1001indonesia.net – Tjipto Mangoenkoesoemo adalah seorang dokter, wartawan, sekaligus aktivis pergerakan kebangsaan. Sebagai seorang dokter, ia pernah terlibat aktif dalam pemberantasan penyakit pes di Malang. Sebagai wartawan, penanya tajam mengkritik pemerintah kolonial Belanda.
Sebagai tokoh pergerakan, bersama dua kawannya, Ernest Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo mendirikan Indische Partij. Organisasi tersebut merupakan partai politik pertama di Hindia, juga organisasi pertama yang terang-terangan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sayang Tjipto meninggal sebelum sempat menyaksikan Indonesia merdeka.
Kapan tepatnya Tjipto lahir dan di mana tempatnya masih simpang siur. Sebagian menyebut ia lahir pada 4 Maret 1886, sebagian lain menyebut tahun 1883.
Tjipto lahir di Desa Pecangakan, tetapi tidak pasti benar desa itu berada di mana. Ada yang mengatakan di Ambarawa, ada juga berpendapat di Jepara. Yang pasti, desa tersebut berada di Jawa Tengah. Akan tetapi, karena Tjipto dimakamkan di Ambarawa, diduga kuat ia lahir di tempat itu juga.
Ia adalah putra dari Mangoenkoesoemo, kepala sekolah rakyat di Ambarawa, Jawa Tengah. Tjipto mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang cukup memadai. Ia berhasil menyelesaikan pendidikannya di sekolah dokter bumiputera atau School Ter Opleding van Indische Artsen (STOVIA).
Tjipto tumbuh menjadi tokoh nasionalis yang radikal. Sejak remaja, ia menaruh perhatian besar terhadap nasib bangsanya. Saat berusia 21 tahun, ia menulis artikel yang mengkritik kebangsawanan. Artikel yang ia buat sering dimuat di harian De Locomotief Semarang.
Karena kiprah dan perjuangannya dalam merintis kemerdekaan Indonesia, Tjipto mendapat julukan Bapak Kemerdekaan Indonesia. Meski selalu berpakaian Jawa, watak Tjipto jauh dari feodalisme. Ia selalu menyuarakan persamaan hak. Ia dikenal egaliter dan mampu mengilhami semangat kemerdekaan dalam arti yang luas.
Ketika Budi Utomo lahir pada 20 Mei 1908, Tjipto Mangoenkoesoemo yang saat itu menjadi mahasiswa di STOVIA menyambut baik berdirinya organisasi tersebut. Tjipto terlibat dalam kongres pertama organisasi itu di Yogyakarta. Namun, dia berbeda pendapat dengan Radjiman Wedyodiningrat tentang kelangsungan Budi Utomo ke depan.
Tjipto ingin Budi Utomo bergerak di bidang politik dan terbuka untuk semua rakyat Indonesia. Sementara Radjiman ingin agar Budi Utomo tetap menjadi gerakan murni priayi Jawa dan hanya bergerak di bidang kebudayaan.
Sebenarnya, Tjipto tidak anti kebudayaan Jawa. Yang ia tolak adalah kebudayaan keraton yang bersifat feodalis. Menurut Tjipto, sebelum persoalan kebudayaan dapat dipecahkan, terlebih dahulu selesaikan masalah politik. Karena tidak menemukan kecocokan, Tjipto mundur dari Budi Utomo.
Setelah mundur dari Budi Utomo, Tjipto membuka praktik dokter di Solo. Ia sempat terlibat dalam penanggulangan wabah pes di Malang pada 1911. Atas jasanya itulah, Tjipto dianugerahi oleh pemerintah kolonial bintang penghargaan Ridder Orde van Orange Nassau pada 1912. Namun, ia memperlakukan penghargaan itu dengan rasa humor yang satire. Bintang itu tidak disematkan di dada, melainkan disimpan di kantung belakang celana.
Alhasil, setiap serdadu Belanda yang melihatnya tidak menghormat kepada Tjipto, tetapi melihat ke arah pantatnya. Akhirnya, ia mengembalikan penghargaan itu setelah pemerintah menolak permintaannya untuk memberantas penyakit pes di Solo. Penolakan itu semakin membulatkan tekadnya untuk masuk ke dalam kancah revolusi.
