1001indonesia.net – Adanya tradisi lomba seni suara ayam pelung turut membantu lestarinya ayam lokal asal Cianjur ini. Jika lomba itu tidak ada maka kemungkinan besar ayam ini bakal punah seperti jenis ayam lokal lain akibat gempuran ayam impor hasil rekayasa genetika yang dinilai lebih menguntungkan peternak. Diperkirakan dari 28 jenis ayam lokal Nusantara, 80 persennya hampir dan sudah punah.
Lomba yang diadakan secara rutin membuat peternak menjadi bersemangat membudidayakan ayam ini. Maklum, kontes adu suara membuat harga ayam pelung melambung tinggi.
Ayam jajangkar atau ayam yang mulai besar harganya Rp 1 juta. Sementara ayam yang pernah memenangi kontes harganya bisa mencapai Rp 10 juta hingga Rp 20 juta.
Bandingkan dengan ayam jago biasa yang kualitasnya bagus sekalipun harganya tidak lebih dari Rp100.000 per ekor.
Kontes Ayam Pelung
Lomba seni suara ayam pelung banyak digelar di wilayah Jawa Barat hingga pinggiran DKI Jakarta dan Banten. Setiap minggu ada kontes ayam pelung mulai dari Depok hingga Kuningan di ujung timur Jawa Barat.
Saat ini, penyelenggara kontes dibagi menjadi dua, yakni kontes regional dan terbuka se-Jawa Barat. Di luar kontes itu adalah latihan bernilai dan terbuka.
Biasanya, satu babak kontes berdurasi 30-40 menit diikuti 50-an ayam pelung yang ditempatkan di kandang-kandang khusus. Seorang panitia berkeliling ke tiap kandang sampai menyodorkan seekor ayam betina untuk merangsang si jago agar cepat berkokok. Suara kokok panjang pun bersahutan. Para juri kemudian mencatat kualitas suara jago-jago tersebut. Setiap kontes biasanya terdiri atas 5 sampai 6 babak.
Penilaian dalam kontes ayam pelung bukan hanya dari segi suara saja, melainkan juga panampilan dan bobot ayam. Pemenangnya mendapat piala dan insentif. Kemenangan akan mendongkrak harga ayam hingga puluhan juta rupiah. Harga tinggi inilah yang mendorong para peternak untuk membudidayakan jenis ayam ini.
Selain menggelar lomba seni suara ayam pelung, kontes yang diadakan juga menjadi bursa penjualan bibit maupun induk ayam pelung yang berkualitas. Mulai dari anak ayam umur 0-1 bulan, 3 bulan, umur 6-7 bulan, sampai ayam pelung sudah jadi bisa didapatkan di bursa ini. Kontes ini juga menjadi ajang tukar-menukar pengetahuan tentang segala hal mengenai ayam pelung oleh sesama peternak dan penggemar.
Ayam Asli Indonesia
Ayam pelung merupakan jenis ayam asli Indonesia. Sekilas, ayam pelung mirip dengan ayam kampung biasa. Namun, ayam jenis ini memiliki 3 ciri khas yang membedakannya dari jenis ayam kampung lain, yaitu kokok pejantannya yang berirama, merdu, dan panjang; pertumbuhannya yang cepat; serta postur badannya yang besar dengan jengger dan pial yang juga besar. Bobot ayam pelung jantan dewasa mencapai 5 sampai 6,5 kilogram dengan tinggi antara 40 hingga 50 centimeter.
Menurut cerita yang disampaikan oleh Haji Bustomi, penduduk Kampung Cicariang, Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, budidaya ayam pelung dimulai sekitar tahun 1850 di Desa Bunikasih, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur.
Di tempat itu ada kiai sekaligus petani bernama Raden Hadji Djarkasih atau Mama Acih yang menemukan anak ayam jantan yang besar, tinggi, dan terundul (berbulu jarang) di kebunnya. Diduga ayam itu adalah ayam hutan karena saat itu wilayah Cianjur dikelilingi hutan rimba di kaki Gunung Gede-Pangrango.
Setelah anak ayam itu dipelihara, ternyata tumbuh dengan cepat menjadi ayam jago bertubuh besar dan tinggi. Suara kokoknya pun panjang mengalun dan berirama sehingga membuat orang kagum.
Mama Acih kemudian menamai ayam tersebut sebagai hayam welung atau ayam pelung. Istilah welung atau pelung berasal dari bahasa Sunda mawelung atau melung yang artinya melengkung. Ayam itu lalu dikawinkan dengan ayam betina biasa dan berkembang hingga sekarang.
Terdapat keterangan yang lain dari daerah yang sama mengenai asal-usul ayam pelung. Dikisahkan pada sekitar tahun 1940, seorang bernama H. Kosim bertamu pada gurunya Mama Ajengan Gudang. Saat itu, H. Kosim melihat seekor ayam betina sedang mengasuh anak-anaknya. Di antara anak-anak ayam tersebut, ada satu ekor yang bentuknya berbeda dari yang lain, yaitu lebih besar, lebih tinggi, dan terundul. Ayam itu kemudian dibeli dan dikembangkan di Warungkondang. Ayam inilah yang menjadi cikal bakal ayam pelung.
Saat ini, ayam lokal jenis unggul ini cukup populer di masyarakat Indonesia. Bahkan dikabarkan seorang Putra Kaisar Jepang pernah berkunjung ke Warungkondang untuk melihat peternakan ayam pelung.
Popularitas ayam bertubuh besar ini juga tampak dari banyaknya perlombaan seni suara ayam pelung yang digelar secara rutin, terutama di wilayah Jawa Barat.
Budidaya
Sejauh ini, 80 persen sumber daya genetika unggas lokal hampir punah karena termarjinalkan oleh kebijakan peternakan nasional yang berpihak pada industrialisasi ayam ras impor.
Padahal sebelumnya Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) mencatat terdapat 28 jenis ayam lokal asli Indonesia. Beberapa jenis di antaranya dari Jawa Barat. Misalnya, ayam sentul dari Kabupaten Ciamis, ayam pelung dari Kabupaten Cianjur, ayam ciparage dari Kabupaten Karawang, dan ayam jantur dari Kabupaten Subang.
Ayam ciparage merupakan ayam petarung lokal terbaik di Indonesia. Ayam ini berasal dari Kampung Ciparage, Desa Cilamaya, Karawang. Saat ini, populasinya tinggal sedikit dan jarang ditemukan akibat kurangnya pelestarian.
Sementara ayam jantur berasal dari Desa Rancahilir, Pemanukan, Subang. Penampilannya mirip ayam petarung impor (ayam bangkok). Maraknya ayam impor membuat jenis ayam lokal ini ditinggalkan peternak dan membuat populasinya menurun. Juga dikarenakan perawakannya yang mirip dengan ayam impor tersebut, ayam jantur tidak diketahui populasi terakhirnya dan dianggap punah.
Populasi unggas asli yang mampu bertahan tinggal ayam pelung dan ayam sentul karena banyak dibudidayakan. Ayam sentul dibudidayakan sebagai ayam petelur dan pedaging, sementara ayam pelung lebih ke arah hobi.
Sumber
- Dedi Muhtadi, ” Kontes Ayam Pelung Mencegah Kepunahan,” Kompas, Sabtu, 25 Maret 2017.
- Sofjan Iskandar dan Triana Susanti, “Karakter dan Manfaat Ayam Pelung di Indonesia,” WARTAZOA Vol. 17 No. 3 Th. 2007.