1001indonesia.net – Manusia dan budaya adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Budaya adalah ekspresi dari upaya manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Kebudayaan mengungkapkan kebutuhan manusia akan keamanan dan makna.
Bernard Meland, dalam The Realities of Faith, mencirikan budaya sebagai manusia yang berbunga struktur dan fasilitas yang ada, menjadi nyata sebagai cara hidup yang teratur dalam kegiatan imajinatif dan kreasi dari manusia yang terlihat melalui seni dan kerajinan, arsitektur, perabotan, adat istiadat, pakaian, bahasa, serta upacara, baik yang bersifat publik ataupun pribadi, sebagai bagian dari kegiatan agama maupun politik.
Budaya memberikan arah sebagai upaya dan kebiasaan pada pendidikan, serta gagasan dan praktik keagamaan, rahmat dalam perilaku sosial manusia. Seperti halnya di Toraja, budaya masih tetap dipertahankan dan dilaksanakan sebagai sebuah warisan dari leluhur.
Masyarakat Toraja, khususnya dalam kepercayaan Aluk Todolo meyakini bahwa seisi alam semesta ini diciptakan oleh Puang Matua dalam keadaan bersaudara (sangserekan, sangpa’duanan). Ada delapan makhluk dari emas murni yang diciptakan Puang Matua dalam kisah penciptaan Toraja, yaitu:
- Datu Laukku’ adalah nenek moyang manusia yang secara khusus diberi bentuk insani.
- Allo Tiranda adalah nenek pohon.
- Laungku adalah ayah kapas.
- Pong Pirik-pirik adalah ayah hujan.
- Menturiri adalah nenek moyang ayam.
- Manturini adalah nenek moyang kerbau.
- Riako’ adalah ayah besi.
- Takkebuku adalah nenek moyang padi.
Baca juga: Mengenal Aluk Todolo, Agama Leluhur Suku Toraja
Pada kisah penciptaan di Toraja, manusia memang menduduki tempat khusus. Tetapi tidak dalam arti dia adalah pusat alam semesta (antroposentrisme). Hubungan manusia dengan makhluk-makhluk dan ciptaan lainnya adalah hubungan yang dipersonalisasikan, hubungan dalam kecintaan, dan persaudaraan.
Orang Toraja tidak diperbolehkan memperlakukan alam lingkungannya sebagai tambang yang dapat dikuras habis demi kepentingan (ekonomis) manusia.
Untuk menjaga hubungan yang selaras manusia dan alam, Puang Matua memberikan sebuah pedoman atau aturan yang biasa disebut Aluk. Di dalamnya termuat sebuah falsafah Tallu Lolona.
Tallu Lolona berasal dari dua kata, yaitu Tallu yang berarti tiga dan Lolona yang berarti pucuk kehidupan. Jadi, ada tiga pucuk kehidupan, yakni manusia, hewan, dan tanaman. Ketiga aspek tersebut saling bergantung antara satu dan lainnya.
Ketiga aspek tersebut memiliki peran masing-masing dalam pelaksanaan upacara adat Rambu Solo dan Rambu Tuka sebagai berikut:
- Lolo Tau (manusia) yang merupakan agen pelaku, penggagas, dan penyelenggara ritual Rambu Solo dan Rambu Tuka.
- Lolo Patuoan (hewan) yang merupakan bahan dan sarana penting penyelenggaraan ritual Rambu Solo dan Rambu Tuka.
- Lolo Tananan (tanaman) yang merupakan bahan dan sarana penting dalam sesajen.
Baca juga: Rambu Solo, Upacara Kematian Masyarakat Toraja
Mengingat peran penting yang dimiliki ketiga aspek tersebut dalam kehidupan orang Toraja maka ketiganya harus ditata dalam suatu relasi harmonis yang berpusat pada tiga relasi sebagai berikut:
- Relasi harmonis antara manusia dengan Puang Matua dan Leluhur.
- Relasi harmonis antara manusia dengan sesama manusia.
- Relasi antara manusia dan lingkungan, yaitu hewan dan tanaman.
Pelanggaran yang menyebabkan rusaknya ketiga hubungan di atas dianggap sebagai dosa terhadap Puang Matua. Dalam kepercayaan orang Toraja, ketidakselarasan relasi antara manusia, hewan, dan tanaman dapat berdampak buruk, yaitu mengakibatkan berkurangnya hasil bumi dan peliharaan hewan. Penderitaan, kelaparan, bahkan kepunahan akan menjadi ancaman.
Oleh karena itu, manusia Toraja harus tetap menjaga relasi yang harmonis dan resiprokal dengan hewan dan tanaman sebagai relasi subjek-subjek dalam hubungan saudara yang didasari oleh ajaran Aluk dan kebenaran-kebenaran yang turun-temurun.
Dalam hubungan ini, manusia tidak boleh mengeksploitasi hewan dan tanaman secara semena-mena dan serakah> Manusia tidak boleh menyembelih hewan secara berlebihan untuk tujuan menonjolkan diri dan mencari popularitas serta melakukan penebangan liar yang tidak terkendali.
Tindakan-tindakan yang berlebihan yang didasari oleh keserahakan akan mengakibatkan disharmonisasi baik secara horizontal antara manusia dan ciptaan lain maupun secara vertikal antara manusia dengan Sang Pencipta. Dan, akhirnya hanya akan membawa bencana pada kehidupan manusia sendiri.
Baca juga: Kete Kesu, Kampung Tradisional Toraja yang Mendunia