Blenggo Rebana, Kesenian Tari Silat dari Betawi

1893
Blenggo Rebana
Pertunjukan kesenian Betawi Blenggo Rebana. (Foto: Encyclopedia DKI Jakarta)

1001indonesia.net – Blenggo Rebana adalah seni tari khas Betawi yang mengandung unsur pencak silat. Kesenian yang bernuansa Islam ini berkembang dari kegiatan di waktu senggang setelah mengaji. Gerakan tarinya diambil dari pencak silat Betawi dan Sunda dengan iringan musik rebana.

Nama blenggo berasal dari kata lenggak-lenggok. Di kalangan masyarakat Betawi sendiri terdapat istilah “diblenggoin” yang maksudnya adalah gerakan disertai dengan tarian.

Berdasarkan musik pengiringnya, Tari Blenggo dibedakan menjadi Blenggo Rebana yang menggunakan Rebana Biang sebagai musik pengiringnya, dan Blenggo Ajeng yang menggunakan musik pengiring Gamelan Ajeng.

Sejarah

Tari Blenggo mulanya berkembang di Ciganjur pada tahun 1800-an. Tari ini pertama kali diajarkan oleh Pak Haji Kumis yang datang dari Banten untuk mengajar mengaji. Selain mengajar mengaji, Pak Haji juga mengajarkan permainan rebana. Biasanya guru mengaji di waktu itu juga pandai bermain silat.

Permainan rebana biang biasanya dilakukan usai mengaji untuk mengisi waktu luang. Selain itu, usai mengaji juga diadakan latihan silat atau maen pukulan. Lama kelamaan permainan rebana biang menjadi pengiring latihan silat. Dari sinilah lahir gerakan silat yang diblenggoin yang disebut sebagai kembangan silat.

Tari silat itu kemudian digunakan sebagai tari pengiring pengantin laki-laki dengan adat palang pintunya. Seiring berjalannya waktu, Blenggo Rebana berkembang menjadi tari persembahan untuk menyambut tamu agung dan sebagai tari hiburan.

Sebelumnya kesenian ini tidak disebut sebagai Tari Blenggo melainkan hanya Blenggoin. Atas saran Gubernur Ali Sadikin yang mencoba mengangkat kembali kesenian Blenggo ini, penyebutannya diubah menjadi Tari “Blenggo” atau “Belenggo” untuk membedakan dengan tari-tari Betawi lainnya.

Baca juga: Pencak Silat, Seni Bela Diri Asli Indonesia

Gerak tari

Dilansir dari laman Ensiklopedia Jakarta, Tari Blenggo Rebana dibawakan oleh penari laki-laki dengan menggerak-gerakkan tangannya sambil berjongkok atau setengah duduk dengan pola gerak silat. Langkah kaki agak pendek hampir tidak diangkat dan sikap badan agak membungkuk, kemudian berputar dalam lingkaran sempit ke arah kiri.

Sikap tangan menyerupai gerak tari Piring dari Sumatera Barat, yaitu satu tangan ke atas ke arah luar, sedangkan satu tangan lain ke bawah ke arah dalam.

Gaya merunduk dan merendahkan kaki hingga badan agak membungkuk mengandung nilai bahwa dalam hidup kita harus selalu sopan dan rendah hati, tidak boleh sombong atau membanggakan diri.

Sepintas gerakan Blenggo tampak mudah. Namun, untuk melakukannya dengan baik perlu pendalaman terhadap gerakan pencak silatnya. Diperlukan juga penghayatan agar gerakan selaras dengan irama musiknya.

Gerakan awal Tari Belenggo disebut engklek dan taben, merupakan gerakan hormat atau salam. Gerak selanjutnya berturut-turut adalah jalan pengkor, mincik selancar, jelumul domblang, jalan pesong, seliwa, aba-aba gembrong, ancang-ancang pasang, silat jalan enam lima pancer pengasingan, dan ditutup dengan silat gedang palu taben.

Gerakan akhir sama dengan gerak awal, yaitu taben atau memberi salam, hanya saja posisinya berdiri.

Tari Blenggo Rebana sebenarnya tidak memiliki pakem, baik pola gerak ataupun pola lantai. Gerakannya selalu berbeda antara satu penari dan penari lainnya, tergantung latar belakang penguasaan silat si penari.

