Sejarah Pendidikan Formal di Indonesia dari Masa ke Masa

6001
STOVIA
STOVIA (Foto: voi.id)

1001indonesia.net – Keberadaan pendidikan formal atau sekolah di Indonesia sudah dimulai sejak masa kolonial. Pemerintah Belanda memiliki kepentingan untuk mendapatkan tenaga kerja dari penduduk pribumi.

Selain itu, mereka pun ingin membentuk warga negara yang patuh terhadap pemerintah kolonial. Untuk itulah, sekolah untuk kaum pribumi didirikan. Perkembangan pendidikan Barat kemudian menemukan momentumnya saat diberlakukannya Politik Etis oleh pemerintah kolonial Belanda.

Penyebaran agama juga menjadi salah satu sebab keberadaan pendidikan Barat di Nusantara. Dalam buku Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan terbitan Depdikbud (1993) disebutkan, bangsa Portugis yang datang ke Kepulauan Maluku mendirikan sekolah seminari pertama untuk anak-anak dari orang elite pribumi setempat pada 1536.

Di sekolah itu diajarkan pelajaran agama Katolik, membaca, menulis, dan berhitung. Selain kepulauan Maluku, sekolah juga ada di Pulau Solor dengan murid berjumlah 50 orang. Pada 1546, ada tujuh kampung di Ambon, Maluku, yang telah memeluk agama Katolik.

Masa VOC

Belanda yang datang ke Kepulauan Maluku juga melakukan usaha-usaha di bidang pendidikan. Salah satunya pelatihan dan pendidikan yang diberikan kepada warga Belanda terkait pengetahuan umum dan khusus tentang Indonesia.

Seperti yang telah diungkapkan di atas, pendidikan dengan sistem Barat pertama kali di Nusantara ada di Kepulauan Maluku, didirikan terutama untuk kepentingan ajaran Kristen. Ketika VOC mengambil alih kekuasaan di Kepulauan Maluku Selatan dari orang Portugis, sudah ada sekolah di sana. Diperkirakan ada sekitar 31 sekolah di Ambon dan 26 sekolah di Kepulauan Lease.

Orang-orang Ambon meminta agar Belanda meneruskan sekolah-sekolah yang didirikan oleh bangsa Portugis tersebut, tetapi dengan cara-cara yang lebih baik. Selama dua dekade, orang-orang Belanda meneruskan saja apa yang telah berjalan. Sebagai kongsi dagang, VOC kurang terlibat dalam pendidikan dan menyerahkannya saja pada gereja.

Baru kemudian disesuaikan tujuan, isi, proses dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya dengan kepentingan VOC, misalnya pengembangan agama Kristen Protestan melalui pendidikan sebagai sarana untuk membina dan meningkatkan loyalitas penduduk pribumi kepada penguasa baru, yaitu orang-orang Belanda.

Selain itu, kongsi dagang Belanda VOC juga memerlukan tenaga pembantu atau staf dari masyarakat pribumi untuk menggerakkan roda kekuasaannya. Maka dari itu, pendidikan diberikan secukupnya kepada kaum pribumi supaya bisa melaksanakan tugasnya dengan baik.

Belanda mengeluarkan buku ajar pertamanya pada 1611. Buku terbitan VOC tersebut berisi tentang penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa asing pertama di Nusantara dengan judul Ab Boeck. Saat ini, buku berbahasa Melayu tersebut sudah tidak lagi diketahui keberadaannya.

Masa Pemerintah Kolonial Belanda

Pada 1810, Gubernur Daendels menginisiasi pendirian “Sekolah Ronggeng”, terutama di sepanjang Anyer-Panarukan. “Sekolah Ronggeng” pertama di Cirebon atas dorongan Daendels kepada Pangeran Cirebon. Selanjutnya, pada 1811, Daendels mendirikan sekolah bidan pertama di Nusantara untuk menangani kasus kematian bayi yang tinggi.

Terinspirasi oleh semangat Pencerahan, yang menekankan pemisahan antara pendidikan dan agama, sebuah prototipe sekolah dasar Eropa (Europeesche Lagere School) didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda di Weltevreden (sekarang Menteng, Jakarta) pada 1817.

Secara eksklusif, ELS diperuntukan bagi anak-anak Eropa. Sementara itu, untuk memenuhi minat keilmuan dan gaya hidup komunitas Eropa disediakan juga infrastruktur saintifik dan klub-klub sosial (Yudi Latif, 2020).

