To Burake Tambolang, Keberagaman Gender dan Agama Lokal di Tana Toraja

Oleh Audy Lebang

2250
Rambu Solo, Upacara Kematian Aluk Todolo
Upacara Rambu Solo merupakan ritual kematian dalam keyakinan Aluk Todolo (Foto: coklatkita.com)

1001indonesia.net – Tana Toraja merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang terkenal akan budayanya yang unik dan alamnya yang memesona. Daerah ini juga masih mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan nenek moyang. Ini tampak dari masih lestarinya agama leluhur masyarakat Toraja yang disebut Aluk Todolo.

Masyarakat Toraja yang masih memeluk Aluk Todolo memiliki sebuah penghargaan terhadap seorang imam yang berbeda dengan imam yang ada pada agama-agama lain di Indonesia. Imam yang dihargai oleh para pemeluk Aluk Todolo adalah seorang laki-laki yang hidup seperti seorang perempuan yang disebut To Burake Tambolang.

Perpaduan yang harmonis

Istilah To Burake Tambolang berasal dari nama sejenis bangau yang berekor putih dan memiliki punggung berwarna hitam. Menurut Nooy-Palm, kedua warna burung tambolang, yaitu hitam dan putih, menggambarkan bagian berbeda dari kosmologi suku Toraja: siang dan malam, dunia atas dan dunia bawah, dewa-dewa langit dan para dewa yang di bawah.

To Burake Tambolang yang hidup sebagai laki-laki sekaligus perempuan mencerminkan dualitas kosmis dalam kepercayaan Aluk Todolo. Keberadaannya menjadi simbol pemeliharaan dan pemulihan keharmonisan kosmis yang bersifat dualitas. Hal tergambar pada sosoknya yang menuntut penyatuan dalam keseimbangan elemen pria dan wanita, perpaduan kreatif yang menjamin kesejahteraan.

Keberagaman gender pada masyarakat Toraja

Keberadaan To Burake Tambolang di Tana Toraja memperlihatkan bagaimana masyarakat di sana memiliki pemahaman yang berbeda mengenai gender.

Umumnya masyarakat Indonesia hanya memahami dua jenis gender, yaitu laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, masyarakat Toraja tak hanya mengenal dua gender. Ada gender yang ketiga, yaitu gender yang dimiliki oleh To Burake Tambolang.

Seperti yang diungkapkan Judith Butler, gender adalah makna budaya yang diasumsikan oleh tubuh jenis kelamin. Sebab itu, gender tidak dapat dikatakan mengikuti dari jenis kelamin dengan cara apa pun. Akibatnya, pria dan maskulin dapat ditandai sebagai laki-laki oleh tubuh perempuan, dan sebaliknya.

Karena itu, Butler mendekonstruksi oposisi biner antara peran gender wanita dan pria, maskulinitas dan femininitas, heteroseksualitas dan homoseksualitas, normalitas dan abnormalitas, sentralisme dan marginalisme, serta kealamian dan ketidakwajaran. Dia mengkritik wacana dalam masyarakat yang mencoba memperbaiki gender dan seksualitas.

To Burake Tambolang adalah orang yang begitu disegani, dihormati, dan bahkan memainkan peran penting dalam banyak aspek tradisi masyarakat Toraja, seperti ritual syukur (Bua’ Kasalle atau Ma’ Bua) dan ritual yang berkaitan dengan aktivitas bercocok tanam.

Masyarakat Toraja Aluk Todolo meyakini bahwa To Burake Tambolang adalah seorang yang suci dan kudus yang telah dipanggil oleh Dewa. Karena itu, To Burake Tambolang menjadi penghubung masyarakat Toraja dengan dewa (Puang Matua). To Burake Tambolang berperan sebagai imam yang dapat memintakan berkat-berkat dan memastikan kelangsungan kehidupan bagi manusia, binatang-binatang, dan tanaman pangan.

Pengakuan masyarakat Toraja terhadap peran To Burake Tambolang merupakan sebuah bentuk performativitas gender. Hal ini kemudian membentuk sebuah identitas gender yang bukan hanya laki-laki ataupun perempuan.

Performativitas gender bagi Judith Butler adalah identitas dibentuk secara performatif melalui ekspresi wacana yang dihasilkan individu secara berulang-ulang. Kategori gender dalam pengertian ini tidak muncul by nature di dalam masyarakat atau sudah melekat sejak lahir, tetapi gender secara fundamental dibentuk melalui performativitas (performativity).

Performativitas dipahami sebagai reiterative and citational practices by which discourse produces the effects that it names (pernyataan ulang dan praktik pengutipan di mana wacana memproduksi berbagai efek penamaan). Jadi, identitas gender adalah efek yang diproduksi oleh individu karena menampilkan secara berulang tindakan atau praktik yang secara sosial diterima sebagai penanda laki-laki ataupun perempuan.