Namun secara keseluruhan ada empat gerakan inti dalam Tari Blenggo Rebana. Secara berurutan gerakannya sebagai berikut:

  1. Gerakan pembuka adalah gerakan “salam” yang melambangkan keselamatan, kedamaian, ketenteraman, dan keamanan. Posisi tubuh setengah membungkuk ke depan seperti gerakan ruku dalam sholat dengan kedua tangan disatukan sebagai simbol penghormatan;
  2. Gerakan selanjutnya masih dengan sikap tubuh agak membungkuk dan merendah dengan gerakan kaki yang diangkat agak pendek sambil kedua tangan digerakkan bergantian. Gerakan ini merupakan simbol kesopanan;
  3. Gerakan berikutnya adalah berputar dalam lingkaran sempit ke arah kiri, masih dengan sikap tubuh yang sama serta gerakan tangan dan kaki yang sama. Gerakan tari yang memutar ke kiri dalam dimaknai sebagai thawaf seperti saat menunaikan ibadah haji atau umroh dalam agama Islam;
  4. Gerakan terakhir adalah salam penutup yang serupa seperti pada gerakan pertama.

Musik dan lagu pengiring

Alat musik yang digunakan untuk mengiringi Tari Blenggo Rebana terdiri atas:

  1. Rebana Gendung. Berukuran diameter 21 cm (bawah) dan 32 cm (atas), tinggi 10 cm, tebal 2 cm, serta berat 1 kg. Suara yang dihasilkan ada tiga yaitu teng, dung, pak. Pemain dalam posisi duduk, kaki ditekuk dengan lutut di atas, kemudian rebana disandarkan di kaki, ditahan oleh jari-jari kaki supaya tidak goyah saat dipukul;
  2. Rebana Kotek. Berukuran diameter 22 cm (bawah) dan 42 cm (atas), tinggi 10 cm, tebal 2,5 cm, serta berat 1,5 kg. Bunyi yang dihasilkan dan cara memainkannya sama dengan Rebana Gendung;
  3. Rebana Biang. Diameter 27 cm (bawah) dan 80 cm (atas), tinggi 16 cm, tebal 3 cm, serta berat 2,5 kg. Suara yang dihasilkan berbunyi teng, piung, dung. Pemain duduk dengan posisi kaki ditekuk mempertemukan kedua telapak kaki, lalu Rebana Biang dijepit dengan telapak kaki supaya suara yang keluar bagus. Tetapi ada juga cara duduknya dengan menekuk kaki dan Rebana Biang disanggahkan di kaki kiri.

Lagu yang digunakan untuk mengiringi kesenian ini bernuansa Islami. Lagu-lagu tersebut antara lain Allahuah, Allah-Allah, Shollu’ala madanil iman, An-Nabi ya man hadhor, Shollu Robbuna, Alfa Shollu, dan Sholawat Badar.

Selain lagu-lagu bernapaskan Islam, digunakan juga lagu Betawi, seperti Anak Ayam, Sangrah, Sirih Kuning, Jali-jali, dan Ondel-ondel.

Kostum

Penari Blenggo dan pemain musik mengenakan busana yang sama. Ini terjadi karena penari merangkap pemain musik yang tampil bergantian satu atau dua orang.

Kemeja yang dikenakan disesuaikan dengan baju adat Betawi dan pakaian Islami berwarna putih atau hitam, biasanya gamis putih, baju takwa (sadariah atau koko), jas, atau jas tong.

Bawahan berupa celana panjang (pantalon), celana pangsi warna hitam, atau celana batik.

Sarung poleng khas Betawi dikalungkan di pundak, atau dikenakan di pinggang hingga menutupi sebagian celana, dan di kepala mereka mengenakan peci hitam, peci merah, atau topi haji.

Asesoris lainnya adalah gesper haji untuk menahan perut saat melakukan gerakan silat, sekaligus menahan celana agar tidak turun.

Baca juga: Tari Cokek, Berpadunya Budaya Tionghoa, Sunda, Betawi, dan Pencak Silat dalam Gerak Tubuh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

1 × five =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.