1001indonesia.net – Sikatan aceh (Cyornis ruckii) merupakan salah satu burung endemik dari Indonesia, tepatnya Sumatera wilayah utara. Sampai sekarang, keberadaan burung ini di alam liar masih misteri setelah ditemukan seratus tahun lalu.
Termasuk dalam keluarga Muscicapidae, sikatan aceh dianggap dekat dengan sikatan hainan atau blue flycatcher (Cyornis hainana) dari Cina Selatan dan Indocina. Habitat burung ini adalah hutan sekunder dataran rendah.
Sikatan aceh berukuran agak besar, sekitar 17 cm. Bulunya berwarna biru. Pada burung jantan, kepala, tenggorokan, dan dada berwarna biru; tunggir dan penutup ekor atas berwarna biru berkilap. Adapun yang betina, tubuh bagian atas berwarna cokelat-merah bata, tunggir dan ekor berwarna merah bata, dada merah karat menjadi keputih-putihan pada perut.
Dilansir dari omkicau.com, keberadaan burung ini dikenali dari dua spesimen yang ditemukan orang Belanda bernama August van Heijst di daerah Delitua (tahun 1917) dan Tuntungan (1918). Dua spesimen lainnya ditemukan di Malaysia, namun diduga hasil tangkapan dari Sumatera.
Dua spesimen Van Heijst, masing-masing burung muda dan burung dewasa, sebelumnya digambarkan sebagai Cyornis vanheysti pada 1919 oleh Robinson dan Kloss. Lima tahun kemudian, mereka menjabarkan kedua burung ini dalam studi burung-burung dari wilayah barat Sumatera.
Keberadaan spesimen itu pun masih dipertanyakan soal lokasi tepatnya. Sebab, banyak yang menganggap Van Heijst menyimpan dua spesimen tersebut di Museum Zoologi, Universitas Amsterdam, sebagaimana koleksi lain yang dimilikinya.
Namun, sebuah informasi menyebutkan, tidak dijumpai Cyornis ruckii di antara koleksi flycatcher pada museum tersebut. Apalagi tahun 1917 terjadi pengeboman terhadap kapal barang yang mengangkut koleksi Van Heijst.
Kemungkinan besar, salah satu dari dua kontainer yang berisi koleksi van Heijst itu adalah spesimen Cyornis ruckii, yang dikirimkan ke Robinson & Kloss di Museum Singapura (kini Museum Biodiversity Raffles). Beberapa ahli menganggap spesimen tersebut disimpan di Paris dan Leiden.
Kesimpangsiuran informasi ini membuat burung sikatan aceh makin misterius. Sebab, sampai saat ini, belum ada informasi mengenai karakter dan perilaku berkembang biaknya, apalagi suara kicauannya di alam liar.
Dulu, sekitar tahun 1997, pernah tersiar kabar bahwa sikatan aceh mudah dijumpai di Soraya Rafting Camp, di Taman Nasional Gunung Leuser. Yang terjadi sebenarnya adalah sebuah kesalahan identifikasi. Beberapa pengamat burung melihat spesies burung yang dikira sikatan aceh, padahal bukan.
Baca juga: Kawasan Ekosistem Leuser, Penyangga Kehidupan Manusia
Meski dinamakan sikatan aceh, tetapi menjadi perdebatan apakah burung ini memang berasal dari daerah Aceh. Nama ini memang merupakan nama resmi yang sudah disepakati para ornitholog (ahli burung) Indonesia. Namun, ada yang mengatakan bahwa sebenarnya habitat spesies ini adalah Sumatera Utara, bukan di wilayah Aceh.
Bahkan, sebagian ahli burung pernah mempertanyakan apakah Cyornis ruckii memang spesies yang berbeda dari hainan blue flycatcher (Cyornis hainanus) atau sebenarnya merupakan salah satu subspesiesnya. Sebab penampilan kedua jenis burung ini mirip.
Sejak ditemukan pertama kali pada 1917 dan 1918, sikatan aceh tidak sekali pun pernah dijumpai kembali hingga kini. Sebab itu, burung ini oleh IUCN Red List dikategorikan sebagai Critically Endangered (Kritis). Sikatan aceh merupakan salah satu burung paling langka di Indonesia.