Sasando, Alat Musik Petik Khas Nusa Tenggara Timur

17027
Sasando
Sasando (Foto: wacana.co)

1001indonesia.net – Alat musik tradisional sasando atau sasandu merupakan mahakarya budaya masyarakat Nusa Tenggara Timur. Penciptanya sangat kreatif dan memiliki tingkat kecerdasan tinggi. Itu sebabnya, di kala alat musik tradisional lain terpinggirkan oleh alat musik yang lebih modern, alat musik kuno yang sudah ada sejak abad ke-7 ini tetap lestari dan bahkan mendunia.

Sasando yang artinya alat yang bergetar atau berbunyi, merupakan jenis alat musik petik. Alat musik ini dimainkan menggunakan dua tangan secara berlawanan. Tangan kanan berperan untuk memainkan chord, sedangkan tangan kiri berperan sebagai pengatur melodi dan bas. Dibutuhkan keterampilan tersendiri untuk memainkan sasando.

Unik

Sasando memiliki bentuk yang unik dan suara yang indah. Alat musik tradisional ini mampu menghasilkan bunyi gabungan 3 alat musik sekaligus, yaitu harpa, piano, dan gitar. Setidaknya ada dua jenis alat musik yang bentuknya mirip harpa ini, yaitu yang berasal dari daerah Rote dan Sabu.

SasandoDi dua daerah tersebut, pohon lontar banyak dimanfaatkan. Buahnya dibuat gula dan minuman, daunnya dimanfaatkan sebagai atap, tempayan, ember, dan juga sebagai resonator dari alat musik sasando.

Daun lontar yang digunakan sebagai bahan resonator adalah daun yang telah cukup umur. Daun tersebut dimasak kemudian diikatkan satu sama lainnya. Rangkaian dari daun-daun tersebut akan menghasilkan bentuk menyerupai separuh bejana yang tengahnya menggembung seperti periuk.

Di tengah rangkaian daun tersebut dipasangkan sebuah tabung terbuat dari bambu. Bagian ini merupakan bagian inti dari alat musik ini. Panjangnya sekitar 40 cm dengan diameter sekitar 11 cm. Di tabung ini dipasang sepuluh hingga 12 dawai. Agar dapat berbunyi, setiap dawai diberikan senda (penyangga) yang terbuat dari kayu atau bambu, fungsinya untuk menegangkan dan mengangkat dawai.

Bagian kepala dan kaki terbuat dari kayu. Kedua ujung dawai diikatkan pada paku-paku yang terbuat dari kayu juga. Paku bagian atas dapat diputar-putar untuk mengatur ketegangan dawai.

Konon, pada awalnya, dawai sasando tidak terbuat dari senar seperti sekarang, tetapi berasal dari tulang daun gewang. Daun gewang berasal dari pohon gewang yang memiliki kemiripan dengan pohon lontar. Cerita lain menyebutkan, dawai sasando terbuat dari usus musang yang dikeringkan.

Sarat makna

Seperti yang dilansir Kompas, di balik keunikan bentuk dan keindahan suaranya, sasando memiliki makna dan filosofi tersendiri, khususnya bagi orang Rote. Di awal kemunculannya, sasando hanya berdawai 7 atau 9. Dawai yang berjumlah tujuh konon melambangkan siklus kehidupan seorang anak manusia yang berada di dalam kandungan. Orang Rote percaya, seorang bayi yang telah berusia 7 bulan telah sempurna secara fisik. Adapun dawai yang berjumlah 9 memiliki arti bahwa seorang anak telah siap dilahirkan ke dunia.

Penggunaan daun lontar juga tak lepas dari filosofi hidup orang Rote yang sejak dulu akrab dan bergantung pada pohon lontar atau siwalan (Borassus flabellifer). Pohon lontar merupakan tanaman sejenis palem batang tunggal, tingginya bisa mencapai 30 meter, berbatang kasap, kehitam-hitaman, dengan penebalan sisa pelepah daun di bagian bawah. Orang Rote menyebutnya pohon tuak.

Baca juga: Legen, Minuman Khas Wilayah Pantai Utara (Pantura)

Lontar dapat tumbuh di mana saja. Di hamparan tanah kosong, bukit, tepi pantai, ladang, bahkan di tanah tandus sekalipun. Pohon lontar dengan mudah ditemukan di seluruh penjuru Rote. Karena hidup dan tumbuh dengan sangat mudah, pohon lontar tidak dihitung sebagai harta milik ataupun mas kawin. Lontar juga pantang dijual karena merupakan penunjang utama kehidupan orang Rote.

Ada filosofi hidup orang Rote, yaitu mao tua do lefe bafi, artinya kehidupan cukup bersumber dari mengiris atau menyadap tuak serta memelihara babi. Secara tradisional, orang Rote memulai perkampungan melalui pengelompokan keluarga dari pekerjaan mengiris tuak. Maka, umumnya komunitas atau kelompok kecil masyarakat Rote tinggal di sekitar pohon lontar yang sudah ada sebelumnya.