Secara umum, pada masa-masa ini, pemerintah kolonial Belanda belum tertarik untuk mengembangkan pendidikan bagi kaum pribumi. Dan, baru pada paruh kedua abad ke-19, pemerintah kolonial menaruh perhatian pada pendidikan kaum pribumi sebagai akibat dari politik kaum Liberal yang menguasai parlemen Belanda.

Setelah tahun 1864, ELS yang awalnya hanya dikhususkan untuk anak-anak Eropa mulai dibuka untuk anak-anak penguasa tradisional (priayi). Setelah 1891, akses masuk ke ELS ditawarkan juga kepada keturunan orang kaya.

Tahun 1901, pendidikan formal berkembang dengan pesat di Tanah Air (Hindia Belanda) karena pemberlakuan Politik Etis atau Politik Balas Budi oleh pemerintah kolonial Belanda. 

Di bawah Politik Etis, pendidikan, irigasi, dan transmigrasi menjadi prioritas program kesejahteraan, dengan pendidikan dipandang sebagai hal yang paling esensial.

Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis terdiri atas:

  1. Pendidikan dasar, meliputi jenis sekolah dengan pengantar bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), dan sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), serta sekolah peralihan.
  2. Pendidikan lanjutan, meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan.
  3. Pendidikan tinggi.

Meski dapat dikatakan pendidikan formal berkembang dengan pesat saat itu, tetapi hanya sebagian kecil masyarakat saja yang dapat mengenyam pendidikan Barat di sekolah bentukan pemerintah kolonial Belanda. Ketika itu, mereka yang hanya sekolah sampai di Volkschool atau Sekolah Rakyat sudah cukup beruntung.

Ketika Indonesia merdeka, angka buta huruf, tepatnya huruf Latin, masih 90 persen. Dengan kata lain, sekolah formal hanya dinikmati 10 persen penduduk saja.

Lulusan HIS biasanya melanjutkan sekolah ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang setara SMP selama 3 tahun. Lalu dari MULO akan berlanjut ke Algemeene Middelbare School (AMS) atau setara SMA selama tiga tahun.

Lulusan sekolah ELS boleh lanjut ke HBS, di mana masyarakat menjalani sekolah menengah selama lima tahun, hanya butuh waktu 12 tahun sekolah. Jika melalui HIS, MULO, lalu AMS, butuh waktu 13 tahun.

Setelah lulus sekolah setingkat SMA, baik AMS maupun HBS, mereka boleh masuk universitas di Belanda atau melanjutkan ke sekolah tinggi.

Salah satu yang bisa dimasuki adalah sekolah tinggi kedokteran bernama School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) atau Sekolah Dokter Jawa di Kwitang. Sekolah itu kemudian berubah jadi Geneeskundige Hoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Kedokteran Batavia) di Salemba. Saat ini sekolah ini telah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Selain sekolah kedokteran, di Betawi ada sekolah hukum bernama Recht Hoge School. Kampus hukum dan kedokteran kolonial itu belakangan menjadi fakultas-fakultas dari Universitas Indonesia.

Ada juga sekolah pertanian atau Landbouw School di Bogor yang belakangan jadi Institut Pertanian Bogor (IPB). Di bidang teknik ada Technik Hoge School di Bandung yang sekarang adalah Institut Teknologi Bandung (ITB).

Baca juga: Mengapa Kita Perlu Belajar Sejarah Indonesia?

Masa Pendudukan Jepang

Di masa pendudukan Jepang (1942-1945), sistem pendidikan formal di masa kolonial Belanda diganti.  Pertama, bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan bahasa Belanda.

Kedua, sistem pendidikan diintegrasikan. Pendidikan berdasarkan kelas sosial yang sebelumnya berlaku di era Hindia Belanda dihapuskan. Ketiga, masa belajar diubah. Setelah sekolah dasar enam tahun (kokumin gakko), ada sekolah menengah pertama tiga tahun dan sekolah menengah tinggi tiga tahun.

Namun, pendidikan di masa Jepang jauh lebih buruk dibanding di masa kolonial Hindia Belanda. Banyak tenaga pendidik dan pelajar dialihkan untuk membantu keperluan perang Jepang. Pada tahun ajaran 1940/1941 atau ketika Indonesia masih dijajah Belanda, jumlah sekolah dasar 17.848. Namun di akhir pendudukan Jepang (1944/1945), jumlah sekolah dasar menjadi 15.069.

Selain itu, orientasi pendidikan juga sangat mengacu pada Jepang.  Doktrin yang diberikan Jepang kepada para pengajar adalah Hakko Ichiu, yang artinya Delapan Benang di Bawah Satu Atap. Hakko Ichiu adalah ambisi Jepang untuk menyatukan Asia Timur Raya (termasuk Asia Tenggara) dalam satu kepemimpinan, yakni di bawah Kaisar Jepang.