Baca juga: Mengenal Aluk Todolo, Agama Leluhur Suku Toraja

Dalam kebudayaan dan tradisi masyarakat Toraja, tidaklah mudah untuk menjadi seorang To Burake Tambolang. Mereka yang menjadi To Burake Tambolang haruslah  mematuhi segala aturan-aturan yang ada dalam masyarakat.

Berperan sebagai pemimpin ritual dan penjaga budaya

To Burake Tambolang adalah seorang  yang memiliki hubungan dengan dunia mistik. Perannya di dalam masyarakat Toraja sangat penting. Karena itu, mereka memiliki status yang tinggi di dalam masyarakat.

Menurut Bapak Gasfar, Bara To Burake Tambolang adalah utusan Puang Matua atau Sang Pencipta. Mereka menjadi makhluk setengah dewa dan setengah manusia.

Bapak Gasfar Bara mengatakan, “Mellao Langi To Burake Tambolang Umpa Na’ta’aluk Sumpu Lolokna Tonna Dipabendanmi Bate Manurun.” Artinya, seorang yang diutus oleh Puang untuk merampungkan Ritual Bua’ (ucapan syukur) dan pencapaian terhadap hubungan Puang dengan manusia yang disimbolkan dengan berdirinya Bate sebagai simbol jembatan penghubung antara manusia dan Puang.

Dalam naskah kuno Toraja, yaitu Passomba Tedong, disebutkan, “Langanmi tosumeo’ aluk burake tua tungka sanganna, tountakin bembe dandanan sangka’ yang artinya Tosumeo’ aluk. Artinya, manusia dewa bernama Burake Tua melaksanakan  perintah Puang Matua memberitahukan hal pelaksanaan pemeliharaan aluk dan pemali.

Karena statusnya sebagai utusan Puang Matua inilah, maka ketika meninggal, To Burake Tambolang tidak dibawa keluar melalui pintu rumah, tetapi melalui bagian depan rumah di dinding sebelah Timur tempat Para Dewa. Jalan keluar itu biasa disebut lindo puang atau ba’ba deata (pintu para dewa).

Adapun orang Toraja yang meninggal hanya akan diturunkan melalui pintu (ba’ba sade) di dinding barat (Barat adalah arah Puya tempat orang mati). Jalan keluar ini disebut lalan bombo atau jalan arwah (jiwa yang belum dimurnikan dan akan kembali bersama dewa setelah melakukan semua ritual di bumi yang disebut To Membali Puang).

Berbeda dengan orang Toraja pada umumnya, To Burake Tambolang sebagai utusan Puang Matua tidak memerlukan ritual To Membali Puang. Sebab, jiwanya langsung naik ke dunia atas.

Masyarakat Toraja mempercayai bahwa To Burake Tambolang memiliki kekuatan supranatural dan dianggap sebagai manusia yang suci. Untuk menjaga kesaktian ataupun kekudusannya, para To Burake Tambolang harus menjaga sikap hidupnya.

Keistimewaan lain dari To Burake Tambolang adalah memiliki pengetahuan tentang adat, aluk, kehidupan di dunia dan kehidupan para Dewata.

Peran To Burake Tambolang dalam masyarakat Toraja adalah menjadi penghubung antara semua ciptaan yang ada di bumi dengan Puang Matua, Deata, dan To Membali Puang. Dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Toraja, To Burake berperan penting sebagai penjaga pelaksanaan ritual-ritual, di antaranya memimpin ritual tertinggi rambu tuka’, yaitu Ma’bua”

To Burake Tambolang juga memiliki peranan penting dalam kehidupan kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja. Mereka memimpin upacara mengawali tanam padi, saat panen raya, maupun ketika menempati rumah baru. 

To Burake Tambolang juga memiliki kemampuan untuk menyembuhkan orang yang sakit. Hal inilah yang membuat masyarakat sering meminta petunjuk, pertolongan, ataupun berobat dan berguru kepada To Burake Tambolang.

Perlengkapan ritual

Dalam memimpin ritualnya, To Burake Tambolang selalu membawa sebuah gamaru yang biasa disebut juga garapung. Benda tersebut dianggap sakral. Ketika To Burake membunyikannya, benda tersebut dapat mengeluarkan daya magis. Dan, hanya To Burake yang dapat melakukannya.

Gamaru ataupun garatung merupakan alat musik yang digunakan untuk mengiringi doa-doa agar sampai kepada Puang Matua. Alat musik ini dipakai untuk menghibur serta mengundang hadirnya Puang Matua dalam sebuah ritual.

Gamaru atau garapung memiliki manik-manik yang terikat pada kedua sisinya. Alat musik ini memilki penutup yang terbuat dari kulit ular sanca atau ular sawah.

Selain Garapung, To Burake Tambolang juga membawa perlengkapan Pindan, yaitu mangkuk berwarna putih yang digunakan sebagai wadah persembahan kepada Puang Matua, Deata-Deata, dan To Membali Puang.

Baca juga: Tallu Lolona, Falsafah Toraja dalam Menjaga Keselarasan dengan Alam

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

nine − 7 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.