Dalam revolusi, peran Tjipto semakin tampak. Ia mendirikan Indische Partij yang merupakan partai politik pertama di Hindia, bersama Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat pada 25 Desember 1912. Partai ini hanya berumur setahun karena dibubarkan oleh pemerintah kolonial.
Pada 1913, menanggapi pemerintah Hindia Belanda yang akan merayakan 100 tahun setelah lepas dari penjajahan Prancis, Tjipto bersama kawan-kawannya membentuk Komite Bumiputera. Melalui Komite itu, Tjipto dan kawan-kawan mengkritik dan menentang perayaan kemerdekaan pemerintah kolonial Belanda yang biayanya dibebankan pada rakyat jajahan itu.
Komite itu menerbitkan pamflet yang menyerang kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Pamflet pertama diterbitkan 12 Juli 1913, berisi tuntutan membentuk parlemen Hindia dan dihapuskannya pembatasan hak berorganisasi bagi bumiputera.
Pada 19 Juli 1913, terbit tulisan Soewardi Soerjaningrat berjudul “Als Ik Een Nederlander Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda) dalam harian De Expres milik Douwes Dekker. Untuk menjangkau khalayak yang lebih luas, tulisan itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Abdoel Moeis, dan disebarkan dalam bentuk pamflet.
Tulisan itu menjadi sangat terkenal sehingga membuat resah pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial kemudian mengambil tindakan dengan menyita dan mencabut pamflet-pamflet itu.
Tjipto kemudian mengkritik tindakan pemerintah pemerintah kolonial itu melalui tulisannya di De Expres berjudul “Kracht en Vrees” (Kekuatan dan Ketakutan) 26 Juli 1913. Dalam tulisan itu, ia mengatakan, semakin aksinya dibungkam maka akan semakin keras perlawanannya. Dua hari kemudian Suwardi Suryaningrat menulis di harian yang sama berjudul “Een voor Allen, maar ook allen voor Een” (Satu untuk semua, tetapi juga semua untuk satu).
Tulisan keduanya membuat marah pemerintah Hindia Belanda. Pada 30 Juli 1913, Tjipto dan Suwardi dipenjara.
Douwes Dekker yang baru datang dari Belanda memberi apresiasi kepada kedua temannya dalam sebuah tulisan di De Expres pada 5 Agustus 1913 berjudul “Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en R.M. Soewardi Soeryaningrat” (Dua Pahlawan Kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan R.M. Soewardi Soeryaningrat).
Pada 18 Agustus 1913, keluar surat keputusan untuk membuang Tjipto Mangoenkoesoemo, Soewardi Soeryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumiputera.
Karena alasan kesehatan, Tjipto diperbolehkan kembali ke tanah air pada 1914. Ia kemudian menggabungkan diri pada Insulinde, suatu perkumpulan yang menggantikan Indische Partij. Di bawah pengaruh Tjipto, Insulinde menjadi perkumpulan yang radikal. Perkumpulan ini kemudian berganti nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP) pada 9 Juni 1919.
Selain di Insulinde, Tjipto juga aktif menjadi anggota Volkstraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda). Meski tergabung dalam Volkstraad, Tjipto tetap kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pada 1920, akibat pidato kritisnya di Volkstraad, Tjipto dibuang ke Bandung.
Di Bandung, ia aktif sebagai dokter. Ia keluar-masuk kampung dengan sepedanya, mengobati pasien. Di kota itu, Tjipto dapat bertemu dan menginspirasi kaum nasionalis yang lebih muda. Salah satunya adalah Sukarno.
Tjipto kembali dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda pada 19 Desember 1927. Ia dituduh turut andil dalam pemberontakan yang dilakukan oleh kaum komunis pada 1926. Meski ia tidak terlibat dalam pemberontakan itu, ia terkena getahnya. Lagi pula, sifatnya yang keras, tanpa kompromi, dan radikal itu membuatnya juga sering dituduh sebagai komunis.
Kali ini ia diasingkan ke Pulau Banda. Dalam masa pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawannya kemudian mengusulkan kepada pemerintah agar ia dibebaskan.
Ketika diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa ia dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan hak politiknya, ia secara tegas mengatakan lebih baik mati di Banda daripada melepaskan hak politiknya. Ia lalu dialihkan ke Makassar. Pada 1940, ia dipindahkan ke Sukabumi. Tjipto Mangoenkoesoemo meninggal pada 8 Maret 1943.