Masa Kemerdekaan RI

Setelah kemerdekaan Indonesia, tahun 1947, dibentuk Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang beranggotakan 52 orang. Panitia ini bertugas untuk meninjau masalah pendidikan dan pengajaran kanak-kanak dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Selain itu, hal lain yang juga menjadi perhatian panitia ini adalah terkait rencana pelajaran, organisasi pemeliharaan isi pendidikan dan pengajaran. 

Setelah beberapa bulan bekerja, panitia ini mengusulkan beberapa pokok saran kepada pemerintah, yaitu:

  1. Pedoman pendidikan dan pengajaran harus diubah secara mendasar
  2. Khusus mengenai pengajaran diharapkan agar bisa mendapat tempat yang teratur dan seksama
  3. Mengenai pengajaran tinggi disarankan agar diadakan seluas-luasnya
  4. Disarankan agar diusahakan pengiriman pelajar-pelajar ke luar negeri
  5. Kewajiban bersekolah, panitia menyarankan agar wajib sekolah dilaksanakan secara bertahap, sesingkat-singkatnya 10 tahun.  

Setelah pemerintah menerima saran-saran tersebut, disusunlah struktur dan sistem pendidikan baru. Tujuannya adalah untuk mendidik anak-anak menjadi warga negara yang berguna, yang diharapkan kelak dapat memberikan pengetahuannya kepada negara. Dasar-dasar pendidikan menganut prinsip demokrasi, kemerdekaan, dan keadilan sosial.

Setelah sistem pendidikan baru terbentuk, terdapat empat tingkatan yang diberikan. Empat tingkatan tersebut adalah:

  1. Pendidikan rendah
  2. Pendidikan menengah pertama
  3. Pendidikan Menengah Atas
  4. Pendidikan tinggi

Pada pendidikan rendah, para murid akan diajarkan dasar-dasar pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Kemudian, pendidikan menengah pertama dan atas, mereka akan mendapat pendidikan khusus pada kelas terakhir guna mempersiapkan pendidikan perguruan tinggi. 

Dilihat dari tingkatannya, lama pendidikan yang akan ditempuh adalah

  1. Sekolah rakyat (dasar): enam tahun
  2. Sekolah lanjutan, tiga hingga enam tahun
  3. Sekolah industri, tiga hingga enam tahun
  4. Perguruan tinggi, empat hingga enam tahun

Kurikulum telah diterapkan di Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda dan Jepang sebelum kemerdekaan Indonesia. Namun, setelah Indonesia merdeka, kurikulum di Indonesia telah berubah beberapa kali di masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.

Masa Orde Lama

Rencana Pelajaran 1947 merupakan kurikulum pertama setelah kemerdekaan yang berlaku di Indonesia. Meski dinamakan Rencana Pelajaran 1947, saat itu kurikulum ini lebih dikenal dengan leer plan atau rencana pelajaran.

Kurikulum ini sarat dengan muatan politis yang ingin segera menghilangkan pengaruh Belanda dalam pendidikan Indonesia. Karena pendidikan Belanda dinilai penuh dengan kepentingan kolonialis, Rencana Pelajaran 1947 disusun dengan menerapkan asas Pancasila.

Meski dibentuk pada 1947, situasi politik yang sesekali menghangat akibat perang revolusi, membuat kurikulum ini baru diterapkan pada 1950. Oleh sebab itu, Rencana Pelajaran 1947 juga dikenal sebagai Kurikulum 1950.

Kurikulum yang lahir dari semangat revolusi kemerdekaan ini hanya mengandung dua hal pokok, yakni daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, ditambah dengan garis-garis besar pengajaran.

Rencana Pelajaran 1947 memprioritaskan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, ketimbang pendidikan kognitif. Oleh karena itu, muatan pelajaran selalu berhubungan dengan peristiwa keseharian, pengetahuan tentang kesenian, dan pendidikan jasmani.

Pada tingkat sekolah rakyat (SR), terdapat 16 mata pelajaran, yaitu pendidikan agama, bahasa Indonesia, budi pekerti, berhitung, ilmu alam, ilmu hayat, ilmu bumi, sejarah, menggambar, menulis, seni suara, pekerjaan tangan, pekerjaan keputrian, gerak badan, kebersihan dan kesehatan, dan bahasa daerah.

Pada tahap selanjutnya disusunlah Rencana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini lahir dengan tujuan untuk lebih merinci setiap mata pelajaran dari kurikulum sebelumnya. Kata “terurai” menunjukkan adanya penekanan pada detail mata pelajaran.

