly menyatakan kesediaannya.
Pada periode ini, Douwes Dekker tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga menempati salah satu rumah di Kaliurang. Dari rumah di Kaliurang inilah pada 21 Desember 1948, ia diciduk tentara Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka “Aksi Polisionil” atau operasi militer untuk merebut kekuasaan Republik Indonesia.
Setelah diinterogasi, ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali. Tak lama kemudian Douwes Dekker dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah dan setelah berjanji tak akan melibatkan diri dalam politik.
Douwes Dekker dibawa ke Bandung atas permintaannya pada Juni 1949. Harumi kemudian menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati rumah lama (dijulukinya “Djiwa Djuwita”) di Jalan Lembang No. 410.
Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya yang lain adalah mengumpulkan material untuk penulisan autobiografinya (70 jaar konsekwent yang diterbitkan tahun 1950) dan merevisi buku sejarah tulisannya.
Pada periode ini kesehatannya terus menurun. Ernest Douwes Dekker mengembuskan napas terakhirnya pada dini hari tanggal 28 Agustus 1950. Ia dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.
Sumber:
- https://id.wikipedia.org/wiki/Ernest_Douwes_Dekker
- Majalah Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan, 20-26 Agustus 2012