Dari pohon lontar itulah seluruh kebutuhan hidup orang Rote dipenuhi. Batang pohon lontar dapat digunakan sebagai tiang untuk membangun rumah. Daunnya, dapat digunakan sebagai atap. Atap dari daun lontar konon mampu menahan udara Rote yang panas sehingga rumah terasa dingin. Pelepah lontar dapat digunakan sebagai pagar halaman.

Buah lontar yang berwarna putih bisa dimakan. Sadapan air lontar bisa diolah, dari menjadi gula cair dan gula lempeng hingga olahan minuman yang disebut sopi. Daunnya dapat digunakan sebagai bahan lintingan rokok, membuat topi khas Rote yang disebut Ti’i Langga, sasando, serta kebutuhan sehari-hari masyarakat Rote.

Ember atau wadah menampung benda cair dan gelas dari daun lontar disebut haik. Maknanya ”ambil sesuatu untuk”, atau dalam artian haik sebagai wadah untuk mengambil dan menampung sesuatu. Dari masa lalu hingga kini, haik digunakan sebagai perlengkapan harian orang Rote dan dibuat sesuai kegunaannya.

Sasando gong yang dimainkan dengan sistem gong tidak boleh ada dua nada yang dipetik bersamaan karena tak akan menghasilkan suara merdu. Dari situ dapat dimaknai bahwa perbedaan mampu menghasilkan sebuah harmoni.

Selain itu, peran setiap dawai yang berbeda mempunyai arti kemandirian. Meski sasando dimainkan secara berbeda, nada itu saling mengisi. Setiap nada memiliki peran untuk menciptakan keharmonisan. Hal ini juga berarti bahwa keharmonisan bukan terletak pada persamaan, melainkan justru pada perbedaan.

Fungsi

Sasando biasa dimainkan untuk mengiringi nyanyian, menirukan nyanyian, dan mengiringi pembacaan syair-syair Rote. Selain itu, juga untuk mengiringi tarian, menghibur keluarga yang berduka, dan menghibur keluarga yang sedang mengadakan pesta.

Secara komunal, sasando dimainkan dalam upacara adat hus ndeo, yaitu upacara sebagai ungkapan syukur atas hasil panen padi di sawah dan ladang, serta hasil laut yang melimpah. Saat ini, upacara adat hus ndeo masih dipraktikkan di Desa Boni, Kecamatan Rote Barat Laut, pada setiap akhir Juli dan pertengahan Agustus.

Bagi masyarakat setempat, sasando juga lekat dengan makna kemakmuran. Konon, apabila sasando dipetik, hujan pun akan segera turun.

Saat ini, sasando dimainkan untuk berbagai keperluan, seperti menghibur kerabat atau orang yang berduka cita, sebagai pengiring tarian dan upacara adat, menyambut tamu penting, atau sekadar sebagai hiburan.

Belakangan alat musik tradisional yang bersuara merdu ini semakin populer sehingga banyak dinikmati sebagai musik penghibur.

Perkembangan

Perkembangan sasando terhitung pesat. Alat musik ini berawal dari sasando berdawai 7 (pentatonik) dengan sebutan sasando gong karena biasanya dimainkan dengan irama gong. Seiring waktu, sasando gong berkembang menjadi alat musik petik pentatonik dengan 11 dawai. Pada akhir abad ke-18, sasando diperkirakan mengalami perubahan dari sasando gong ke sasando biola yang nada-nadanya meniru nada biola.

Selain nada yang diatonis, bentuk sasando biola mirip sasando gong dengan diameter bambu yang lebih besar serta jumlah dawai yang lebih banyak. Awalnya 30 nada lalu berkembang menjadi 32 hingga 36 dawai. Ruang resonansinya ada yang terbuat dari daun lontar, ada juga yang berbentuk kotak terbuat dari kayu atau multipleks (kotak/boks/peti).

Pada 1958, sasando elektrik mulai dibuat hingga pada 1960 berhasil dirampungkan dengan bunyi yang sama dengan suara aslinya. Sasando elektrik ini dibuat dengan 30 dawai. Pembuat pertamanya Arnoldus Edon. Usahanya kini diteruskan oleh anaknya, Marlines Edon, bersama sang suami.

Alat yang paling penting pada sasando elektrik, selain badan sasando dan dawai, adalah spul (pickup) yang merupakan sebuah transducer yang akan mengubah getar dawai menjadi energi listrik, lalu diteruskan melalui kabel dan masuk ke dalam amplifier. Dengan nadanya yang diatonis, sasando dapat digunakan untuk memainkan berbagai jenis lagu, termasuk dikolaborasikan dengan alat musik modern lainnya.

Saat ini sasando tengah mengalami perkembangan pesat hingga ke luar NTT, termasuk di Jakarta. Sebutlah nama-nama pemain sasando muda, seperti Ganzer Lana asal Atambua dan Gazpar Araja asal Flores yang menjadi pemain sasando di panggung nasional serta internasional.

Meski demikian, sasando tradisional yang dikenal dengan sebutan sasando gong justru agak sulit ditemukan, termasuk di Rote yang menjadi tempat lahir sasandu (bahasa Rote). Sasando yang banyak dimainkan dan diperkenalkan keluar Rote hingga ke panggung internasional lebih banyak didominasi sasando elektrik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

6 + five =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.