Rencana Pelajaran Terurai 1952 memiliki silabus mata pelajaran yang cukup jelas dan mengatur agar seorang guru mengajar satu mata pelajaran. Diharapkan, guru memiliki “spesialisasi” sehingga peserta didik dapat menggali pengetahuan secara lebih dalam.

Saat kurikulum ini diterapkan, dihadirkan juga Kelas Masyarakat. Ini adalah sekolah khusus untuk lulusan SR enam tahun yang tidak melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama (SMP).

Kelas Masyarakat mengajarkan keterampilan yang saat itu banyak dibutuhkan di dunia kerja, contohnya pertukangan, pertanian, dan perikanan. Negara menyadari, kondisi perekonomian saat itu membuat banyak lulusan SR yang tak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang lebih atas karena kesulitan biaya.

Menjelang akhir kekuasaan Presiden Sukarno, negara menggulirkan Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokus kurikulum ini adalah pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana).

Mata pelajaran dikelompokkan dalam lima bidang studi, yakni moral, kecerdasan, emosional atau artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Di tingkat pendidikan dasar, penekanan lebih pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. Kurikulum ini kemudian dihapus oleh Orde Baru.

Masa Orde Baru 

Sepanjang periode Orde Baru (1968‒1998), dunia pendidikan nasional mengenal empat kurikulum, yakni Kurikulum 1968, 1975, 1984, dan 1994. Kurikulum 1968 disebut-sebut sebagai yang paling dipengaruhi politik, karena kecenderungan rezim Orde Baru menghapus jejak pendidikan era Sukarno sangat terlihat.

Pada Kurikulum 1968, pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Oleh sebab itu, muatan materi pelajaran bersifat teoritis, dan tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan.

Pada Kurikulum 1975, setiap satuan pelajaran dirinci mengenai tujuan instruksional umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 menekankan pendidikan lebih efektif dan efisien.

Sedangkan Kurikulum 1984 mengutamakan pendekatan proses, walaupun faktor tujuan tetap menjadi hal yang penting. peserta didik ditempatkan sebagai subjek belajar, sehingga melakukan aktivitas, seperti mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Pembelajaran tersebut sering disebut model cara belajar siswa aktif (CBSA).

Adapun kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Tetapi, hal tersebut justru menimbulkan banyak kritik. Pasalnya, beban belajar peserta didik dinilai terlalu berat.

Masa Reformasi

Pada masa Reformasi terjadi beberapa kali perubahan kurikulum. Sebagai pengganti Kurikulum 1994 adalah Kurikulum 2004 disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).

Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu pemilihan kompetensi sesuai, spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi, dan pengembangan pembelajaran.

KBK memiliki ciri-ciri, yaitu menekankan pada ketercapaian kompetensi peserta didik, baik secara individual maupun klasikal; berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman; kegiatan belajar menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; dan sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber-sumber lainnya yang memenuhi unsur edukatif.

Kemudian dikembangkanlah Kurikulum 2006 atau yang disebut KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Kurikulum ini pada dasarnya sama dengan Kurikulum 2004. Perbedaan menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada jiwa dari desentralisasi sistem pendidikan.

Pada Kurikulum 2006, pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Guru dituntut mampu mengembangkan sendiri silabus dan penilaian sesuai kondisi sekolah dan daerahnya. Hasil pengembangan dari semua mata pelajaran dihimpun menjadi sebuah perangkat dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

KTSP kemudian digantikan dengan Kurikulum 2013. Kurikulum ini memiliki tiga aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, serta aspek sikap dan perilaku.

Di dalam Kurikulum 2013, terutama di dalam materi pembelajaran, terdapat materi yang dirampingkan dan materi yang ditambahkan. Materi yang dirampingkan terlihat ada di materi Bahasa Indonesia, IPS, PPKn, dan sebagainya, sedangkan materi yang ditambahkan adalah materi Matematika.

Saat ini, untuk merespons terjadinya learning loss yang dialami peserta didik akibat pendidikan jarak jauh selama pandemi, Kemendikbud mengembangkan kurikulum baru yang disebut Kurikulum Merdeka.

Dilansir dari laman Direktorat Sekolah Dasar, Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam sehingga konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi.

Dengan kurikulum ini, guru memiliki keleluasaan untuk memilih berbagai perangkat ajar sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik.

Di dalam kurikulum ini terdapat projek untuk menguatkan pencapaian profil pelajar Pancasila yang dikembangkan berdasarkan tema tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Projek ini tidak bertujuan untuk mencapai target capaian pembelajaran tertentu, sehingga tidak terikat pada konten mata pelajaran.

Baca juga: Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

two × 1 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.