1001indonesia.net – Pada 20 Mei 1908, sekelompok kecil pelajar Jawa yang dipimpin oleh Sutomo membentuk organisasi Budi Utomo. Kini tanggal berdirinya organisasi tersebut kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Budi Utomo didirikan oleh para pelajar sekolah dokter STOVIA di ibu kota kolonial Batavia, dipimpin oleh seorang pemuda asal Jawa Timur bernama Sutomo. Kala itu, Sutomo baru berusia 19 tahun.
Tak hanya itu, ia juga menjadi pendiri Penghimpunan Pelajar Indonesia yang berbasis di Surabaya pada 1924, yang kemudian berubah namanya menjadi Partai Bangsa Indonesia pada 1930. Pada 1935, ia mendirikan Partai Indonesia Raya (Parindra).
Tak pelak lagi, Sutomo merupakan salah satu pemimpin organisasi pergerakan kebangsaan yang terkemuka di masanya. Hal itu membuatnya menjadi salah satu sosok yang sangat penting dalam politik Indonesia prakemerdekaan (Anderson, 2000: 444)
Sutomo dilahirkan di Ngepeh, Nganjuk, Jawa Timur, pada 30 Juli 1988. Dia terlahir dengan nama Subroto. Namanya kemudian diubah menjadi Sutomo agar bisa masuk sekolah Belanda.
Kakek dari ibunya yang bernama R Ng Singawijaya adalah seorang kepalang (petinggi kepala desa) yang kaya dan pernah bekerja di Binnenlandsch Bestuur (administrator urusan pribumi).
Ayahnya yang bernama Raden Suwaji adalah guru yang cakap dan administrator yang meniti karier hingga wedana. Pada saat itu, wedana adalah pangkat tertinggi yang secara normal dapat diraih orang Jawa bukan keturunan bupati.
Sutomo dibesarkan oleh kakek-neneknya dari pihak ibu hingga umur 6 tahun. Ia kemudian diboyong kedua orangtuanya ke Madiun untuk dimasukkan ke sekolah dasar berbahasa Belanda (ELS) di Bangil.
Bisa dibilang Sutomo cukup beruntung dengan terlahir di keluarga berada. Saat itu, tak banyak anak-anak pribumi yang bisa mengenyam pendidikan seperti dirinya.
Sebagai gambaran, pada 1895, tak lebih dari 1.135 anak pribumi yang bersekolah di ELS di seluruh Hindia Belanda. Dan memang, meski saat itu jumlah sekolah bergaya Barat berkembang pesat, jumlah murid-muridnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan penduduk Hindia Belanda.
Pada 1903, terutama atas desakan ayahnya, ia masuk School tot Opleiding van Indische Aartsen (STOVIA) di Batavia. Ketika itu umurnya baru 14 tahun.
Saat menjadi pelajar STOVIA, ia bertemu Dokter Wahidin Soedirohoesodo di Batavia. Kala itu, dr. Wahidin sedang berkampanye keliling untuk menggalang beasiswa bagi pelajar bumiputra.
Baca juga: Wahidin Sudirohusodo, Perjuangan Seorang Dokter dalam Menyebarkan Pendidikan
Sutomo amat tertarik dengan ide yang disampaikan dr. Wahidin. Ia lantas memperluas gagasan dr. Wahidin dengan memasukkan juga masalah-masalah politik dan sosial yang ia dan para pelajar anggap penting dalam pembangunan masyarakat. Berkat kegiatan-kegiatannya dalam merangsang perhatian para pelajar, Budi Utomo berhasil dibentuk pada 1908.
Meski aktif berorganisasi, Sutomo bisa menyelesaikan pendidikannya. Ia lulus pada 1911 di usia 22 tahun. Sesuai kontrak saat terdaftar di STOVIA, setelah lulus Sutomo bekerja sebagai dokter pemerintah di berbagai tempat di Jawa dan Sumatera. Pada 1917, ketika ditempatkan di Blora, dia berjumpa dengan seorang janda Belanda yang bekerja sebagai perawat yang kemudian dia nikahi.,
Pada 1919, ia mendapat kesempatan untuk meneruskan sekolah ke Universitas Amsterdam, Belanda. Selama kuliah, Sutomo ikut berkegiatan di Indische Vereeniging. Ia bahkan sempat dipilih menjadi ketua Indische Vereeniging periode 1921–1922.
Ia kembali ke tanah air pada 1923. Ia kemudian menjadi pengajar di Nederlandsch Artsen School (NIAS). Saat itu ia cukup terkemuka hingga dipilih sebagai anggota Dewan Kotapraja Surabaya.
Akan tetapi, ia tak lama duduk di posisi itu. Ia mengundurkan diri dari jabatannya dan membentuk perhimpunan pelajar (Indonesische Studie Club) paling pertama dan paling tersohor pada 1920-an. Mulai saat itu, ia tenggelam dalam urusan politik nasional.
Kegiatan utama Indonesische Studieclub adalah diskusi politik dan pembahasan mengenai persoalan publik. Kebanyakan anggotanya adalah pelajar. Model ini lalu diikuti Sukarno di Bandung dengan Algemeene Studieclub.
Pada 1930, Indonesische Studie Club mengubah namanya menjadi Partai Bangsa Indonesia. Lalu pada akhir 1935, PBI dan Budi Utomo berfusi menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra).
Parindra pimpinan Sutomo tak hanya bergerak di bidang politik, tetapi juga di bidang pemberdayaan ekonomi melalui bank, koperasi, dan organisasi tani. Selain itu, ia juga menginisiasi pendirian beberapa panti asuhan dan rumah sakit.
Sejak mendirikan Perhimpunan Pelajar hingga akhir hayatnya di tahun 1938, Sutomo membaktikan hidupnya pada perjuangan bangsa. Untuk mengenang jasanya, Sutomo dimakamkan di Gedung Nasional Bubutan, Surabaya. Dia dianugerahi gelar Pahlawan Pergerakan Nasional pada 1961.
Baca juga: Ernest Douwes Dekker, Motor Pergerakan Kebangsaan Indonesia